Modernisasi, Elitisasi dan Society: Politik Indonesia yang Mana?

 




 sekolah riset satukata,-

Satukata menghelat kelas baru mulai pertengahan November dan rencananya akan berakhir pada minggu terakhir Desember 2024. Dikatakan “kelas baru” karena sepanjang perjalanan Sekolah Riset Satukata, baru kali ini kelas tentang politik Indonesia diselenggarakan.

Kelas ini adalah kelas yang ke 37 dari seluruh serial kelas yang pernah ada sejak 2020, dan merupakan kelas ke 10 yang diadakan sepanjang tahun 2024. Para peminat dari alumni kelas-kelas sebelumnya juga calon-calon peserta baru sudah mulai antusias meramaikan media sosial Sekolah Riset Satukata. 

Pengelola sekolah menyebutkan bahwa ide tentang kelas ini bukan datang baru-baru ini saja. Sebenarnya gagasan untuk menyusun seri khusus tentang politik Indonesia sudah muncul ketika Satukata mulai banyak mengembangkan kajian-kajian kritis tentang politik, lalu ada semacam ide untuk mendiskusikan bagaimana kalau kita ingin tahu lebih jauh tentang politik Indonesia.

Mengapa kelas ini penting, salah satunya karena setiap kali terjadi pergantian kepemimpinan nasional, publik hampir seperti digelayuti oleh dua pertanyaan besar, bagaimana kita melihat Indonesia sekarang, dan apa yang musti kita pikirkan untuk Indonesia yang mendatang?

Sudah tentu ada banyak jawaban atas pertanyaan seperti itu, tapi kalau dari sisi politik apa saja jawaban yang tersedia, kira-kira di situlah kelas ini mengambil tempat. Teori Politik Indonesia ini bukan mau mendedahkan teori politik yang genuine dari Indonesia, atau semacam teorisasi yang dihasilkan dari realitas Indonesia. Selain hal itu sangat ambisius, karena tak ada yang genuine di dunia ini, juga memang sulit untuk menemukannya.

Kelas ini memilih jalan yang berbeda, ketimbang masuk lewat asumsi realitas menciptakan teori, bagaimana kalau masih agak mirip dengan itu tapi coba kalau kita dudukkan Indonesia sebagai ontologi. Dengan cara ini kita akan mendapati ada berapa banyak epistemologi politik yang sejauh ini berusaha menjelaskan Indonesia.

Jadi kalau misalnya kita kembali ke pertanyaan apa yang bisa kita katakan tentang  Indonesia sekarang dan lima tahun ke depan, jawabannya akan sangat tergantung dari epistemologi politik mana kita melihatnya. Kelas ini mencoba untuk mengumpulkan ragam penjelasan tentang Indonesia yang selama ini ada dari sudut pandang politik.    

Secara sederhana, kalau orang melihat Indonesia, akan ada beberapa kecenderungan saja. Yang pertama adalah kelompok yang terus mempersoalkan sejauh mana Indonesia bisa lebih maju dari sebelumnya. Keyakinan akan hal ini dapat kita temui dari kata-kata misalnya, “kita butuh inovasi di segala bidang”. Kelompok ini tanpa selalu disadarinya dirasuki keyakinan tentang modernisasi yang sangat kuat.

Dulu, di masa Soeharto, perspektif ini muncul dalam jargon, misalnya “era tinggal landas”, yang mengisyaratkan tentang betapa kita sebagai bangsa ini harus semakin maju dan maju. Sekarang kata-kata seperti ini sudah tidak terdengar lagi, tapi kita bisa menjumpainya dalam rumusan yang nadanya kurang lebih sama, misalnya, “keluar dari middle income trap”, dengan memanfaatkan “bonus demografi”, atau “menuju masyarakat 5.0” dan seterusnya.  

Sedangkan yang kedua tidak melihat Indonesia dengan cara yang seperti itu. Kalau kita mau menjelaskan politik Indonesia, kata kelompok kedua ini, yang kita harus perhatikan adalah tokoh-tokoh utamanya, para pemimpinnya, atau kaum elitnya. Karena orang Indonesia itu sangat percaya dengan para pemimpinnya.

Cara ini sangat berpengaruh dan membuat kita bisa mengerti sekarang kenapa kalau belajar sejarah Indonesia, yang dipelajari adalah kiprah para pahlawan. Kita bahkan mendapati keyakinan ini muncul dalam kata-kata, “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”, atau kata-kata dari Soekarno yang terkenal itu, JASMERAH, “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.

Kuatnya keyakinan ini juga membawa kita merasa penting untuk mengangkat kembali kisah-kisah besar masa lalu seperti Majapahit dan Sriwijaya, atau lebih lama lagi tentang wangsa Syailendra dan Airlangga. Dan untuk membawa semangat itu terus terjaga, kita tahu ada banyak kampus yang namanya mengambil nama-nama kerajaan besar di masa lalu itu.

Dan Indonesia sekarang ini hanyalah versi terkini dari kelanjutan cerita-cerita besar itu. Cara pandang ini sangat  kuat ditampilkan oleh George McTurnan Kahin dalam bukunya yang berjudul Nationalism and Revolution in Indonesia, yang cetakan pertamanya terbit tahun 1952.

Inilah, yang dalam fase berikutnya, mempengaruhi orang seperti Herbert Feith berkeyakinan bahwa kalau kita mau tahu bagaimana politik Indonesia yang sesungguhnya, yang harus diperhatikan baik-baik adalah bagaimana elit politik terbentuk dan bagaimana politik para elit itu berlangsung.

Kelompok yang ketiga punya pendirian yang berbeda. Betul memang bahwa elit punya pengaruh besar dalam politik Indonesia tapi bukankah elit itu akan tergantung pada masyarakat yang membentuknya. Di dalam masyarakat itu hidup aliran-aliran yang tidak bisa diabaikan oleh siapapun elitnya, bahkan aliran-aliran itu bisa menentukan apakah seseorang bisa menjadi elit atau tidak.

Contoh paling dekat yang bisa kita lihat adalah pada saat presiden yang baru mulai menyusun kabinet. Siapapun presidennya, ketika menyusun kabinet, akan mempertimbangkan representasi aliran-aliran dalam masyarakat, misalnya, apakah sudah mewakili Indonesia Barat dan Indonesia Timur, Islam dan non-Islam, NU dan Muhammadiyah, politisi dan profesional. Daftarnya bisa diperpanjang tentunya.

Sudah tentu ada varian-varian lain selain tiga di atas tapi kelas ini sudah masuk di separuh perjalanan, masih ada waktu jika ingin tahu lebih dalam. [ATI]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memori Kolektif

Sigmund Freud ; Psikoanalisis Dalam Kejiwaan Manusia

Etika dalam Disrupsi