Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

Filsafat Memang Tak Perlu Dibela

 



Photo by canva

sekolah riset satukata,-

Master Class on Ideology, https://www.youtube.com/watch?v=-vcGXr_je1A, baru menginjak pertemuan kedua. Saking asyiknya berdiskusi kelasnya molor hingga hampir mendekati pukul sepuluh malam. Asyiknya diskusi karena saat hampir selesai salah seorang peserta mengangkat cerita selebgram podcaster cukup terkenal yang followernya konon mencapai ribuan.

Dalam sebuah video pendek bersama lawan bicaranya ia mengatakan bahwa sebaiknya jurusan filsafat ditutup saja karena sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Sekarang baginya, semuanya sudah empiris. Jadi, yang harus dilakukan adalah bagaimana membuat yang empiris itu menjadi lebih maju, tidak perlu berputar-putar di wilayah filsafat terlalu dalam.

Dalam bayangannya, filsafat itu mengawang-awang, membicarakan sesuatu yang tidak kelihatan, hanya bergelut di wilayah pikiran, dan ada banyak dari diskusi filsafat yang sudah tidak cocok untuk diterapkan. Di dunia yang sekarang sudah berkembang maju ini peran teknologilah yang penting. Teori-teori filsafat sudah banyak yang tidak memiliki urgensi lagi, dan kita semua sekarang harus percaya pada sains. Dengan cukup menohok ia mengatakan bahwa tanpa filsafatpun orang tetap bisa berpikir, kok.

Apa yang dikatakannya tidak salah. Sebelum dia mengatakannya, filsafat memang sudah disingkirkan dari sebagian besar kurikulum perguruan tinggi di Indonesia, dengan alasan yang kurang lebih sama. Hebatnya serangan atas filsafat ini bahkan juga membuat jurusan filsafat atau bahkan fakultas filsafat, yang masih tersisa— menghadapi dilema, dan merekapun tak luput dari kegelisahan untuk membawa filsafat menjadi sesuatu yang lebih konkrit, bisa diukur, lebih applicable, dan menjamin lulusannya siap kerja. Kalau tidak begitu ia harus siap tutup karena kekurangan peminat.

Merespon kritik tersebut filsafat sendiri seperti tak berdaya. Paling jauh melakukan romantisasi dengan mengatakan filsafat adalah ibu ilmu pengetahuan. Kalau tidak dengan cara itu, kadang pembelaannya dilakukan dengan malah keluar dari filsafat. Ini kelihatan dalam ujaran yang mengatakan mereka yang mengkritik itu tidak paham filsafat, misalnya. Jadi, seolah-olah orang baru boleh mengkritik filsafat kalau memang belajar filsafat. Kalau tidak belajar filsafat tapi mengkritiknya, kritik itu bisa salah karena berangkat dari pemahaman yang dangkal. Berhubung kritik anda tidak tepat maka kritik itu tidak layak untuk didengarkan.

Pembicaraan kita di sini bukan mau membela filsafat atau yang mengkritiknya tapi kita akan meletakkannya ke dalam diskusi tentang ideologi yang kalau dipikir-pikir—kok ya memiliki kesamaan antar keduanya. Kalau kita taruh ini dalam diskusi soal ideologi gugatan selebgram podcaster itu mirip dengan gugatan kelompok gerakan pencerahan (enlightenment) terhadap idelogi. Dalam tune yang kurang lebih sama dengan kritik selebgram podcaster tersebut, kelompok ini menginginkan ideologi harus dicurigai, diwaspadai, dan kalau bisa dibasmi karena membuat orang tidak bisa berpikir jernih, tidak bisa kritis dan tidak bisa mendayagunakan reason-nya secara maksimal.

Dalam rentang waktu kurang lebih dua abad ada empat gelombang kritik terhadap ideologi. Gelombang kritik yang pertama mengatakan bahwa sifat ideologi itu selalu mengajak orang untuk tidak usah berpikir. Ideologi itu ilusi. Ia berisi berbagai hal yang tidak masuk akal dan tidak bisa dibuktikan. Dalam ideologi orang hanya disuruh percaya saja dan tidak boleh bertanya. Ideologi membuat masyarakat tidak akan pernah bisa maju. Masyarakat, jika masih dipenuhi kepercayaan-kepercayaan tak masuk akal, sulit keluar dari kebodohan dan ketertinggalan. Agar bisa keluar dari sana, kita harus melakukan yang namanya kritik idelogi dengan cara lebih percaya pada sains.

Sedangkan gelombang kritik yang kedua memandang ideologi itu fungsinya cuma satu yaitu memanipulasi (Karl Marx). Ia semacam membentuk kesadaran kita dengan cara yang palsu. Misalnya, “masyarakat Indonesia itu harmonis dan penuh kedamaian”, kata-kata ini memanipulasi kesadaran kita untuk tidak melihat realitas yang sesungguhnya terjadi, di mana konflik dan perebutan sumber daya berlangsung brutal. Sepadan dengan itu juga misalnya, “masyarakat kita menerima hidup apa adanya (nrima ing pandum)”, kata-kata ini menyembunyikan kenyataan di mana korupsi terjadi secara edan-edanan.

Sudah agak lebih maju, kelompok yang ketiga melihat bahwa yang berbahaya dari ideologi bukan karena ia menciptakan ilusi atau manipulasi, tapi ideologi itu selalu membuat penyederhanaan atau homogenisasi (Herbert Marcuse). Realitas dunia yang sangat kompleks ini coba disederhanakan dalam homogenitas tertentu. Misalnya, “semua yang tidak suka dengan kebijakan pemerintah adalah antek asing”. Saat beberapa waktu lalu terjadi ribut-ribut tambang di Raja Ampat, salah seorang menteri merespon dengan mengatakan, “masyarakat Raja Ampat menginginkan kemajuan”. Pernyataan itu mencerminkan upaya homogenisasi kompleksitas sikap orang Raja Ampat sehingga seolah semua ingin kemajuan dan menerima tambang sebagai wujud dari kemajuan itu.

Yang terakhir, keempat, menuduh ideologi kerap melakukan distorsi (Jurgen Habermas). Bagi gelombang yang ini, keadaan terideologisasi itu bukan saat orang mempercayai ilusi atau diam saja ketika dimanipulasi, atau mereka dihomogenkan. Tapi keadaan terideologisasi itu terjadi saat kita dibuat salah paham karena informasinya sudah didistorsi. Ketika kita salah paham, sikap, pikiran dan tindakan yang kita ambil juga salah. Di abad digital informasi memang bisa cepat tersebar tapi justru distorsinya terjadi lebih canggih, hoaks misalnya. Pemerintah punya banyak data tapi data yang disebarkan sudah dimodif sedemikan rupa supaya aman.

Bukan bermaksud menyamakan ideologi dan filsafat. Memang berbeda, tapi kalau kita perhatikan bukankah serangan kepada filsafat kurang lebih juga sama. Milsalnya, filsafat itu ribet dan rumit, tidak membumi, tidak sesuai zaman, bisa bikin jadi gila, bikin kelamaan mikir nggak aksi-aksi, bisa bikin sesat dan kehilangan iman, bisanya cuma pakai word dan nggak bisa mengoperasikan exel, dan masih banyak lagi kalau diteruskan. Bagi filsafat kritik seperti itu tetap oke-oke saja dan tidak membuat pengkritiknya berdosa.      

Tapi terus apa yang bisa kita katakan terhadap gugatan selebgram podcaster pada filsafat itu? Yang pertama, filsafat mungkin sudah sekarat. Seperti Harimau Sumatera yang besar dan menakutkan tapi sudah hampir punah. Kedua, dengan mengajak orang untuk meninggalkan filsafat dengan beralih pada empirisme, kelihatannya seperti mengajak untuk lebih maju, tapi di luar kesadarannya ia sebetulnya malah mundur dua abad ke belakang. Ketiga, ketika kita diajak untuk memeluk total empirisme dan menanggalkan filsafat, sebetulnya entah disadari atau tidak ia sedang mengkritik filsafat juga dengan filsafat. Ini artinya kita bisa kritik filsafat tapi kritik itu entah kenapa tetap juga dengan filsafat. Jadi, buat apa dibela?  

Kembali ke selebgram podcaster di atas, cerita punya cerita sebetulnya dia orang yang senang belajar dan menyukai pengetahuan baru, dan dalam pengertian ini dia juga seorang filsuf. Dari ceritanya sendiri, kenapa ia mengatakan jurusan filsafat ditutup saja, karena jengkel dengan seorang netizen yang mengomentari konten videonya selama berhari-hari, menyalah-nyalahkannya karena membuat konten filsafat tapi tidak punya latar belakang studi filsafat. Hmm. [ATI]

 

0 Komentar