Photo by Canva
Menteri ATR BPN beberapa waktu lalu menyampaikan kenyataan betapa timpangnya penguasaan
lahan, 48 persen tanah di Indonesia dikuasai hanya oleh 60 keluarga saja. Sebagai
orang baru yang ditaruh di urusan pertanahan, wajar jika hal itu
mengagetkannya. Tapi bagi yang sejak lama menggeluti soal ini, apa yang
dikatakannya bukan hal baru.
Sudah sejak lama para peneliti
agraria seperti Gunawan Wiradi mengungkapkan soal ketimpangan agraria ini. Sebagai menteri yang membuka data dan menyoroti isu ketimpangan itu lebih
terang, apa yang dilakukannya bolehlah mendapat pujian. Jika dibandingkan
dengan menteri-menteri sebelumnya yang cenderung memperhatikan soal lain,
misalnya mafia tanah atau selalu soal sertifikasi tanah, dan sibuk
sekali dengan urusan property right.
Di sini kita tidak membahas
mengapa ketimpangan agraria itu terjadi. Sudah ada banyak penjelasan dan
analisis yang tajam soal ini terutama dari perspektif studi-studi agraria
kritis. Yang akan kita diskusikan di sini berbeda karena mencoba melihat
bagaimana hubungan ketimpangan agraria dengan kualitas demokrasi.
Kenapa menghubungkan dua hal itu kelihatan jauh. Karena yang pertama, dari studi demokrasi mainstream sendiri, juga kurang lazim menjelaskan demokrasi dengan ketimpangan agraria. Ini disebabkan oleh, yang kedua, penjelasan yang sudah mainstream ketika membaca demokrasi urusannya selalu dikaitkan dengan misalnya; sudah seakuntabilitas apa pengelolaan urusan publik, sudah setertata apa suksesi kepemimpinan politik, apakah rekrutmen politik sudah dijalankan terbuka, apakah pemilu berjalan bebas dan adil, sejauh mana hak sipil politik warga negara terpenuhi, termasuk sudah seberapa bebas sipil dalam mengekspresikan pendapat dan aspirasinya.
Sudah tentu sah-sah saja melihat demokrasi dengan cara itu. Kajian-kajian demokrasi di luar mainstream bahkan juga sudah mengungkap penilaian demokrasi yang seperti itu berangkat dari asumsi tradisi berpikir demokrasi yang spesifik. Tapi rasa-rasanya kalau cara melihat itu kita gunakan, sepertinya persoalan ketimpangan agraria jauh atau malah jauh banget dari jangkauannya. Persoalan itu paling-paling hanya ditaruh sebagai urusan yang ditangani setelah pergantian pejabat publik dilakukan. Itupun kalau pejabat publiknya punya concern agraria.
Bahkan yang kadang tidak disadari adalah persoalan ketimpangan
agraria dan penguasaan lahan dianggap tidak terlalu mengganggu perjalanan
berdemokrasi. Perhatikan misalnya tesis tentang kemunduran demokrasi, tak
satupun yang melihat dimensi ketidakadilan agraria sebagai sesuatu yang
penting.
Pertanyaan kita kemudian adalah apakah ada cara lain yang bisa membantu kita melihat hubungan antara ketidakadilan agraria itu dengan demokrasi? Untuk ini, kita perlu menengok kajian lain tentang demokrasi yang tidak mainstream dan karena tidak mainstream ia tidak pernah muncul dalam perbincangan dan perdebatan tentang demokrasi. Tapi siapa tahu pendekatan yang tidak mainstream itu justru bisa membantu kita melihat demokrasi dengan cara yang berbeda sehingga aspek ketidakadilan agraria bisa masuk.
Barangkali juga dengan
cara ini kita jadi mengerti kenapa demokrasi kita begini-begini saja, kenapa
demokrasi kita alih-alih menghancurkan oligarki malah justru memperkuatnya, dan
kenapa demokrasi yang sudah kita jalankan selama ini tidak begitu berdampak
nyata terhadap perubahan nasib rakyat; tetap susah nyari
kerja, pendidikan makin mahal, pangangguran terus bertambah, bikin usaha belum
apa-apa sudah dipajaki, korupsi makin menggila, politisi ngomong seenaknya.
Dalam buku berjudul Keluar
Dari Demokrasi Populer: Dinamika Demokrasi Lokal dan Distribusi Sumber Daya
yang terbit tahun 2014, di situ ada penjelasan menarik tentang hal ini. Berbeda
dari cara melihat demokrasi mainstream, buku itu mengangkat
pandangan seorang peneliti demokrasi yang tidak begitu populer, namanya Tatu
Vanhanen, seorang ilmuwan politik dan sosiolog asal Finlandia. Ia melakukan
survei luas mencakup 172 negara untuk membuktikan bahwa demokrasi sebetulnya sangat
terkait dengan seberapa merata sumber daya di suatau negara didistribusikan. Hasil penelitiannya itu lalu dibukukan dengan judul Prospect of Democracy: Study of 172 Countries,
terbit pertama kali tahun 1984.
Baginya menilai apakah suatu masyarakat sudah demokratis atau belum mudah saja, tidak perlu rumit-rumit. Dengan ini yang hendak dikatakannya adalah ketika sumber daya terdistribusi secara merata berarti masyarakat atau negara itu demokratis. Tapi kalau sumber daya terkonsentrasi atau dikuasai oleh sekelompok kecil orang saja, itu artinya masyarakat belum demokratis, meskipun pemilu untuk suksesi kepemimpinan sudah dilakukan, meskipun sudah ada pembagian kekuasaan, meskipun masyarakat sudah datang ke kotak suara dan seterusnya.
Memang ada banyak kritik terhadap
buku Vanhanen dan itu wajar saja dalam perdebatan ilmiah akademis. Tapi caranya
menjelaskan mungkin tetap berguna dan masih relevan untuk melihat kualitas
demokrasi kita. Dalam buku itu, Vanhenan menyebut jenis sumber daya yang
berhubungan dengan demokrasi misalnya berapa banyak prosentase mahasiswa di
banding seluruh populasi, berapa banyak populasi non pertanian, seberapa besar
tingkat literasi, tapi yang paling terkait dengan ketimpangan agraria adalah berapa
banyak jumlah keluarga petani.
Kenapa ini penting karena, misalnya
di halaman 47 dan 48 ia mengatakan, “The ownership or control of land is an
important power resources especially in agricultural societies. It is easy to
use this resource as a sanction in struggle for power. The concentration of
landownership makes large part of the agricultural population dependent on
those controlling the use of land. It is difficult for an economically and
socially dependent agricultural population to take in politics independently, to
form its own economic and political interest organization, and to participate
in national politics”.
Meneruskan hal ini, buku Keluar
Dari Demokrasi Populer (2014) yang ditulis dari tesis master bidang politik dan pemerintahan di atas mengajak untuk melihat realitas
Indonesia. Mengambil ilustrasi kasus dari Blitar, Jawa Timur, yang dikelilingi ribuan
hektar lahan perkebunan tinggalan Belanda, buku itu semacam menyimpulkan bahwa ketika
sumber daya dikuasai oleh sedikit orang, daerah itu mungkin sudah berganti
bupati berkali-kali tapi hal itu tidak akan banyak mengubah struktur sosial-politik agrarianya. Daerah lain yang dekat dengan itu misalnya adalah Kutai Kartanegara pada masa bupati Syaukani, dan mungkin juga Yogyakarta.
Ribut-ribut tentang politik dinasti, juga tesis-tesis tentang orang kuat lokal, atau bos-bos lokal yang kadang disebut para bohir, di mana mereka meskipun tidak selalu turut serta langsung dalam kontestasi politik elektoral, tapi kekuasaan yang mereka punyai dari penguasaan sumber daya yang lebih besar membuat mereka bisa menentukan jalannya politik.
Tapi bukankah hal itu sudah menjadi pengetahuan umum di masyarakat kita, dan dengan punya pemahaman seperti itu keadaan juga tidak banyak berubah. Jadi, apa gunanya membahas sesuatu yang sudah sejak lama diketahui? Kalau penguasaan lahan dan kualitas demokrasi itu memang berhubungan, terus kenapa? Daripada mengeluhkannya lebih baik memanfaatkannya. Mungkin kita jadi tahu sekarang kenapa cara menilai demokrasinya Tatu Vanhanen itu tidak populer karena ia benar-benar bisa mengancam oligarki.
Pertanyaannya adalah meskipun masyarakat tahu bahwa memang seperti
itu kenyataannya kenapa tidak muncul resistensi, dan yang
terjadi justru menerimanya saja, jadi apa yang sesungguhnya terjadi?[ATI]
0 Komentar