Kepergian Timothy Anugrah Saputra, mahasiswa Universitas Udayana yang melompat dari lantai empat, meninggalkan luka. Bukan saja bagi orang tua dan keluarga, tapi juga kita semua.
Peristiwa itu menimbulkan tanya
yang tak mudah dijawab kenapa masih banyak saja kasus serupa terjadi di
mana-mana. Timothy hanya salah satu dari banyak anak-anak dan remaja lainnya.
Cerita Timothy seperti mengajak kita untuk mempertanyakan sesuatu yang lebih mendalam. Kalau ini bisa ditemukan mungkin kita bisa mengerti dan menjelaskan kenapa hal-hal seperti itu bermunculan.
Para pengujar kata-kata
negatif yang dianggap menjadi pemicu meninggalnya Timothy juga mungkin adalah
korban dari sesuatu yang lebih besar di luar kesadarannya.
Kita tentu saja bisa berbeda pendapat tentang sesuatu yang
lebih besar itu. Tapi kelihatannya yang sedang kita saksikan adalah sesuatu yang
terkait dengan hate speech, atau perundungan (bullying), kadang
juga disebut stigma, penghinaan, atau juga body shaming.
Pertanyaan kita adalah dari mana hal-hal tersebut muncul? Untuk mendiskusikan ini tampaknya kita perlu meminjam hasil penelitian orang yang meneliti soal ini, namanya Judith Butler. Dia sendiri adalah juga orang yang mengalami bullying atau hate speech.
Meskipun pada awalnya tidak
secara sengaja atau secara langsung meneliti soal hate speech tapi
tulisan-tulisannya sebetulnya merupakan upaya untuk menjelaskannya dan
bagaimana cara menghadapinya.
Dia tidak menulis banyak. Kalau kita coba ajukan pertanyaan bagaimana atau dari mana hate speech/bullying muncul dan bagaimana menghadapinya, mungkin hanya sekitar empat tulisan saja yang penting.
Keempat tulisan itu adalah Gender Trouble: Feminism and the Subversion of
Identity (1990), Boddies that Matter: On the Discursive Limits of
“Sex” (1993), The Psychic Life of Power: Theories in Subjection (1997)
dan Excitable Speech, a Politics of the Performative (1997).
Dari penelitiannya yang panjang itu, ia menemukan bahwa hate speech atau bullying hanya terjadi di dalam bahasa. Dan ini artinya pelaku dan korban muncul atau terbentuk karena keduanya berada di dalam bahasa yang sama.
Jadi, kalau keduanya tidak berada di dalam bahasa yang sama hate speech
atau bullying tadi tidak bisa beroperasi. Bullying atau hate speech
hanya bisa beroperasi kalau korban mensitasi atau mengacu kata atau bahasa yang
dipakai pelaku.
Kalau begitu berarti sebetulnya bahasalah yang menciptakan bullying dan hate speech, bukan orangnya. Jadi, oleh karena bahasa yang menciptakannya maka sebetulnya tidak ada subjek di balik hate speech atau bullying itu.
Butler kemudian sampai pada simpulan yang cukup mengguncang bahwa, dalam hate speech atau bullying tersebut yang dihukum harusnya adalah bahasa yang menciptakannya bukan orangnya.
Yang terjadi selama
ini, orangnya dihukum tapi bahasa yang membuatnya terjadi tidak diapa-apakan. Tapi
bagaimana caranya menghukum bahasa?
Penting digarisbawahi dulu bahwa simpulan tersebut bukan lalu
berarti membela pelaku agar tidak disanksi, tapi tindakan menghukum pengujar hate
speech dan bully, sebetulnya berangkat dari asumsi bahwa subjek
semacam punya kendali atas kata-katanya. Padahal menurut Butler, yang terjadi
tidak seperti itu.
Yang sesungguhnya terjadi adalah kita tidak punya kendali seratus
persen atas apa yang kita bicarakan. Sekali mengucapkan sesuatu, apa yang diucapkan
itu akan hidup sendiri, dan muncul dalam bentuk yang tidak kita sangka. Kita dibentuk
oleh apa yang kita ucapkan, bukan kita yang membentuk apa yang kita katakan.
Di luar yang disadari, kita menjadi kita justru dalam omongan kita sendiri, atau saya menjadi saya dalam omongan saya. Maksudnya ketika seseorang ngomong, itu bukan semata-mata ngomong.
Tetapi ia sedang memberi
tahu dia siapa, atau dia sedang menegaskan dirinya siapa. Ini yang disebut
Butler dengan istilah performativity.
Kalau kita bisa melihat bahwa saat seorang bicara adalah upaya untuk memastikan siapa dirinya, maka sebetulnya orang selalu dalam keraguan tentang siapa dirinya.
Kenapa demikian karena ketika seseorang bilang”
hei kamu jelek”, atau “hei kamu gendut”, kata-kata itu keluar karena dia
sendiri ragu tentang siapa dirinya.
Dari situ kita lalu mulai mengerti bahwa ketika seseorang yang
menjadi sasaran kata-kata itu menolaknya, yang terjadi sebetulnya si pelaku kehilangan
dirinya karena keraguannya berhenti. Saat ia berhenti ragu, ia akan berhenti
ngomong, dan kalau dia berhenti ngomong dia makin sulit menjadi dirinya.
Karena itu, kalau kita ikuti Butler ini, yang harus dilakukan adalah terus membuatnya ragu atau membuatnya tidak lupa siapa dirinya caranya adalah dengan justru mengiyakan kata-katanya tapi mengartikulasikannya secara berbeda.
“Iya, saya memang jelek, terus kenapa?”, atau “Iya saya memang
gendut, terus apa?”. Ini adalah tahap pertama yang namanya citation.
Ketika sasaran bullying atau hate speech mengiyakan maka yang terjadi mungkin pelaku akan berhenti atau dia akan terus ngomong. Tetapi, baik berhenti atau ngomong terus, keduanya sama-sama mengindikasikan kalau dia sebetulnya ragu pada kata-katanya sendiri.
Saat ini terjadi, kata-kata itu atau
bahasa yang digunakan untuk mem-bully atau hate speech seperti remuk (crumble) sendiri. Dan saat crumble itu terjadi identitas si pelaku tadi juga ikut
crumble.
Setelah tahap citation atau mengiyakan itu dilakukan, langkah berikutnya adalah me-recitation. Ini maksudnya membawa kata-kata rundungan itu ke sesuatu yang lain artinya.
Misalnya, “Ya, saya memang jelek,
bodoh atau gendut, feodal, fundamental tapi saya suka dan mari kita rayakan ini
bersama”. Saat ini dilakukan bahasa bulian tadi bukan lagi crumble tapi
dia jadi ambruk (collapse).
Kenapa begitu sebab ketika orang membuli, dalam arti itu juga menstigma, menghina, mengujarkan hate speech dan sebagainya, sebetulnya dia sedang mengalami defisit enjoyment karena mungkin orang lain pernah mengambilnya.
Dalam pengertian ini dia sedang sangat membutuhkan enjoyment
lalu berusaha mengambil itu dari orang lain. Ini mirip seperti relasi master-slave
dalam skema Hegelian.
Si pelaku merasa mendapatkan kembali enjoyment-nya itu kalau korban kelihatan sedih dan terhina atau marah. Cara serupa akan digunakannya untuk mendapatkan enjoyment dari orang yang lain lagi. Begitu seterusnya.
Tapi kalau kondisi defisit enjoyment itu terus terjadi ia akan terus
berusaha mendapatkannya. Maka bagaimana agar defisit enjoymentnya tertutupi
tapi pada saat yang sama orang lain yang diambil enjoymentnya juga malah
bisa memperoleh enjoyment baru.
Bagi Butler, caranya adalah dengan recitation. Ketika yang dibully mengiyakan (citation), si pembully merasa memperoleh enjoymentnya, dan yang dibully semacam kehilangan enjoyment.
Tetapi ketika kemudian ia melakukan recitation dengan misalnya merayakannya,
ia keluar dari cengkeram pembully dan memperoleh enjoyment yang
baru yang membuatnya menjadi subjek baru yang terbebaskan.
Butler sendiri mengakui bahwa memang proses mengiyakan bully-an itu pedih, sakit dan nestapa. Namun baginya being loss atau being injured ini nggak apa-apa, diterima saja.
Karena hal itu adalah
kondisi yang diperlukan untuk terciptanya transformasi, untuk menjadi pribadi
baru yang terbebaskan, yang merdeka dan lebih bahagia.
Penting untuk dicatat tebal bahwa semua ini tidak dalam maksud membolehkan pembulian atau menormalisasinya. Tidak begitu. Juga bukan mau mengatakan pelakunya tidak boleh dihukum oleh law.
Tapi kita tak
mungkin menghilangkan seratus persen hate speech, bullying, rasisme
dari muka bumi ini. Juga kita tak pernah tahu dengan pasti kapan akan mengenai
diri kita. Yang harus diperkuat adalah kapasitas kita dalam mentransformasinya.
Untuk Timothy, beristirahatlah dalam damai di sana, kami akan
menjaga anak-anak dan remaja lainnya tak mengalami hal yang sama denganmu.
Referensi
Butler, J. (1990) Gender Trouble: Feminism and the Subversion
of Identity. New York:
Routledge.
Butler, J. (1993) Bodies That Matter: On the Discursive Limits
of “Sex”. New York:
Routledge.
Butler, J. (1997a) The Psychic Life of Power: Theories in
Subjection. Stanford,
CA: Stanford University Press.
Butler, J. (1997b) ‘Introduction:
On Linguistic Vulnerability’, in Excitable
Speech: A Politics of the Performative, pp. 1–42. New York: Routledge.
Jeong, H. (2023) ‘Hate Speech, Subject Agency and Performativity of Bodies’, Journal of the Criticism and Theory Society of Korea.

0 Komentar