Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

KKN Dan Politik Pemberdayaan

 


sekolah riset satukata,-

Pada sebuah sore yang cerah penulis bertemu dengan kolega di sebuah café untuk membicarakan pekerjan yang belum selesai. Di tengah obrolan yang asyik itu menyelinap topik tentang perahu tenggelam di Maluku yang membawa mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata). Salah seorang dari kami nyeletuk, kenapa setiap KKN seperti selalu ada saja korbannya, entah kecelakaan atau bahkan sampai meninggal dunia. Ia lalu bercerita tentang masa KKN-nya yang juga terjadi kasus kecelakaan sampai meninggal dunia.

Selang beberapa hari kemudian kejadian kapal mahasiswa KKN yang tenggelam itu memantik diskusi di mana-mana. Sebagian pembicaraan mengaitkannya dengan cuaca buruk yang sedang melanda kawasan Indonesia bagian timur, sehingga agak sulit diprediksi. Fenomena perubahan iklim menyebabkan musim yang berubah sehingga musim hujan makin panjang padahal seharusnya sudah masuk kemarau.

Yang lain menyoroti perihal yang berhubungan dengan kecerobohan. Pilihan perahu fiber untuk ombak yang sedang tinggi bukan pilihan yang tepat. Harusnya menggunakan perahu kayu yang lebih aman, dengan ukuran lebih besar dan mesin berkapasitas lebih sesuai. Berat muatan juga harus dipikirkan agar perahu tidak mengalami kelebihan beban. Selain itu juga semua penumpang harusnya membawa baju pelampung untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan.

Perbincangan lainnya mengarahkan sudut pandang pada pengelolaan KKN itu sendiri. Apakah masih perlu mengirim mahasiswa KKN ke tempat-tempat yang jauh. Penyelenggara seharusnya lebih selektif lagi dalam memilih lokasi dan memastikan tujuan KKN betul-betul aman. Selain itu pertimbangan waktu dan musim perlu diperhatikan lebih teliti agar keselamatan peserta KKN terjamin.

Tapi dari sekian diskusi itu ada satu diskusi yang pembicaraannya berbeda. Ketika sebagian besar sedang menjawab pertanyaan kenapa perahu itu bisa tenggelam, diskusi itu justru mempersoalkan sesuatu yang sangat mendasar. Alih-alih bertanya kenapa perahunya tenggelam, diskusi tersebut mempersoalkan apakah program KKN masih relevan untuk dilakukan?

Kalau kita lihat sejarah KKN, pada awalnya ia dilakukan dalam semangat pendidikan yang kuat. Indonesia baru merdeka dan sedang membangun sumber daya manusia tapi menghadapi masalah kekurangan guru. Untuk memenuhi kebutuhan itu pada 1951 salah satu kampus besar di Yogyakarta mengirim mahasiswa ke luar Jawa untuk mengajar. Pada saat itu kegiatan ini belum disebut secara resmi dengan KKN.

Istilah KKN mulai secara resmi dipakai sejak setelah profesor Koesnadi Harjasoemantri menyelenggarakan seminar bersama 13 perwakilan universitas pada bulan November 1972. Istilah KKN dipilih untuk menggabungkan kegiatan lapangan terkait suatu disiplin ilmu, dan kerja nyata, yang artinya kegiatan praktis untuk kepentingan masyarakat. Dalam perkembangannya KKN yang semula berarti perpaduan antara darma pengajaran, dan darma pengabdian kepada masyarakat, kelak ia juga mencakup darma penelitian. KKN juga berfokus pada membiasakan diri berpikir multidisiplin dan lintas disiplin, sehingga membentuk sifat keterbukaan dalam diri mahasiswa. KKN kemudian menjadi kegiatan wajib di berbagai perguruan tinggi.

Jika dihitung sejak dimulainya KKN pada 1950-an hingga sekarang berarti program ini sudah berusia kurang lebih 75 tahun. Sepanjang waktu itu ada jutaan mahasiswa yang dikirim ke desa-desa, ke daerah-daerah untuk melakukan KKN dengan durasi waktu rata-rata satu semester, kurang lebih lima atau enam bulan. Sampai sekarang dan masih akan begitu di waktu yang akan datang, setiap tahun ribuan mahasiswa diterjunkan untuk melakukan KKN.

Lalu di mana pembicaraan mendasar tentang KKN itu berada? Kalau kita perhatikan asal-usul KKN tersebut, pada mulanya pengiriman mahasiswa ke desa-desa dan daerah bertujuan untuk membantu masyarakat mengatasi persoalannya, ada masalah kekeringan, masalah wabah penyakit, masalah buta hurup dan sebagainya. Dengan jumlah mahasiswa yang demikan besar, dengan waktu yang sedemikian lama, harusnya kita bisa melihat keadaan yang makin membaik. Tapi, bagi salah satu pendapat dalam diskusi itu, kenyataannya tidak kelihatan cukup menggembirakan.  

Kalau kita perhatikan ide mendasar KKN ini dari sejak awal dimulai ia adalah pemberdayaan. Terhadap pertanyaan apakah KKN masih mengusung misi utamanya itu, sekelompok mahasiswa yang mengkritisinya melihatnya tidak. Pendapat ini didasarkannya pada pengamatannya, dan pengalamannya sendiri, betapa program-program KKN perlahan-lahan terus mengalami elitisasi.

Dari yang awalnya ditumpukan pada kebutuhan masyarakat menjadi urusan yang sepenuhnya bagian dari kepentingan kampus. Ada banyak progam KKN yang tidak nyambung dengan kebutuhan masyarakat, dan hanya  sekedar keren-kerenan, mutakhir-mutakhiran, dan digital-digitalan. Bahkan dalam perkembangan terakhir ia hanya menjadi sekadar syarat kelulusan.

Elitisasi yang kedua, masih banyak yang melihat KKN ini seperti mendudukkan kampus sebagai tempat ilmu dan masyarakat sebagai wilayah “jahiliyah” yang harus diberikan pencerahan. Masyarakat kampus masih merasa lebih tahu, lebih punya ilmu, lebih ilmiah, lebih modern, lebih bisa menyelesaikan masalah dan seterusnya, lalu KKN adalah wadah bagi kampus untuk menyubjektifikasi masyarakat desa, dengan bahasa yang diindah-indahkan seperti “pengabdian”, “pendampingan”, pembinaan”. Meskipun sudah menggunakan bahasa yang dialus-aluskan seperti itu kepentingannya untuk menjadi superhero tetap saja masih kelihatan.

Padahal kalau jujur dan mau sedikit rendah hati masyarakat yang dianggap sebagai wilayah yang harus diberdayakan itu punya kumpulan pengetahuan, yang bahkan kumpulan pengetahuan itu sudah menjadi kearifan, bukan sekadar menyelesaikan masalah (solutif) tetapi sudah menciptakan keseimbangan kosmis (integratif), cuman tampilannya saja yang tidak keren. Dalam banyak kasus kegagalan membaca dan memahami tacit knowledge-nya masyarakat yang sudah menjadi kearifan itu membuat mereka sering disalah-salahkan dan diterbelakang-terbelakangkan oleh yang merasa memegang lisensi ilmiah.

Dalam buku Politik Pem(b)erdayaan: Depolitisasi, Banalisasi dan Proyek Hegemoni (2024) https://www.sekolahrisetsatukata.id/2025/04/politik-pemberdayaan.html, elitisasi pemberdayaan membuatnya kehilangan orientasi emansipasinya karena cenderung melakukan depolitisasi. Maksudnya pemberdayaan menjadi program yang dianggap objektif dan bebas kepentingan. Kemudian ia mengalami proses banalisasi yang menjadikanya kehilangan makna karena tenggelam dalam urusan-urusan teknis-administratif untuk memenuhi laporan-laporan kegiatan.

Kembali ke soal KKN di atas, kelompok mahasiswa yang kritis tersebut bukan tidak mengakui sama sekali ada banyak hal yang juga patut diapresiasi, tapi menurutnya bukan hanya tidak manghasilkan apa-apa, kadang KKN malah merepotkan masyarakat yang ditempati kalau malah tidak membuat masalah. Ada juga yang berpendapat agak moderat dengan mengatakan kalau dalam waktu hanya enam bulan perubahan apa yang bisa diharapkan. Menuntut mahasiswa KKN membuat hal-hal yang spektakuler dalam waktu yang singkat bukannya itu sesuatu yang berlebihan.

Sementara kelompok mahasiswa lain yang kurang begitu menyadari politik pemberdayaan masih tetap polos-polos saja dan menganggap KKN itu baik karena bisa menjadi ajang praktik ilmu dan kepintaran kepada masyarakat persis seperti keyakinan developmentalism yang pernah sangat kuat menjadi imajinasi kolektif tentang bentuk dunia paling baik yang harus diwujudkan untuk membawa Indonesia menuju era tinggal landas yang entah kenapa justru membuatnya tertinggal di landasan.

Jadi apakah KKN masih penting? Kalau masih lalu makna apa yang perlu dilekatkan kepadanya untuk membuat agar misi emansipasinya bisa lebih kuat dan keluar dari kencenderungan menjadi banal dan elitis? (ATI)

0 Komentar