sekolah riset satukata,-
Menarik kalau kita mencermati pernyataan menteri tenaga kerja Indonesia beberapa waktu lalu. Dengan sangat jujur, polos dan ringan-ringan saja, negara mengakui bahwa tidak cukup lagi tersedia lapangan kerja di dalam negeri. Oleh karena itu, masyarakat dianjurkan untuk pergi ke luar negeri mencari pekerjaan.
Di satu sisi, perlu untuk memberi apresiasi atas keterusterangan itu. Di sisi lain kita sedang menyaksikan sesuatu yang sebetulnya miris. Dengan pernyataan itu, seolah-olah negara mau mengatakan di tengah situasi sekarang ini, wahai rakyat Indonesia, selamatkanlah diri kalian masing-masing, kami pemerintah yang anda pilih ini sudah tidak mampu lagi membantu menyediakan lapangan pekerjaan. Meskipun demikian, kalaupun anda semua marah kepada kami dan mengkritik kami, tolong kritiknya disampaikan dengan cara yang sopan dan beradab.
Tapi apa yang sebetulnya kita lihat atau apa yang sebenarnya terjadi, mengapa pemerintah atau negara bahkan seperti angkat tangan untuk percaya diri bisa memberi jaminan pada rakyatnya. Pemerintah juga bahkan seperti sedang membiarkan rakyat bertarung sendirian, menghadapi risiko sendirian. Di sisi yang lain rakyat juga makin tak punya tempat untuk bersandar, tak punya pihak yang bisa diandalkan untuk bisa menghadapi situasi yang makin tak karuan.
Fenomena yang bukan hanya di Indonesia itu, sejak lama menjadi perhatian para peneliti, dan mereka mencoba mencari apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Kepada mereka fenomena ini menampilkan dua hal. Yang pertama, seorang peneliti seperti Ulrich Beck mengatakan kita ini sekarang sedang berada di tengah situasi dengan kerentanan tinggi. Siapapun kita, kini harus menanggung hidup yang risikonya makin besar. Karena risiko itu sekarang semakin ada di mana-mana dan dihadapi oleh siapa saja, kita secara kolektif menjadi masyarakat berisiko (risk society).
Lantas apa ciri-ciri dari masyarakat risiko? Yang pertama masyarakat risiko ini ditandai oleh sistem yang tertata dengan sangat rapi untuk memperkecil risiko, cuman meskipun risikonya makin mengecil tapi kalau sampai terjadi akibatnya bisa sangat fatal. Sistem perbankan memungkinkan kita menyimpan uang tapi sekali sesuatu dari sistem ini error akibatnya orang bisa kehilangan uang dengan sekejap. Teknologi sudah bisa melakukan rekayasa genetika untuk menghasilkan benih unggul atau melenyapkan penyakit degeneratif, tapi sekali percobaan itu gagal risikonya bisa fatal. Wabah virus Covid-19 disebut-sebut akibat dari kebocoran sistem.
Yang kedua, masyarakat risiko ini juga ditandai oleh pemerintah yang sistemnya makin rapi tetapi otoritasnya melemah. Pemerintah memang punya sumber daya dan menguasai data tapi meskipun begitu ada semakin banyak hal yang makin tidak bisa dengan meyakinkan ia pastikan. Yang terjadi bukan pemerintah menguasai data tapi data itu yang menguasai pemerintah. Ini membuatnya tidak lagi tahu apa yang benar-benar harus dilakukan. Akhirnya ia menyuruh masyarakat memutuskan sendiri semuanya.
Di masa Covid-19 sedang melanda misalnya, pemerintah juga tak yakin-yakin betul kalau vaksin bisa seratus persen melindungi kita. Yang pemerintah lakukan kemudian menyerahkan keputusan itu kepada kita. Dengan cara ini kalau misalnya orang yang memilih tidak vaksin terpapar Covid-19, pemerintah merasa itu sudah bukan tanggungjawabnya, karena pilihannya dilakukan sendiri oleh individu yang bersangkutan. Kalaupun yang memilih vaksin tetap terpapar, pemerintah juga tidak bertanggungjawab karena itu juga pilihannya sendiri.
Sama persis dengan pernyataan menteri tenaga kerja di atas, meskipun pemerintah memegang data kemiskinan, data investasi, data jumlah PHK, data pengangguran terbuka, tertutup, dan sebagainya semua itu tidak kemudian membuatnya bisa menjamin ada lapangan pekerjaan. Malahan data itu menjadi seperti alat untuk membuat kilah. Jadi, kita sekarang tak punya lapangan kerja cukup, di luar negeri ada banyak lapangan kerja, silahkan pergi ke sana. Kalau anda tidak memilih pergi itu di luar tanggungjawab kami karena itu pilihan anda sendiri. Kalau anda pergi ke luar negeri lalu di sana tetap menganggur juga bukan tanggungjawab kami karena itu pilihan anda sendiri.
Bukan hanya negara atau pemerintah yang otoritasnya memudar, pusat-pusat produksi ilmu pengetahuan juga mengalami situasi yang sama. Para ilmuwan sudah mulai kehilangan kepercayaan. Jadi, meskipun sekarang mereka punya kampus yang bagus, alat yang canggih, data yang lengkap dan akurat, tapi kalau kita tanya apa yang akan terjadi dengan Indonesia sepuluh tahun nanti, jawabannya mungkin banyak, tapi tidak ada satupun dari jawaban itu yang bisa benar-benar diandalkan.
Situasi inilah yang disebut seorang peneliti Slavoj Zizek dengan masyarakat yang kehilangan big other. Masyarakat seperti tak punya sesuatu yang bisa menjadi pegangan mereka untuk mengarungi risiko yang makin hari makin besar. Semua orang kini harus berpikir sendiri, memutuskan sendiri dan menyelamatkan diri masing-masing. Pemerintah angkat tangan, sedangkan kampus dilanda krisis kejujuran akademik yang parah meskipun ada makin banyak artikel jurnal diterbitkan dan jumlah guru besar sudah seperti kecambah.
Krisis big other ini punya implikasi serius. Yang pertama, situasi traumatik ini melahirkan dua jenis masyarakat, yaitu masyarakat histeris dan masyarakat neurosis. Masyarakat neurosis cenderung menyingkir dari risiko, mencari ketenangan dan memilih ekspresi yang lebih moderat. Sedangkan masyarakat histeris akan menampilkan ekspresi lebih keras untuk melawan risiko yang datang atau malah makin sibuk melakukan banyak aktivitas yang sebetulnya tidak jelas apa tujuannya.
Yang kedua, krisis big other ini memunculkan big other kecil-kecil yang banyak sekali. Mereka datang dan menawarkan berbagai cara untuk dealing with risk. Kita jadi mengerti sekarang kenapa ada fenomena judol. Termasuk, kalau masih ingat, kisah tentang Sunda Empire dan sejenisnya, meskipun kurang berhasil, tapi mereka muncul dari krisis big other dan berusaha menawarkan penjelasan baru tentang dunia. Moderasi beragama, e-commerce, start-up, artificial intelligence, transisi energi, hilirisasi industri, danantara dan sebagainya berada dalam frekuensi yang sama sebagai big other kecil-kecil.
Ketiga, situasi ini memunculkan sikap yang makin tidak percaya kepada collective lie (kebohongan kolektif). Salah satu fungsi penting big other memang menciptakan collective lie agar hidup ini bisa dijalani dengan tenang. Ketika big other krisis, pemerintah atau negara sudah tidak lagi punya sesuatu yang bisa membuat macam-macam “kebohongan”nya berfungsi dengan baik sehingga yang dikatakannya malah dianggap kebohongan. Jadi, baik mau bilang “masih banyak lapangan pekerjaan” atau “pergi saja ke luar negeri mencari pekerjaan”, keduanya sama-sama gagal menjadi collective lie karena buktinya masyarakat menganggap pemerintah tidak kompeten menyediakan lapangan kerja.
Keempat, salah satu yang juga bisa menandai kalau big other sedang krisis adalah munculnya fake activity. Jadi, ada semakin banyak aktivitas entah oleh pemerintah atau masyarakat pada umumnya yang dilakukan hanya karena daripada tidak malakukan apapun sama sekali. Pemerintah pasti tahu kalau MBG boros dan rumit, tapi daripada sama sekali tidak melakukan sesuatu.
Juga menteri tenaga kerja pasti tahu menyuruh orang pergi ke luar negeri tidak menyelesaikan persoalan, tapi daripada tidak ngomong apa-apa. Saat pandemi Covid-19 sedang melanda, kita semua juga seperti harus mengikuti himbauan pemerintah dan para ilmuan kesehatan untuk vaksin. Tapi keputusan vaksin itu sebetulnya lebih karena orang berpikir daripada nggak vaksin. Itu saja. Dengan “lebih baik vaksin saja daripada tidak” minimal sudah merasa melakukan sesuatu, dan tidak begitu penting apa hasilnya.
Dengan melakukan apa-apa sendirian karena big other kriris, mungkin menciptakan rasa bebas dan merdeka, tetapi entah kita menyadarinya atau tidak hal itu sesungguhnya berat (unbearable). Matinya big other membawa kita pada situasi seperti orang bicara tapi tidak ada grammar-nya, seperti orang menulis tapi tidak tahu grammar menulis, seperti orang mengobrol tapi tidak ada grammar ngobrolnya. Ruang publik kita dipenuhi omon-omon, celotehan, celetukan yang centang perenang, riuh dan entah kemana-mana karena memang tidak ada grammar-nya, karena memang big other-nya krisis.
Ramai-ramai pengibaran bendara One Piece yang membuat orang geleng-geleng kepala karena kenapa urusan kartun anime bisa dibingkai sebagai gangguan keamanan nasional dan kedaulatan negara menandakan bahwa kita sedang mengalami krisis dan disintegrasi big other. [ATI]
0 Komentar