Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

Mengenal Refleksivisme, Metodologi Ilmu-Ilmu Transformatif

 



Pada bulan September yang akan datang Sekolah Riset Satukata menyelenggarakan kelas Seriestiga 8 dengan tema Refleksivisme. Ini adalah kelas pertama di dunia yang secara khusus membahas soal metodologi refleksivisme. Kelas ini akan dilaksanakan selama tiga hari penuh, mulai tanggal 18 sampai 20 September 2025.

Kelas ini merupakan kelanjutan dari Seriestiga 6 yang sudah mengkhatamkan metodologi Critical Realism dan Seriestiga 7 yang tekanannya pada Konstruksionisme. Refleksivisme ini juga merupakan kelas ketiga dari empat kelas metodologi yang direncanakan. Mengenai kelas metodologi yang terakhir, pengelola sekolah masih mematangkan desainnya.

Para calon peserta dan para peminat yang merespon poster kelas melalui DM Instagram, chat WA admin dan saluran media lainnya mulai berdatangan. Para calon peserta baru banyak yang bertanya tentang refleksivisme. Ini karena menurut pengakuan mereka belum pernah mendengar metodologi refleksivisme sebelumnya.

Hal ini sangat wajar. Dari pengalaman dan penuturan para peserta kelas-kelas sebelumnya, memang selama ini mereka tidak pernah secara khusus belajar metodologi, apalagi sampai menyentuh ke Refleksivisme. Jangan salah mengira ya, refleksivisme ini bukan metode merenung lho, bukan juga mengkhayal dan bukan metode yang tidak pergi ke lapangan.  

Di kelas tentang penelitian sebagian besar hanya sampai menjelaskan metode, bukan metodologi. Kalaupun ada pembahasan atau kuliah tentang metodologi biasanya itu diisi cerita tentang penelitian kualitatif dan kuantitatif. Bahkan masih banyak yang beranggapan kalau penelitian itu hanya ada dua saja caranya, “kalau tidak kuali ya kuanti, atau mixed method”.

Beberapa peserta pada kelas sebelumnya juga menyampaikan bahwa kualitatif dan kuantitatif itu semacam punya domain sendiri-sendiri. Penelitian yang cenderung kuantitatif biasanya dekat dengan tradisi ilmu alam dan ini menjadi domain eksakta. Sedangkan, kualitatif merupakan domain ilmu sosial humaniora. Meskipun dalam praktiknya dalam ilmu sosial sendiri metode kuantitatif juga banyak digunakan. Bahkan sekarang sudah banyak aplikasi mesin yang bisa digunakan untuk memudahkan proses analisis data kuantitatif.

Sebagaimana umumnya metodologi, refleksivisme memiliki asumsi-asumsi yang spesifik tentang bagaimana pengetahuan diproduksi, atau bagaimana dunia ini diciptakan. Kalau dibuat pembedaan, yang pertama, yang paling mainstream, menganggap pengetahuan itu diciptakan oleh dunia di luar diri kita. Dunia ini ada lebih dulu sebelum kita, dan tugas kita hanyalah berusaha menjelaskan mekanisme bekerjanya dunia itu, misalnya, dengan melihat hubungan antar variabel-variabelnya.  

Yang kedua, berpendirian bahwa memang dunia di luar kita itu harus dijelaskan tapi kita perlu semacam menemukan hukum universal yang membuat dunia itu terjadi. Fenomena bukanlah sesuatu yang bersifat tunggal melainkan terbentuk dari banyak sekali lapisan. Tugas berilmu bukan sekedar menjelaskan sebab akibat tapi menemukan lapisan terdalam dari sebuah fenomena atau realitas. Dan realitas yang paling dalam itu seringnya tidak terlihat langsung. Ia juga memang adalah fenomena, tapi fenomena ini bersifat transfaktual, misalnya politik identitas, otoritarianisme, demokrasi, kolonialisme dan sebagainya.

Yang ketiga, dunia di luar kita itu memang ada, tapi bagaimana dunia itu sendiri muncul sangat tergantung pada bagaimana kita melihatnya, bagaimana kita mengkonstruksinya. Setiap kita melihat fenomena kita sebetulnya tidak mengakses secara polos tapi sudah melakukan intervensi tertentu terhadapnya. Ketika melihat sebuah ruangan, misalnya, tindakan kita akan tergantung pada konstruksi apa yang dipakai untuk melihatnya. Kalau ruangan itu kita konstruksi kotor mungkin tindakan yang kita ambil adalah membersihkannya. Konstrusi kita atas dunia menentukan dunia itu akan hadir seperti apa kepada kita.

Yang keempat, betul bahwa dunia ini kita yang mengkonstruksinya, tapi bisakah kita melihat kalau setiap konstruksi sebenarnya merupakan hasil dari pertarungan tertentu. Jadi, ada banyak sekali konstruksi atas dunia atau realitas dan masing-masing bertarung untuk menjadi konstruksi yang paling bisa diterima. Kita, manusia, ini diperebutkan oleh masing-masing konstruksi itu.

Setiap konstruksi selalu berusaha menyerap kita ke dalam orbitnya agar kita melihat dunia ini dengan caranya. Bedanya dengan yang ketiga adalah kalau yang di ketiga itu kita seperti masih punya otonomi relatif dalam mengkonstruksi dunia. Di yang keempat ini, konstruksi itu benar-benar sesuatu yang otonom dari kita, dan kita bahkan dibentuk oleh konstruksi tersebut.

Saat, misalnya, melihat fenomena digunakannya agama dalam kontestasi elektoral, kita bisa berada dalam dua pertarungan konstruksi antara konstruksi yang menganggapnya sebagai “strategi politik biasa” dan konstruksi yang mengatakannya sebagai “politik identitas”. Demikian juga, misalnya, saat melihat tambang nikel di Raja Ampat, di situ kita melihat pertarungan antara konstruksi tentang “kehancuran ekologi”, dan konstruksi yang berusaha meyakinkannya sebagai “kemajuan pembangunan daerah”.

Boleh saja kalau kemudian kita berpikiran itu kan bukan wilayah menghasilkan pengetahuan, itu wilayah politik. Tapi bukankah saat menulis tesis atau disertasi, juga skripsi, kita diminta untuk melihat banyak konstruksi yang sudah ada sebelumnya terhadap apa yang sedang kita tulis, yang biasanya disebut literature review. Lalu dari situ kita diminta untuk menentukan posisi teoritis dan metodologis kita sendiri, atau kita akan mengikuti teori dan pendapat yang mana.

Agar konstruki yang kita pilih itu bisa dipertanggungjawaban di meja ujian, bukankah kita diminta untuk menentukan metode apa yang digunakan, kerangka analisis apa yang dikembangkan, data apa yang dikumpulkan, bagaimana data itu dianalisis, bagaimana pertanyaanya dirumuskan, dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa sebetulnya sejak mulai melakukan riset kita sudah bertarung dengan banyak sekali konstruksi yang ada. Kita semacam menantang dan menentang semua itu, atau dengan kata lain mengkritiknya.

Dari sini kita jadi bisa memahami bahwa berilmu itu sebetulnya mengkritik bukan sekedar menghasilkan naskah siap ujian. Jadi, yang seharusnya diuji bukan seberapa tebal naskahnya, bukan seberapa taat template penulisannya. Itu tetap penting. Tapi yang jauh lebih penting adalah memastikan seberapa kuat kritiknya, seberapa mendalam refleksivitasnya. Kenapa begitu? Karena tanpa kritik naskah tersebut tidak akan ada kebaruan. Tanpa kritik, ilmu pengetahuan transformasif tidak akan ada.  

Untuk mengetahui apa saja yang akan kita pelajari di kelas Seriestiga 8, silahkan mengunjungi tautan berikut ini. https://youtu.be/cfWyC_4ec9w?si=Jsdqib_6qHeGmoZb  [ATI]


0 Komentar