Apa Yang Mungkin Bisa Hilang Dari Sebuah Sejarah Yang Ditulis Ulang

 

Sebagai kebijakan pemerintah, proyek menteri kebudayaan yang sedang menjadi pembicaraan publik sekarang ini menarik untuk dilihat kembali. Dianggarkan sebesar 9 milliar, ditargetkan selesai sebelum 17 Agustus 2025, melalui kementerian kebudayaan yang dipimpinnya, Fadli Zon berambisi menarasikan ulang sejarah Indonesia sebagai program terobosannya.

Dalam upaya membuat proyek ini bisa diterima secara publik, ia menempuh baragam strategi. Yang pertama, dengan menaruhnya di kementerian kebudayaan, ia sedang membungkus penulisan sejarah sebagai urusan budaya.

Apa yang hendak dicapai dari hal ini adalah penulisan sejarah sebagai kegiatan berkebudayaan tak ada hubungannya dengan politik. Karena bukan urusan politik maka jangan dilihat sebagai pekerjaan politik. Sehingga kalau sampai ada yang mempolitisasi, maka itu tindakan yang keliru.

Strategi kedua adalah mengarahkan pembicaraan soal penulisan sejarah ini mirip seperti pekerjaan mengupdate informasi. Ini tampak dalam pernyataannya yang mengatakan bahwa penulisan sejarah dilakukan karena ada bukti-bukti baru yang belum dimasukkan.

Kalau kita jeli pernyataan ini secara implisit mau mengatakan bahwa sejarah Indonesia sekarang ini sudah usang, meskipun tak semuanya. Karena sudah usang maka perlu diperbarui, dengan data-data baru.

Yang ketiga, dengan mendasarkan diri pada data-data baru sebagai dasar penulisan, proyek ini hendak menampilkan realitas bahwa penulisan ini objektif dan netral, karena yang bicara data-data bukan opini. 

Itu artinya, penulisan sejarah dilakukan dengan pendekatan yang sudah saintifik. Siapa yang menyanggah data berarti menolak kebenaran dan anti-sains. Karena objektif dan netral maka penulisan ini tidak berpihak pada siapapun kecuali kebenaran.   

Strategi yang keempat, penulisan sejarah ini bukan dilakukan oleh sembarangan orang. Proyek ini dikerjakan para ahli sejarah, orang-orang yang mengkaji sejarah, menekuni sejarah, dan punya background ilmu sejarah.

Dengan ini kesalahannya akan sangat kecil terjadi. Untuk itu, tak perlu lagi diragukan soal kualitas, akurasi dan kebenarannya. Terkait konsultasi publik, jangan khawatir, setelah jadi naskahnya nanti, publik akan diundang membacanya dan menyampaikan pendapat. Tapi jangan bilang penulisan itu elitis soalnya dikerjakan para ahli.  

Kelima, mirip seperti nasehat para motivator kebebasan finansial, bahwa kita harus berpikir positif. Agar bisa maju negara juga perlu melakukan hal yang sama.

Tone sejarah Indonesia selama ini tidak positif. Oleh karena itu, harus ditulis ulang dengan nada dan tone yang positif, termasuk kasus pelanggaran HAM, Orde Baru, Orde Lama dan Reformasi. Semua narasi yang nadanya negatif harus diganti.

Dengan lima hal itu, menteri kebudayaan sedang membangun batasan politik yang tegas, yang dengan sendirinya menempatkan siapapun yang tidak setuju ke pihak sebelah. Pihak sejarah yang sedang dibangunnya merupakan rajutan dari beberapa elemen, bahwa penulisan sejarah ini bukan urusan politik, ini juga soal pembaruan, ini objektif dan netral, ini dikerjakan para ahli, dan ini soal berpikir positif demi bangsa.

Dengan posisi ini ia sedang menempatkan sipapun yang tak setuju dengan ambisinya itu sebagai politis, usang, tidak ilmiah, tak paham sejarah dan punya pikiran negatif terhadap bangsa.

Uraian di atas menjelaskan soal bagaimana politik penulisan ulang sejarah Indonesia dilakukan, tapi kalau kita perhatikan rasa-rasanya ada bagian sangat penting yang entah kenapa hilang dari perhatian. Aspek itu adalah sesuatu yang terkait dengan sejarah luka dan trauma. Ini sebetulnya urusan yang dekat dengan wilayah psikoanalisis.

Kalau kita pakai psikoanalisa, pertama-tama kita harus meletakkan penulisan ulang sejarah itu sebagai symptom atau histeria. Histeria muncul sebagai sesuatu yang tak biasa. Orang histeria biasanya berperilaku aneh dan melakukan hal-hal tak biasa. Kadang teriak-teriak, ngomel tak jelas, sakit kepala tiba-tiba, atau muntah yang tak ada sebabnya dan sebagainya.

Psikoanalisa tidak memperlakukan histeria sebagai penyakit mental. Histeria justru merupakan jalan bagi penyembuhan. Orang yang histeris maupun yang neurosis sama-sama sedang melepaskan trauma. Ketika traumanya keluar, akan bisa diketahui apa yang tersimpan di dalam alam bawah sadarnya.

Perhatikan ketika gagasan penulisan ulang sejarah ini muncul, ia langsung menyeruakkan banyak respon yang beragam. Respon-respon itu nadanya penuh kekhawatiran dan takut akan kembalinya luka-luka sejarah lama yang belum sembuh sepenuhnya.

Ini artinya penulisan ulang sejarah itu membangkitkan hal-hal tak mengenakkan (trauma) dari ingatan perjalanan bangsa ini (unpleasant memories). Ada banyak luka sejarah bangsa yang harus sama-sama diakui dan disembuhkan bukan malah ditenggelamkan dengan misalnya memanipulasi menjadi positif.

Terutama bagi mereka yang disingkirkan, mereka yang dikalahkan dan mereka yang suaranya tak pernah didengarkan. Penyembuhannya tidak bisa dilakukan dengan menghilangkan ingatan begitu saja melalui revisi istilah atau memperbarui data-data sejarah.

Cara seperti ini mungkin benar secara akademis tetapi kalau hanya diperlakukan sebagai urusan teknokratis saja, ia justru berpotensi memperparah luka lama karena mereka yang terkait langsung dengan trauma bisa merasa tak mendapat ruang untuk disembuhkan.

Sudah tentu sah-sah saja melibatkan para ahli, bahkan itu harus, tapi yang perlu sekali diingat seahli-ahlinya para ahli tetap ia bukan yang merasakan trauma sebenarnya, bukan yang menyintasi luka sejarah. Apalagi hingga saat ini tidak pernah diberitahu siapa saja ahli-ahli itu, dari mana mereka, dan apa alasan pemilihannya.

Namun upaya penulisan sejarah ini penting dan perlu didukung kalau juga ia diletakkan sebagai momentum penyembuhan nasional. Untuk sebuah pekerjaan yang sangat penting seperti ini, menulis ulang sejarah Indonesia sepertinya tidak cukup sekedar diperlakukan semata sebagai pekerjaan kementerian atau pembaruan data yang terkesan terburu-buru. 

Menjadi demikian karena ia pada dasarnya merupakan cara untuk menampilkan gambar diri Indonesia baru karena gambar diri lama dianggap tidak lagi relevan. Dalam upaya menampilkan gambar diri ini jangan sampai yang menonjol justru gambar diri yang punya dampak traumatik lebih besar terhadap perjalanan bangsa.

Mungkin benar bahwa histeria bisa memang disebabkan karena trauma yang benar-benar terjadi atau hanya karena fantasi. Tapi apapun itu, keduanya punya efek traumatik yang sama dan tak cukup jika hanya diberi perlakukan dengan mengubah narasi yang dianggap negatif menjadi positif.

Bahkan jikapun itu positif, pertanyaannya positif yang dimaksud di situ versi siapa, atau versi yang mana, apakah para penyintas luka sejarah bisa diwakili traumanya dalam narasi itu. Positif dan negatif sebuah narasi sejarah yang dituliskan sebagai proses penyembuhan luka seharusnya ditentukan oleh para penyintas trauma, bukan oleh siapapun di luar itu.

Dengan menyadari hal ini, penulisan sejarah baiknya dikerjakan dalam semangat multidisiplin yang mengoperasikan beragam pendekatan. Bukan hendak mengatakan tidak penting, namun, urusan sejarah sebagai urusan kebangsaan, bila dikerjakan hanya dengan satu pendekatan yang dianggap mewakili semua, ia sejak awal sudah menjadi trauma itu sendiri. Alih-alih menyembuhkan, justru membuat lukanya makin terbuka.

Ketika hal yang sangat mendasar dalam sejarah bangsa ini tidak disadari sejak awal, akan ada semakin banyak luka yang tersimpan di alam bawah sadar Indonesia yang sewaktu-waktu ketika mekanisme pertahanan diri bangsa ini melemah, ia akan menyeruak menjadi perilaku agresif dan destruktif yang membahayakan.

Oleh sebab itu menulis sejarah harus menjadi bagian dari proyek nasional untuk menyehatkan sejarah, menyehatkan bangsa, menyehatkan Indonesia. [ATI]   

 

Komentar

Postingan Populer