Bangun Riset Berdampak, Ilmu Pemerintahan UNILA adakan Visiting Class di Sekolah Riset Satukata

 


Para ahli, terutama yang memperhatikan dengan serius perkembangan dunia, telah lama menandai bahwa dunia yang kita tinggali hari ini dipimpin oleh sebuah nalar tertentu, yang siapapun kalau tidak berpikir dengan nalar ini akan dianggap tidak maju dan mengganggu.  

Ciri-ciri utama nalar ini yang pertama, siapapun harus berpikir bahwa yang terpenting adalah kemajuan, yang kadang diganti istilahnya menjadi kesuksesan. Kemajuan itu harus terencana, harus terukur, dan memiliki tujuan. Yang kedua, kita manusia ini tidak bisa maju kalau tidak inovatif. Tapi, yang ketiga, berpikir inovatif itu tidak sempurna jika tidak berada dalam kesadaran kompetisi. Kita sering mendengar kata-kata siapa yang lamban akan ditinggal, siapa yang tidak menyesuaikan akan jadi tumbal.  

Yang keempat, inovasi dan kompetisi itu hanya bisa relevan kalau ditaruh dalam mode kecepatan. Jadi, siapa yang cepat dia yang lebih maju. Untuk bisa cepat, yang kelima, semua orang harus tidak perlu banyak bicara, banyak diskusi, banyak berpikir dan berdebat. Lakukan, kerjakan, jangan banyak komentar. Dan yang keenam, semua yang kerja harus berorientasi pada hasil dan bukan pada proses.      

Inilah dunia yang saat ini sedang kita hidupi. Bukan hanya individu bahkan negara juga berpikir dengan cara yang sama. Dalam dunia yang seperti itu, apa yang mulai hilang, adalah kemampuan refleksi dan berpikir kritis. Tapi, mereka, para ahli itu semacam menyisipkan pesan penting bahwa manusia harus terus mengembangkan kemampuan belajarnya secara mendasar. Ini merupakan cara yang tak bisa ditawar agar tidak larut dalam arus tapi juga tidak tertinggal.  

Dunia kampus, sebagai kekuatan penting dalam memproduksi dan menyuplai pengetahuan, terus dituntut perannya dalam menjaga nalar kritis di samping turut serta dalam mendorong kemajuan. Baik nalar kritis maupun nalar kemajuan keduanya hanya bisa dibangun berbasis pada penguatan tradisi riset.  

Jurusan Pemerintahan FISIP UNILA dan Sekolah Riset Satukata telah memulai langkah yang penting. Langkah ini dituangkan dalam kerja sama kedua lembaga untuk memajukan ilmu pengetahuan dan membangun tradisi riset yang kuat sejak dini.  

Menindaklanjuti hal tersebut, pada 15 Mei 2025 lalu 89 mahasiswa FISIP UNILA melakukan kuliah lapangan riset berdampak (visiting class). Kegiatan tersebut bertempat di Sekolah Riset Satukata, Tanjung, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, D.I. Yogyakarta.  

Visiting class tersebut dimulai dari pukul 08.00 WIB. Para peserta turun di lapangan Djabalkat kemudian berjalan kaki sekitar 300 meter ke arah utara menuju pendopo Komplek Perumahan Komun Samadhya. Setelah memperoleh pengarahan, para peserta yang sudah kelihatan lelah karena kurang tidur, dibagi dalam sepuluh kelompok. Masing-masing kelompok dibekali dengan pertanyaan yang harus mereka kembangkan sendiri. Mereka juga sudah diberitahu ke mana harus menuju.


Udara pegunungan yang segar, didukung dengan cuaca cerah, membuat peserta kurang tidur kembali semangat menjalani kegiatan belajar hari itu. Setiap kelompok sudah mendapat mentor masing-masing, tempat di mana mereka akan berdiskusi tentang riset, bagaimana menjadi seorang peneliti, bagaimana membuat riset yang bagus, serta menyerap pengalaman riset dari mentor yang merupakan para peneliti senior di bidangnya.

Ada beberapa mentor yang didatangi oleh para peserta, yaitu Dian Dwi Annisa, Achmad Choiruddin, Marsen B. Sinaga, Riangga Yudas, Ridwan Munzir, Ciptaningrat Larastiti, Laksmi A. Savitri, Anik Yuniarti, Andika Wirawan dan Agatia Wenan Tyawati. Masing-masing memiliki rekam jejak penelitian yang panjang dengan pendekatan masing-masing. Mulai dari riset dan dunia perbukuan, riset dengan jurnalistik, riset dengan etnografi, riset dalam pengembangan dan praktik arsitektur vernakular, bagaimana memanfaatan artificial intelligence dalam riset, riset untuk mendukung pemenuhan hak-hak disabilitas dan penanggulangan bencana, riset tentang dunia keperawatan, termasuk riset tentang agraria dan perubahan pedesaan. Berjaket almamater warna biru, dengan antusias, beberapa kelompok mendiskusikan tentang riset berpendekatan kritis, juga bagaimana riset dilakukan di bidang Hubungan Internasional.


 
Sambil minum teh hangat dan menikmati camilan ala desa, jagung rebus dan ubi jalar, kelompok yang sudah selesai diskusi bersama mentor berkumpul di pendopo. Mereka mendiskusikan kembali apa yang mereka dapatkan dan membagikanya dengan kelompok-kelompok lain, sehingga semua kelompok saling belajar dan memperoleh asupan gizi pengetahuan yang sama.
 
Suasana pendopo yang sebelumnya sepi menjadi riuh oleh suara diskusi. Meskipun berkerumun tapi masing-masing tetap bisa konsentrasi menyelesaikan tugasnya. Selain menyarikan hasil diskusi mereka juga diminta untuk menyimbolisasikannya dalam ilustrasi gambar yang menarik. Di sini masing-masing diuji kemampuan seninya dalam menerjemahkan kata-kata menjadi gambar-gambar yang bisa dicerna.  
 
Keasyikan diskusi di kelompok masing-masing hampir tak bisa dihentikan, tapi sayangnya tak cukup ada waktu untuk membuatnya lebih lama lagi. Yang menggembirakan adalah meskipun dalam waktu singkat hampir semua sudah bisa menangkap dan mengilustrasikannya. Wajah-wajah kecewa dari yang tidak kebagian presentasi terobati ketika mereka menyimak pengalaman riset setengah abad dari peneliti senior Institute of Social Studies (ISS) the Hague, Belanda, Prof. Ben White.  
 
Pak Ben, begitu biasanya beliau dipanggil, menyampaikan hal-hal penting. Ia mengatakan bahwa penelitian zaman dulu semuanya dilakukan secara manual, tidak seperti sekarang. Kemampuan menulis cepat sangat diandalkan. Selama 50 tahun lebih ia mengamati perubahan yang luar biasa di pedesaan Jawa terutama terkait dengan anak muda dan pertanian. Untuk menggambarkan perubahan tersebut, peneliti yang memulai risetnya sejak usia muda itu, menerapkan apa yang disebut dengan Studi Alokasi Waktu. 
 
Teknik ini membantunya mengamati bagaimana orang-orang desa Kaliwiro, Kulonprogo, mengalokasikan waktunya. Ben mencatat ada banyak sekali perubahan penggunaan waktu setelah kembali ke desa itu pada sekitar tahun 2000, atau 30 tahun setelah ia memulai riset awalnya pada 1970an. Misalnya, semua rumah sekarang punya sepeda motor, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah dari pada membantu orang tuanya. Bukan mereka tidak mau membantu orang tua, tetapi waktu mereka membantu menjadi lebih sedikit. 
 
Video pendek tersebut memberikan kesan yang kuat pada para peserta. Dengan cerita itu mereka merasa ada sambungan antara masa lalu yang jauh dengan dunia yang mereka tinggali hari ini. Dengan mengetahui apa yang terjadi di masa lalu, melalui rekaman para peneliti, generasi sekarang akan tahu mereka sedang berada di mana dan apa yang harus mereka lakukan.  
 
Sebelum kembali ke Belanda, Mbak Ratna, sapaan akrab Ratna Saptari, Ph.D. juga merekam pengalaman risetnya yang panjang tentang buruh perempuan. Sebagai antropolog, Mbak Ratna menerapkan metode etnografi untuk mengungkap sisi terdalam, dimensi-dimensi yang tak tersentuh dari kehidupan seorang buruh perempuan, di mana hal-hal ini tak akan cepat tertangkap dengan kunjungan sekilas membawa daftar pertanyaan wawancara yang panjang. 
 
Pengalaman yang singkat hari itu telah membawa kesan yang penting bagi para mahasiswa. Mereka terlihat sangat menikmati proses diskusi yang berlangsung. Semuanya aktif dan memberikan kontribusi pada kelompok dan seluruh yang hadir.  
 
Tak terasa hari sudah siang saja dan mereka harus meneruskan perjalanan berikutnya. Mengakhiri visiting class itu para peserta mengisi perut kosong dengan makan siang di soto Naila, berjarak 250 meter dari lokasi acara. Sampai ketemu lagi, semoga semangat belajarnya menjadi semakin hebat, dan perjalanan studinya diberikan kelancaran serta mendapatkan hasil yang maksimal. 
 
Viva Governancia, jurusan ilmu pemerintahan FISIP UNILA. [ATI]






Komentar

Postingan Populer