Pada bulan September yang akan
datang Sekolah Riset Satukata menyelenggarakan kelas Seriestiga 8 dengan tema Refleksivisme.
Ini adalah kelas pertama di dunia yang secara khusus membahas soal metodologi
refleksivisme. Kelas ini akan dilaksanakan selama tiga hari penuh, mulai tanggal
18 sampai 20 September 2025.
Kelas ini merupakan kelanjutan
dari Seriestiga 6 yang sudah mengkhatamkan metodologi Critical Realism
dan Seriestiga 7 yang tekanannya pada Konstruksionisme. Refleksivisme ini juga
merupakan kelas ketiga dari empat kelas metodologi yang direncanakan. Mengenai
kelas metodologi yang terakhir, pengelola sekolah masih mematangkan desainnya.
Para calon peserta dan para
peminat yang merespon poster kelas melalui DM Instagram, chat WA admin dan
saluran media lainnya mulai berdatangan. Para calon peserta baru banyak yang
bertanya tentang refleksivisme. Ini karena menurut pengakuan mereka belum
pernah mendengar metodologi refleksivisme sebelumnya.
Hal ini sangat wajar. Dari
pengalaman dan penuturan para peserta kelas-kelas sebelumnya, memang selama ini
mereka tidak pernah secara khusus belajar metodologi, apalagi sampai menyentuh
ke Refleksivisme. Jangan salah mengira ya, refleksivisme ini bukan metode merenung
lho, bukan juga mengkhayal dan bukan metode yang tidak pergi ke lapangan.
Di kelas tentang penelitian
sebagian besar hanya sampai menjelaskan metode, bukan metodologi. Kalaupun ada
pembahasan atau kuliah tentang metodologi biasanya itu diisi cerita tentang penelitian
kualitatif dan kuantitatif. Bahkan masih banyak yang beranggapan kalau penelitian
itu hanya ada dua saja caranya, “kalau tidak kuali ya kuanti, atau mixed
method”.
Beberapa peserta pada kelas
sebelumnya juga menyampaikan bahwa kualitatif dan kuantitatif itu semacam punya
domain sendiri-sendiri. Penelitian yang cenderung kuantitatif biasanya dekat
dengan tradisi ilmu alam dan ini menjadi domain eksakta. Sedangkan, kualitatif
merupakan domain ilmu sosial humaniora. Meskipun dalam praktiknya dalam ilmu
sosial sendiri metode kuantitatif juga banyak digunakan. Bahkan sekarang sudah
banyak aplikasi mesin yang bisa digunakan untuk memudahkan proses analisis data
kuantitatif.
Sebagaimana umumnya metodologi,
refleksivisme memiliki asumsi-asumsi yang spesifik tentang bagaimana pengetahuan
diproduksi, atau bagaimana dunia ini diciptakan. Kalau dibuat pembedaan, yang pertama,
yang paling mainstream, menganggap pengetahuan itu diciptakan oleh dunia di
luar diri kita. Dunia ini ada lebih dulu sebelum kita, dan tugas kita hanyalah
berusaha menjelaskan mekanisme bekerjanya dunia itu, misalnya, dengan melihat
hubungan antar variabel-variabelnya.
Yang kedua, berpendirian
bahwa memang dunia di luar kita itu harus dijelaskan tapi kita perlu semacam
menemukan hukum universal yang membuat dunia itu terjadi. Fenomena bukanlah
sesuatu yang bersifat tunggal melainkan terbentuk dari banyak sekali lapisan. Tugas
berilmu bukan sekedar menjelaskan sebab akibat tapi menemukan lapisan terdalam
dari sebuah fenomena atau realitas. Dan realitas yang paling dalam itu seringnya
tidak terlihat langsung. Ia juga memang adalah fenomena, tapi fenomena ini
bersifat transfaktual, misalnya politik identitas, otoritarianisme, demokrasi,
kolonialisme dan sebagainya.
Yang ketiga, dunia di luar
kita itu memang ada, tapi bagaimana dunia itu sendiri muncul sangat tergantung
pada bagaimana kita melihatnya, bagaimana kita mengkonstruksinya. Setiap kita
melihat fenomena kita sebetulnya tidak mengakses secara polos tapi sudah
melakukan intervensi tertentu terhadapnya. Ketika melihat sebuah ruangan,
misalnya, tindakan kita akan tergantung pada konstruksi apa yang dipakai untuk
melihatnya. Kalau ruangan itu kita konstruksi kotor mungkin tindakan yang kita
ambil adalah membersihkannya. Konstrusi kita atas dunia menentukan dunia itu
akan hadir seperti apa kepada kita.
Yang keempat, betul bahwa
dunia ini kita yang mengkonstruksinya, tapi bisakah kita melihat kalau setiap
konstruksi sebenarnya merupakan hasil dari pertarungan tertentu. Jadi, ada
banyak sekali konstruksi atas dunia atau realitas dan masing-masing bertarung
untuk menjadi konstruksi yang paling bisa diterima. Kita, manusia, ini diperebutkan
oleh masing-masing konstruksi itu.
Setiap konstruksi selalu berusaha
menyerap kita ke dalam orbitnya agar kita melihat dunia ini dengan caranya. Bedanya
dengan yang ketiga adalah kalau yang di ketiga itu kita seperti
masih punya otonomi relatif dalam mengkonstruksi dunia. Di yang keempat
ini, konstruksi itu benar-benar sesuatu yang otonom dari kita, dan kita bahkan
dibentuk oleh konstruksi tersebut.
Saat, misalnya, melihat fenomena
digunakannya agama dalam kontestasi elektoral, kita bisa berada dalam dua
pertarungan konstruksi antara konstruksi yang menganggapnya sebagai “strategi
politik biasa” dan konstruksi yang mengatakannya sebagai “politik identitas”. Demikian
juga, misalnya, saat melihat tambang nikel di Raja Ampat, di situ kita melihat
pertarungan antara konstruksi tentang “kehancuran ekologi”, dan konstruksi yang
berusaha meyakinkannya sebagai “kemajuan pembangunan daerah”.
Boleh saja kalau kemudian kita
berpikiran itu kan bukan wilayah menghasilkan pengetahuan, itu wilayah politik.
Tapi bukankah saat menulis tesis atau disertasi, juga skripsi, kita diminta
untuk melihat banyak konstruksi yang sudah ada sebelumnya terhadap apa yang
sedang kita tulis, yang biasanya disebut literature review. Lalu dari
situ kita diminta untuk menentukan posisi teoritis dan metodologis kita
sendiri, atau kita akan mengikuti teori dan pendapat yang mana.
Agar konstruki yang kita pilih
itu bisa dipertanggungjawaban di meja ujian, bukankah kita diminta untuk menentukan
metode apa yang digunakan, kerangka analisis apa yang dikembangkan, data apa
yang dikumpulkan, bagaimana data itu dianalisis, bagaimana pertanyaanya
dirumuskan, dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa sebetulnya sejak mulai
melakukan riset kita sudah bertarung dengan banyak sekali konstruksi yang ada. Kita
semacam menantang dan menentang semua itu, atau dengan kata lain mengkritiknya.
Dari sini kita jadi bisa memahami bahwa berilmu itu sebetulnya mengkritik bukan sekedar menghasilkan naskah siap ujian. Jadi, yang seharusnya diuji bukan seberapa tebal naskahnya, bukan seberapa taat template penulisannya. Itu tetap penting. Tapi yang jauh lebih penting adalah memastikan seberapa kuat kritiknya, seberapa mendalam refleksivitasnya. Kenapa begitu? Karena tanpa kritik naskah tersebut tidak akan ada kebaruan. Tanpa kritik, ilmu pengetahuan transformasif tidak akan ada.
Untuk mengetahui apa saja yang akan kita pelajari di kelas Seriestiga 8, silahkan mengunjungi tautan berikut ini. https://youtu.be/cfWyC_4ec9w?si=Jsdqib_6qHeGmoZb [ATI]
0 Komentar