photo by canva
Baru-baru ini ramai soal rekening
dorment, atau rekening tidak aktif, yang diblokir pemerintah melalui
PPATK dengan alasan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan judol. Di
beberapa tempat lalu muncul aksi tarik massal tabungan dan menimbulkan kekhawatiran
soal bank rush yang membahayakan sistem keuangan. Pertanyaan kita adalah
fenomena yang menarik ini sedang menunjukkan apa sebetulnya?
Kalau kita amati pemblokiran
rekening tersebut bukan hal baru. Malahan bisa dikatakan merupakan ujung dari
rentetan banyak sekali desain pengawasan sebelumnya. Misalnya sebelum ini,
pemerintah berencana menyatukan NIK dengan NPWP, sebagai bagian dari upaya
mengejar wajib pajak. Di beberapa bank sudah tak lagi diperlukan ATM dan buku
tabungan, cukup menyebutkan NIK saja semua sudah terintegrasi. Bank Indonesia
juga sedang siap-siap membuatkan payment.id untuk transaksi tunggal yang
terintegrasi dengan NIK. Di beberapa stasiun besar sudah menggunakan foto wajah
langsung untuk memindai bukan lagi dengan kode booking atau kartu
identitas. Dan masih banyak lagi.
Bukan hanya khas Indonesia, juga
bukan hanya terjadi pada periode pemerintahan sekarang ini saja, upaya
kekuasaan itu selau dilandasi oleh setidaknya tiga alasan yang paling sering diungkapkan.
Yang pertama, upaya integrasi akun itu dilakukan karena alasan keamanan,
untuk menghindari penyalahgunaan, dan mencegah pihak lain memanfaatkannya.
Yang kedua adalah alasan
penghematan atau efisiensi. Dengan integrasi akun pada NIK, pemerintah bisa
lebih presisi misalnya dalam menyalurkan bantuan. Sehingga kebocoran dan
ketidaktepatan sasaran bisa semaksimal mungkin dihindari. Yang ketiga, akurasi
data dengan satu identitas tunggal untuk semua keperluan berguna dalam memudahkan
pengawasan.
Kalau kita amati sebetulnya
secara keseluruhan semua itu memperlihatkan bahwa negara terus berupaya untuk
lebih tepat dan akurat dalam mengawasi gerak-gerik warganya. Hingga pada
akhirnya nanti tak ada seorang pun yang luput dari pengawasannya. Siapapun anda,
apapun pekerjaan anda, dari keluarga mana anda berasal, berapa jumlah uang yang
anda miliki, kemana saja anda bepergian, siapa teman-teman anda dan seterusnya semua
sudah dalam pengawasan otoritas.
Tak sulit bagi otoritas sekarang
ini untuk menemukan keberadaan anda sebab semua yang anda lakukan tercatat
dengan rapi. Tanpa kita sadari sebetulnya siapapun kini tak satupun memiliki
privasi. Dengan kata lain, semua orang sudah dijajah oleh sistem pengawasan
yang masif. Kita semua sudah menjadi manusia transparan sekarang.
Upaya pencatatan dan pengawasan
yang kadang diperhalus menjadi pendataan ini dilakukan secara berlapis-lapis
dengan memobilisasi banyak sekali unit pengawasan. Pusat-pusat pendataan yang
tersebar banyak sekali itu masing-masing memiliki alat rekam data
sendiri-sendiri. Otoritas merekam warganya lewat banyak sekali prosedur
administrasi. Sekolah, universitas, rumah sakit, kantor kelurahan, KPU,
stasiun, bandara, terminal dan dermaga, bank, tempat kerja, BPS, BPJS-- dan juga
pakai nomor handphone.
Jauh sebelum semasif sekarang, seorang
peneliti sosial politik Perancis, Michel Foucault, mengungkap temuan yang
menarik tentang hal ini. Upaya pengawasan yang semakin masif itu, menurutnya,
berhubungan dengan perubahan watak kekuasaan. Dalam penelusurannya, sebelum
abad ke 17, yang terlihat oleh kekuasaan itu penguasanya.
Pada masa ini kekuasaan
mengarahkan fokus pada para raja, permaisuri, menteri-menteri, dan para
jenderal militernya. Itulah sebabnya di sebagian besar dongeng dan kisah-kisah
masa lalu yang selalu tampil adalah kelompok bangsawan dan kehidupan di sekitar
istana raja. Rakyat atau warga tidak begitu kelihatan.
Tapi setelah abad 17, yang
terlihat jelas justru kelompok yang dikuasai bukan penguasanya. Dalam rangka
itu, mulai di periode ini, ada banyak sekali upaya untuk menampilkan secara
lebih rinci pihak yang dikuasai itu. Upaya ini dilakukan dengan memobilisasi
ilmu pengetahuan.
Agar supaya yang dikuasai itu
bisa terus dikuasai mereka kemudian dicacah, didata, dihitung, diprediksi,
diklasifikasi, dipelajari, diawasi agar mudah diatur-atur. Sampai di sini
kekuasaan bukan lagi seperti zaman dulu yang serba mengalahkan. Kekuasaan di
zaman ini sifatnya mengendalikan dari jarak jauh. Kekuasaan yang basisnya
mengalahkan tidak berumur panjang.
Bersamaan dengan perubahan
kekuasaan itu jenis ilmu yang berkembang juga lain. Di masa ini ilmu yang
berkembang adalah ilmu yang punya kapasitas mengatur dan mengendalikan. Ilmu
ini sangat sibuk dengan produksi data. Untuk memastikan data betul-betul valid,
akurat dan reliable kemudian dikembangkan berbagai macam metode
mengujinya. Kenapa demikian karena dalam pengetahuan ini data adalah
segala-galanya. Siapa yang menguasai data dia bisa menguasai dunia. Pelan-pelan
ilmu ini seperti berusaha mengatakan data adalah kebenaran itu sendiri.
Pada perkembangan lebih lanjut,
peneliti lain seperti Anthony Giddens, mengungkap temuan lain yang juga menarik
bahwa semua itu menciptakan industri surveillance yang semakin canggih. Surveillance
melibatkan aktivitas pengumpulan,
penyimpanan, dan pengawasan data/informasi untuk administrasi dan pengendalian
populasi. Surveillance menjadi dasar fundamental bekerjanya negara,
kapitalisme dan militer.
Lewat pengawasan negara dan korporasi melakukan kontrol terpusat atas
kehidupan masyarakat. Bukan hanya bank dan kantor kelurahan, tapi Shopee,
Gojek, Tokopedia dan sebagainya juga sudah menguasai kita lewat pengawasan yang
dilakukan melalui akumulasi data yang kita unggah secara sukarela.
Jadi, bisa dipahamai sekarang dari mana asal muasal
dunia digital dan dalam rangka apa sebetulnya ia diciptakan. Kenapa facebook,
instagram, twitter, google dan semua yang terkait dengan itu menjadi pekerjaan
yang menguntungkan, karena bukan semata-mata memudahkan informasi diakses
tetapi sebetulnya mereka sedang menjalankan bisnis surveillance.
Agar industri surveillance bisa bekerja dengan baik, dunia digital menciptakan banyak sekali pekerjaan
baru; data analyst, content creator, influencer, social
media specialist, digital marketing dan seterusnya. Machine learning,
data mining, coding, algoritma menjadi keterampilan yang
harus dikuasai. Artificial intelligence membuat surveillance terjadi semakin
mendalam dengan menguasai pikiran. Agar masyarakat yang dikuasai makin mudah
dikendalikan AI bahkan diciptakan untuk mengambil alih hal paling penting dari
hidup kita, pikiran.
Kembali ke cerita soal PPATK yang memblokir rekening secara tiba-tiba, sudah
tentu hal itu bisa terjadi karena ditopang lebih dulu oleh indutsri surveillance. Di luar yang kita sadari PPATK/negara mengawasi
dari jarak yang tidak kita ketahui. Dengan alasan tertentu ia bisa mengambil
tindakan atas kita atau atas nama kita bahkan tanpa kita izinkan.
Inilah yang oleh Yufal Noah Harari, peneliti dan penulis kontemporer, istilahkan
dengan digital dictatorship, sebuah kekuasaan yang daya paksanya luar
biasa karena ia bahkan memberi tahu dan menentukan kita ini siapa. Ia tahu
lebih banyak tentang kita daripada kita sendiri. Mulai dari jumlah uang di
bank, golongan darah, tingkat kolesterol, suhu badan, emosi, pengalaman masa
lalu, cara berpikir, genetik, kemampuan, bakat, dan seterusnya, yang biasanya
disebut dengan jejak digital.
Tapi kok kelihatan semua sepertinya suram dan kita hanya jadi objek yang
pasif. Tenang saja, kabar baiknya, ternyata meskipun sistem pengawasan itu kelihatannya serba mencakup, tapi antar
satu unit pengawasan dengan unit pengawasan yang lainnya sebetulnya tidak
kompak, bisa tumpang tindih, dan kadang saling menyerang karena datanya
bertentangan satu sama lain. Hal yang paling ditakutkan dari sistem ini adalah
aksi-aksi yang bisa membuat surveillance-nya runtuh dan kacau seperti kasus Bjorka beberapa tahun yang lalu. [ATI]
0 Komentar