Dedi Mulyadi dan Michel Foucault: Barakisasi, Pembentukan Tubuh dan Debat tentang Pendidikan Anak-anak “Nakal”

 






sekolah riset satukata,-

Tulisan ini dimulai dengan pertanyaan sederhana, bagaimana kita memahami digunakannya barak militer untuk mendidik anak-anak yang dianggap nakal, anak-anak yang susah diatur, anak-anak yang melawan orang tua?

Dedi Mulyadi, gubernur Jawa Barat sekarang, tengah menjadi perbincangan publik karena kebijakannya. Dedi mengirimkan anak-anak “nakal” untuk dididik di barak militer. Kelompok yang mendukung kebijakan ini percaya didikan barak militer mampu menyembuhkan kenakalan anak-anak. Disiplin militer yang keras dianggap bisa mematahkan sikap manja dan tak mau mendengar. Semacam ada anggapan anak-anak nakal itu akan terus semaunya sendiri kalau tidak ada yang ditakuti. Dedi terus meyakinkan publik bahwa apa yang dilakukannya efektif membuat anak-anak jera, kembali ke rumah menjadi pribadi yang baru, yang lebih bisa diatur, yang lebih menghormati orang tua, yang lebih bisa mengurangi melakukan hal-hal yang tidak berguna. Pendek kata Dedi menggunakan barak militer untuk menormalisasi anak-anak.

Sudah pasti apa yang dilakukan Dedi menimbulkan respon yang beragam. Pertama, kebijakan barakisasi ini menggugat premis pendidikan anak-anak yang selama ini didasarkan pada diskursus hak asasi manusia. Anak-anak harus diperlakukan sebagai individu yang otonom, keberhasilan pendidikan diukur dari sejauh mana hak-hak anak terpenuhi. Kenakalan anak-anak bukan karena mereka susah diatur tetapi itu dirujukkan pada seberapa jauh hak anak dipenuhi. Lalu kita punya lembaga yang tugasnya mengawasi sejauh mana hak-hak anak dipenuhi, sejauh mana hak-hak anak dilindungi (KPAI).

Kedua, kebijakan itu juga menggugat pendidikan yang selama ini disumberkan pada prinsip non-violence. Anak-anak tumbuh dengan cara meniru, sekali cara kekerasan digunakan untuk mendisiplinkan, cara itu akan juga mereka replikasi untuk tindakan-tindakan lain. Ada banyak kasus di mana anak-anak mengalami kekerasan di sekolah kedinasan. Prinsip non-violence ini membangun argumen yang kuat bahwa tindakan kekerasan yang melibatkan anak-anak bersumber dari cara bagaimana mereka diperlakukan sebelumnya. Jadi senakal apapun anak-anak, orang dewasa baik orang tua atau guru harus menahan diri dari melibatan kekerasan dalam bentuk apapun untuk melerainya.

Ketiga, kebijakan itu menjadi semakin kontroversial karena berada di tengah kekhawatiran publik tentang bangkitnya militerisme dalam mengatur masyarakat. Barakisasi ini, meskipun tak secara eksplisit dikatakan, dapat dibaca merupakan bentuk gugatan yang serius terhadap kegagalan institusi-institusi pendidikan selama ini dalam menangani anak-anak nakal. Bukan hanya menangani bahkan institusi-institusi pendidikan itulah yang justru melahirkan anak-anak yang disebut nakal itu.

Keempat, salah satu penolakan yang juga serius datang dari kelompok pembela abad pencerahan yang sangat percaya pada akal pikiran (reason) sebagai pengendali tatanan kehidupan. Kelompok ini mengarahkan kritiknya pada pendidikan barak militer karena dianggap hanya menghasilkan kepatuhan, padahal bagi mereka pendidikan harusnya menumbuhkan daya berpikir kritis yang dibutuhkan untuk kemajuan. Kelompok ini sangat percaya bahwa yang terpenting dalam pendidikan adalah melindungi dan mengembangkan kebebasan berpikir. Eksponen penting dari kelompok ini mengatakan pendidikan barak militer bukan pedagogi tapi demagogi, yang memiskinkan pikiran karena orientasinya kepatuhan.

Respon yang kelima datang dari mazhab pendidikan yang percaya bahwa pendidikan itu soal perkembangan kejiwaan. Anak-anak nakal bukan dikirim ke barak tapi harus ditangani secara khusus dengan pendekatan psikologis. Kita tahu kemudian bagaimana peran bimbingan dan konseling menjadi garda terdepan untuk menangani anak-anak yang dianggap bermasalah. Anak yang nakal dan susah dikendalikan sebetulnya sedang tidak mampu berdamai dengan traumanya. Karena itu yang harus dilakukan, yang pertama adalah mencari traumanya, dan yang kedua dibantu untuk menghadapi trauma itu. Mengirimkan anak ke barak militer mungkin bisa memperlihatkan sisi positif tapi kalau trauma ini tidak ditangani, ia bisa kembali ke perilaku negatif lainnya.

Yang terakhir, kebijakan Dedi juga sedang semacam menggugat gagalnya model pendidikan yang basisnya mengajarkan soal moralitas, hal-hal baik dan buruk, yang haram dan yang dibolehkan, soal budi pekerti. Urusan anak-anak nakal ini cara menanganinya bukan diserahkan ke tentara tetapi mereka harus dikirim ke pesantren untuk dididik menjadi pribadi yang berakhlak. Untuk membuat patuh bukan dengan menumbuhkan ketakutan pada aparat, tapi harusnya takut kepada Tuhan. Dan untuk itu anak-anak harus dibiasakan tekun beribadah hingga ia menemukan kesadaran sebagai hamba yang saleh.

Sampai di sini kita jadi tahu sekarang mengapa kebijakan barakisasi anak-anak nakal itu menuai kontroversi. Bukan mau menempatkan kebijakan tersebut dalam kerangka baik dan buruk, tapi kebijakan itu telah menguak medan antagonisme politik pendidikan anak-anak yang selama ada. Dan sekarang menjadi kelihatan antara yang pro dan yang tidak setuju dengan barakisasi itu. Ini bagian penting dan menarik untuk diceritakan tapi fokus kita bukan di situ.

Lalu apa hubungan antara Dedi Mulyadi dan Michel Foucault? Mungkin perlu kita ubah sedikit pertanyaannya menjadi kalau kita menggunakan Michel Foucault untuk menjelaskan kebijakan Dedi Mulyadi, apa yang kira-kira akan kita dapatkan?

Penjelasan lebih panjang tentang Michel Foucault ada dalam buku berjudul Metode Penelitian Kekuasaan Ala Michel Foucault yang terbit tahun 2022, https://www.instagram.com/p/Cy7gtKzpANm/?igsh=MTZ6OXJoMTNsdWtpMw== . Kalau buku ini kita pakai untuk membaca kebijakan Dedi Mulyadi, kita akan mendapati beberapa hal menarik yang bisa jadi tidak cukup mengenakkan, dan anda boleh setuju juga boleh tidak setuju.

Pertama, pendidikan adalah proses disiplinisasi, apapun bentuknya dan dengan cara apapun dilakukan, semuanya urusannya adalah mengatur. Jadi, mau yang hak anak, anti kekerasan, bimbingan dan konseling, masuk barak militer, kebebasan berpikir, moral budi pekerti, dan seterusnya, tujuannya hanya satu yaitu mengatur atau mengendalikan. Dengan kata lain antara yang pedagogi, andragogi, demagogi dan lainnya sama saja.
 
Kedua, disiplinisasi bisa berjalan karena ia sendiri merupakan urusan kekuasaan. Artinya disiplinisasi itu bisa beroperasi karena ada kekuasaan yang harus mengejawantahkan diri. Praktik berpendidikan sejatinya adalah praktik berkekuasaan. Keduanya berjalan secara bersamaan. Jadi, baik pendidikan anak nakal yang percaya pada kebebasan berpikir atau yang di barak militer, keduanya sedang sama-sama menjalankan kekuasaan tertentu.
 
Ketiga, kenapa pendidikan sama artinya dengan kekuasaan karena pendidikan tak bisa berjalan tanpa mengusung pengetahuan tertentu yang dianggap benar. Foucault selalu melihat kekuasaan dan pengetahuan sebagai dua hal yang berhimpit, keduanya berjalan secara bersamaan. Baginya mengetahui sama artinya dengan menguasai. Masing-masing cara mendidik anak yang dianggap bermasalah atau nakal tersebut sebetulnya selalu mulai dari membuat definisi tentang siapa anak nakal dan siapa anak baik. Nakal dalam pengertian Dedi mungkin tak sama dengan nakal dalam pengertian KPAI. Bagi pendidikan yang mengutamakan kebebasan berpikir, mungkin yang disebut nakal justru kalau anak-anak terlalu patuh dan tidak berani bertanya. 
 
Keempat, yang dimaksud kekuasaan dalam kerangka ini bukan sesuatu yang bersifat Weberian seperti presiden, menteri-menteri, pejabat-pejabat, oligarki atau parlemen. Foucault membayangkan kekuasaan muncul dalam banyak rupa, tersebar, ada di mana-mana, dan tidak ada pusatnya. Perlu untuk dicatat bahwa bagi Foucualt kekuasaan itu positif dan produktif bukan negatif dan menghambat. 
 
Kelima, sasaran dari kekuasaan yang banyak rupa itu tertuju bukan pada pikiran tapi pada tubuh. Jadi, yang diatur oleh kekuasaan itu mula-mula adalah tubuh dan tubuh ini menjadi tempat perebutan segala macam kekuasaan. Kenapa tubuh dan bukan pikiran karena tujuan paling utamanya memang membentuk tubuh yang patuh atau tubuh yang lembek (docile body), supaya gampang dibentuk dan mudah diatur.
 
Keenam, dalam kerangka ini apa yang dilakukan Dedi dengan mengirimkan anak-anak ke barak militer sudah didasari kesadaran bahwa yang harus diintervensi oleh kekuasaan memang harusnya tubuh bukan pikiran. Tidak seperti kepercayaan humanisme abad pencerahan yang mengagung-agungkan reason, Foucault membaliknya dengan menunjukkan bahwa tubuhlah yang menentukan pikiran, bukan sebaliknya. Itu berarti intervensi terhadap tubuh jauh lebih efektif dari pada intervensi pikiran. Selama ini orang salah mengira subtansi menentukan bentuk padahal sebaliknya. Foucault lebih menekankan bungkus daripada isi karena isi akan tergantung pada bungkusnya.

Jadi, mungkin memang Dedi Mulyadi sudah Foucault duluan bahkan sebelum ia membaca Foucault, atau Foucualdian tanpa sadar. Terang saja karena memang yang dikritik Foucault adalah sisa-sisa abad pencerahan, kelompok yang masih kekeh dengan itu tak tahan untuk tidak mendangkal-dangkalkanya.[ATI]

  

 

 



Komentar

Postingan Populer