Pada sebuah sore yang cerah
penulis bertemu dengan kolega di sebuah café untuk membicarakan pekerjan yang
belum selesai. Di tengah obrolan yang asyik itu menyelinap topik tentang perahu
tenggelam di Maluku yang membawa mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata). Salah
seorang dari kami nyeletuk, kenapa setiap KKN seperti selalu ada saja
korbannya, entah kecelakaan atau bahkan sampai meninggal dunia. Ia lalu
bercerita tentang masa KKN-nya yang juga terjadi kasus kecelakaan sampai
meninggal dunia.
Selang beberapa hari kemudian
kejadian kapal mahasiswa KKN yang tenggelam itu memantik diskusi di mana-mana.
Sebagian pembicaraan mengaitkannya dengan cuaca buruk yang sedang melanda
kawasan Indonesia bagian timur, sehingga agak sulit diprediksi. Fenomena
perubahan iklim menyebabkan musim yang berubah sehingga musim hujan makin
panjang padahal seharusnya sudah masuk kemarau.
Yang lain menyoroti perihal yang
berhubungan dengan kecerobohan. Pilihan perahu fiber untuk ombak yang sedang
tinggi bukan pilihan yang tepat. Harusnya menggunakan perahu kayu yang lebih
aman, dengan ukuran lebih besar dan mesin berkapasitas lebih sesuai. Berat
muatan juga harus dipikirkan agar perahu tidak mengalami kelebihan beban. Selain
itu juga semua penumpang harusnya membawa baju pelampung untuk mengantisipasi
berbagai kemungkinan.
Perbincangan lainnya mengarahkan
sudut pandang pada pengelolaan KKN itu sendiri. Apakah masih perlu mengirim
mahasiswa KKN ke tempat-tempat yang jauh. Penyelenggara seharusnya lebih
selektif lagi dalam memilih lokasi dan memastikan tujuan KKN betul-betul aman.
Selain itu pertimbangan waktu dan musim perlu diperhatikan lebih teliti agar
keselamatan peserta KKN terjamin.
Tapi dari sekian diskusi itu ada
satu diskusi yang pembicaraannya berbeda. Ketika sebagian besar sedang menjawab
pertanyaan kenapa perahu itu bisa tenggelam, diskusi itu justru mempersoalkan
sesuatu yang sangat mendasar. Alih-alih bertanya kenapa perahunya tenggelam,
diskusi tersebut mempersoalkan apakah program KKN masih relevan untuk
dilakukan?
Kalau kita lihat sejarah KKN,
pada awalnya ia dilakukan dalam semangat pendidikan yang kuat. Indonesia baru
merdeka dan sedang membangun sumber daya manusia tapi menghadapi masalah
kekurangan guru. Untuk memenuhi kebutuhan itu pada 1951 salah satu kampus besar
di Yogyakarta mengirim mahasiswa ke luar Jawa untuk mengajar. Pada saat itu
kegiatan ini belum disebut secara resmi dengan KKN.
Istilah KKN mulai secara resmi
dipakai sejak setelah profesor Koesnadi Harjasoemantri menyelenggarakan seminar
bersama 13 perwakilan universitas pada bulan November 1972. Istilah KKN dipilih
untuk menggabungkan kegiatan lapangan terkait suatu disiplin ilmu, dan kerja
nyata, yang artinya kegiatan praktis untuk kepentingan masyarakat. Dalam
perkembangannya KKN yang semula berarti perpaduan antara darma pengajaran, dan
darma pengabdian kepada masyarakat, kelak ia juga mencakup darma penelitian. KKN
juga berfokus pada membiasakan diri berpikir multidisiplin dan lintas disiplin,
sehingga membentuk sifat keterbukaan dalam diri mahasiswa. KKN kemudian menjadi
kegiatan wajib di berbagai perguruan tinggi.
Jika dihitung sejak dimulainya KKN pada 1950-an
hingga sekarang berarti program ini sudah berusia kurang lebih 75 tahun.
Sepanjang waktu itu ada jutaan mahasiswa yang dikirim ke desa-desa, ke
daerah-daerah untuk melakukan KKN dengan durasi waktu rata-rata satu semester,
kurang lebih lima atau enam bulan. Sampai sekarang dan masih akan begitu di
waktu yang akan datang, setiap tahun ribuan mahasiswa diterjunkan untuk
melakukan KKN.
Lalu di mana pembicaraan mendasar
tentang KKN itu berada? Kalau kita perhatikan asal-usul KKN tersebut, pada
mulanya pengiriman mahasiswa ke desa-desa dan daerah bertujuan untuk membantu
masyarakat mengatasi persoalannya, ada masalah kekeringan, masalah wabah
penyakit, masalah buta hurup dan sebagainya. Dengan jumlah mahasiswa yang
demikan besar, dengan waktu yang sedemikian lama, harusnya kita bisa melihat
keadaan yang makin membaik. Tapi, bagi salah satu pendapat dalam diskusi itu, kenyataannya
tidak kelihatan cukup menggembirakan.
Kalau kita perhatikan ide
mendasar KKN ini dari sejak awal dimulai ia adalah pemberdayaan. Terhadap
pertanyaan apakah KKN masih mengusung misi utamanya itu, sekelompok mahasiswa
yang mengkritisinya melihatnya tidak. Pendapat ini didasarkannya pada
pengamatannya, dan pengalamannya sendiri, betapa program-program KKN perlahan-lahan
terus mengalami elitisasi.
Dari yang awalnya ditumpukan pada
kebutuhan masyarakat menjadi urusan yang sepenuhnya bagian dari kepentingan
kampus. Ada banyak progam KKN yang tidak nyambung dengan kebutuhan masyarakat,
dan hanya sekedar keren-kerenan,
mutakhir-mutakhiran, dan digital-digitalan. Bahkan dalam perkembangan terakhir
ia hanya menjadi sekadar syarat kelulusan.
Elitisasi yang kedua, masih
banyak yang melihat KKN ini seperti mendudukkan kampus sebagai tempat ilmu dan
masyarakat sebagai wilayah “jahiliyah” yang harus diberikan pencerahan.
Masyarakat kampus masih merasa lebih tahu, lebih punya ilmu, lebih ilmiah,
lebih modern, lebih bisa menyelesaikan masalah dan seterusnya, lalu KKN adalah
wadah bagi kampus untuk menyubjektifikasi masyarakat desa, dengan bahasa yang
diindah-indahkan seperti “pengabdian”, “pendampingan”, pembinaan”. Meskipun
sudah menggunakan bahasa yang dialus-aluskan seperti itu kepentingannya untuk
menjadi superhero tetap saja masih kelihatan.
Padahal kalau jujur dan mau
sedikit rendah hati masyarakat yang dianggap sebagai wilayah yang harus
diberdayakan itu punya kumpulan pengetahuan, yang bahkan kumpulan pengetahuan
itu sudah menjadi kearifan, bukan sekadar menyelesaikan masalah (solutif)
tetapi sudah menciptakan keseimbangan kosmis (integratif), cuman
tampilannya saja yang tidak keren. Dalam banyak kasus kegagalan membaca dan
memahami tacit knowledge-nya masyarakat yang sudah menjadi kearifan itu
membuat mereka sering disalah-salahkan dan diterbelakang-terbelakangkan oleh
yang merasa memegang lisensi ilmiah.
Dalam buku Politik
Pem(b)erdayaan: Depolitisasi, Banalisasi dan Proyek Hegemoni (2024) https://www.sekolahrisetsatukata.id/2025/04/politik-pemberdayaan.html,
elitisasi pemberdayaan membuatnya kehilangan orientasi emansipasinya karena
cenderung melakukan depolitisasi. Maksudnya pemberdayaan menjadi program yang
dianggap objektif dan bebas kepentingan. Kemudian ia mengalami proses
banalisasi yang menjadikanya kehilangan makna karena tenggelam dalam
urusan-urusan teknis-administratif untuk memenuhi laporan-laporan kegiatan.
Kembali ke soal KKN di atas,
kelompok mahasiswa yang kritis tersebut bukan tidak mengakui sama sekali ada
banyak hal yang juga patut diapresiasi, tapi menurutnya bukan hanya tidak
manghasilkan apa-apa, kadang KKN malah merepotkan masyarakat yang ditempati
kalau malah tidak membuat masalah. Ada juga yang berpendapat agak moderat
dengan mengatakan kalau dalam waktu hanya enam bulan perubahan apa yang bisa
diharapkan. Menuntut mahasiswa KKN membuat hal-hal yang spektakuler dalam waktu
yang singkat bukannya itu sesuatu yang berlebihan.
Sementara kelompok mahasiswa lain
yang kurang begitu menyadari politik pemberdayaan masih tetap polos-polos saja
dan menganggap KKN itu baik karena bisa menjadi ajang praktik ilmu dan
kepintaran kepada masyarakat persis seperti keyakinan developmentalism
yang pernah sangat kuat menjadi imajinasi kolektif tentang bentuk dunia paling
baik yang harus diwujudkan untuk membawa Indonesia menuju era tinggal landas
yang entah kenapa justru membuatnya tertinggal di landasan.
Jadi apakah KKN masih penting? Kalau masih lalu makna apa yang perlu dilekatkan kepadanya untuk membuat agar misi emansipasinya bisa lebih kuat dan keluar dari kencenderungan menjadi banal dan elitis? (ATI)
0 Komentar