Kenapa (menjadi) Elit itu Penting dalam Politik Indonesia?
Fenomena Bahlil Lahadalia yang memperoleh gelar doktor
dari kampus ternama di Indonesia beberapa waktu yang lalu menyedot banyak
perhatian publik. Ada yang menganggapnya sebagai pencapaian studi paling
brilian karena berhasil menyelesaikan sekolah jenjang doktoral dalam waktu yang
terhitung sangat cepat.
Sebagian yang lain memperhatikan sesuatu yang
menciderai kewibawaan akademik. Lalu menduga-duga ada “main mata” antara pihak
yang memberikan gelar dengan yang menerima gelar.
Yang lainnya lagi seperti melihat hal itu sebagai sesuatu
yang sebenarnya bikin kesal tetapi tak bisa berbuat banyak lalu sampai pada
sikap “memang begitulah kelakuan pejabat (elit) Indonesia”. Bahlil hanya salah
satu dari sekian banyak pendahulunya, hanya saja mungkin dia sedang tidak
beruntung, akhirnya jadi sasaran kritik banyak orang.
Kita tidak akan membahas soal apakah gelarnya sah atau
tidak di sini. Yang coba kita lakukan adalah coba meletakkan fenomena itu
sebagai pintu masuk untuk melihat sesuatu yang lebih besar dan siapa tahu bisa
membantu kita memahami politik Indonesia.
Sementara sebagian orang fokus pada proses tak
wajarnya dalam memperoleh gelar, pertanyaan yang luput diperhatikan adalah
kenapa ada kecenderungan politisi Indonesia itu ingin punya gelar akademik, dan
di sisi yang lain, meskipun tidak semuanya, para akademisinya juga ingin
menduduki jabatan politik?
Kalau diteruskan lagi, saat anda menduduki jabatan
politik, tiket untuk memperoleh gelar akademik sudah di dalam genggaman.
Sebaliknya saat anda punya gelar
akademik, jalan untuk memperoleh jabatan politik tinggal selangkah lagi.
Sebagai politisi anda bisa membantu akademisi mendapat
posisi politik, sebagai akademisi anda bisa membantu politisi memperoleh gelar
akademik. Sudah tentu prosesnya tidak sesederhana itu tapi begitulan kira-kira
hubungan mutualismenya kalau kita bayangkan.
Ini bukan soal benar mana dan salah mana. Tapi coba kita
perhatikan baik-baik bukankah keduanya, politisi dan akademisi lalu belakangan
juga ada pengusaha, sedang berusaha menuju ke negara. Kita melihat kemudian
seolah-olah, di Indonesia ini, negara adalah tujuan paling puncak dari
perjalanan karir seseorang.
Bukan sesuatu yang buruk berpikir seperti itu, pertanyaaan
kita adalah apakah hal itu memang merupakan fenomena umum yang terjadi di
mana-mana, ataukah itu hanya khas dalam politik Indonesia?
Kita coba panggil dulu Pak Herb, panggilan akrab
Herbert Feith, untuk menjelaskan soal ini. Dia menulis buku sangat penting
judulnya, The Decline of
Constitutional Democracy
in Indonesia,
terbit pertama kali pada tahun 1962.
Ketika orang ingin menjadi bagian dari negara, itu
hanya bisa terjadi kalau orang lebih dulu menjadi elit, karena itu dalam
politik Indonesia posisi elit ini sangat penting. Sumbangan utama, jika boleh
dikatakan demikian, dari Pak Herb ini adalah menjelaskan bagaimana elit politik
ini terbentuk. Untuk menjelaskan hal itu Herbert Feith memperhatikan masa-masa
awal Indonesia pasca kemerdekaan saat Soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim,
Urip Sumohardjo dan lain-lain masih ada.
Dari perhatiannya itu, Pak Herb melihat bahwa orang
bisa menjadi elit di Indonesia ini kalau, yang pertama, dia adalah pejuang kemerdekaan. Sebagai pejuang, orang
seperti punya entitlement untuk
menjadi bagian dari negara. Karena itu penting sekali bagi seseorang
mengidentifikasikan dirinya sebagai pejuang kemerdekaan.
Sekarang ini bahkan anak-anak para pejuang itu semacam
punya legacy untuk meneruskan kiprah
orang tuanya. Cara lain yang juga ditempuh adalah menjadikan entah kakeknya,
atau entah pendiri organisasinya sebagai pahlawan nasional.
Di masa Orde Baru kepejuangan ini bahkan hampir
identik dengan Tentara Nasiobal Indonesia. Sehingga orang seperti menganggap
menjadi tentara adalah salah satu tiket
untuk naik menjadi elit. Mungkin sisa-sisanya masih bisa kita lihat sampai
sekarang di mana calon berlatar belakang militer masih cukup banyak punya
pesona elektoral
Yang kedua,
untuk bisa menjadi elit di Indonesia, orang harus bisa menjadi bagian dari kaum
inteligensia, golongan orang-orang pintar, anak-anak sekolahan. Ini
muncul dari pengamatan Herbert Feith saat itu dari begitu banyaknya orang-orang
bekas pegawai kolonial yang menduduki posisi-posisi penting dalam struktur
negara Indonesia awal. Mereka adalah kelompok pegawai didikan Belanda. Di
tangan merekalah negara ini bisa dijalankan. Mungkin dari sini kita bisa
mendapat penjelasan kenapa gelar akademik itu penting sekali.
Bagi anda yang pernah kuliah mungkin sekali dua kali
atau bahkan sering mendengar “mahasiswa adalah pemimpin masa depan”, atau
“mahasiswa sebagai intelektual muda”. Ini adalah bentuk dari kuatnya pandangan
bahwa menjadi inteligensia itu merupakan tapak awal untuk menjadi elit.
Jadi kalau misalnya anda adalah keluarga pejuang dan
anda pintar, itu kombinasi yang sempurna. Kita jadi tahu sekarang kenapa di
Indonesia ini menuliskan gelar akademik yang berderet-deret itu penting.
Tapi kenapa menjadi elit dianggap sesuatu yang
penting? Berbeda dengan misalnya di Eropa, di sana orang bisa menjadi elit
kalau pertama dia memang punya keturunan elit (hereditary), atau yang kedua dia punya tanah sangat luas. Dengan
kata lain orang harus kaya dulu baru bisa menjadi elit.
Di Indonesia ini terbalik. Orang seperti harus menjadi
bagian dari negara dulu baru bisa punya tanah, punya usaha, punya jaringan dan
punya uang. Dan untuk menjadi bagian dari negara, dia harus membawa dirinya
lebih dulu dalam proses menjadi elit (politik).
Sama dengan yang lain, mungkin Bahlil juga berpikir
bahwa kombinasi antara pengusaha, ketua partai, menteri dan bergelar doktor, merupakan kombinasi yang
sempurna menjadi kelompok elit di Indonesia.
Sebetulnya ceritanya masih panjang, kelasnya belum
berakhir, silahkan kalau ingin join. [ATI]
Komentar
Posting Komentar