Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

Pemblokiran Rekening dan Industri Surveillance di Era Digitaltorship

 

photo by canva

sekolah riset satukata,-

Baru-baru ini ramai soal rekening dorment, atau rekening tidak aktif, yang diblokir pemerintah melalui PPATK dengan alasan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan judol. Di beberapa tempat lalu muncul aksi tarik massal tabungan dan menimbulkan kekhawatiran soal bank rush yang membahayakan sistem keuangan. Pertanyaan kita adalah fenomena yang menarik ini sedang menunjukkan apa sebetulnya?

Kalau kita amati pemblokiran rekening tersebut bukan hal baru. Malahan bisa dikatakan merupakan ujung dari rentetan banyak sekali desain pengawasan sebelumnya. Misalnya sebelum ini, pemerintah berencana menyatukan NIK dengan NPWP, sebagai bagian dari upaya mengejar wajib pajak. Di beberapa bank sudah tak lagi diperlukan ATM dan buku tabungan, cukup menyebutkan NIK saja semua sudah terintegrasi. Bank Indonesia juga sedang siap-siap membuatkan payment.id untuk transaksi tunggal yang terintegrasi dengan NIK. Di beberapa stasiun besar sudah menggunakan foto wajah langsung untuk memindai bukan lagi dengan kode booking atau kartu identitas. Dan masih banyak lagi.

Bukan hanya khas Indonesia, juga bukan hanya terjadi pada periode pemerintahan sekarang ini saja, upaya kekuasaan itu selau dilandasi oleh setidaknya tiga alasan yang paling sering diungkapkan. Yang pertama, upaya integrasi akun itu dilakukan karena alasan keamanan, untuk menghindari penyalahgunaan, dan mencegah pihak lain memanfaatkannya.

Yang kedua adalah alasan penghematan atau efisiensi. Dengan integrasi akun pada NIK, pemerintah bisa lebih presisi misalnya dalam menyalurkan bantuan. Sehingga kebocoran dan ketidaktepatan sasaran bisa semaksimal mungkin dihindari. Yang ketiga, akurasi data dengan satu identitas tunggal untuk semua keperluan berguna dalam memudahkan pengawasan.

Kalau kita amati sebetulnya secara keseluruhan semua itu memperlihatkan bahwa negara terus berupaya untuk lebih tepat dan akurat dalam mengawasi gerak-gerik warganya. Hingga pada akhirnya nanti tak ada seorang pun yang luput dari pengawasannya. Siapapun anda, apapun pekerjaan anda, dari keluarga mana anda berasal, berapa jumlah uang yang anda miliki, kemana saja anda bepergian, siapa teman-teman anda dan seterusnya semua sudah dalam pengawasan otoritas.

Tak sulit bagi otoritas sekarang ini untuk menemukan keberadaan anda sebab semua yang anda lakukan tercatat dengan rapi. Tanpa kita sadari sebetulnya siapapun kini tak satupun memiliki privasi. Dengan kata lain, semua orang sudah dijajah oleh sistem pengawasan yang masif. Kita semua sudah menjadi manusia transparan sekarang.

Upaya pencatatan dan pengawasan yang kadang diperhalus menjadi pendataan ini dilakukan secara berlapis-lapis dengan memobilisasi banyak sekali unit pengawasan. Pusat-pusat pendataan yang tersebar banyak sekali itu masing-masing memiliki alat rekam data sendiri-sendiri. Otoritas merekam warganya lewat banyak sekali prosedur administrasi. Sekolah, universitas, rumah sakit, kantor kelurahan, KPU, stasiun, bandara, terminal dan dermaga, bank, tempat kerja, BPS, BPJS-- dan juga pakai nomor handphone.

Jauh sebelum semasif sekarang, seorang peneliti sosial politik Perancis, Michel Foucault, mengungkap temuan yang menarik tentang hal ini. Upaya pengawasan yang semakin masif itu, menurutnya, berhubungan dengan perubahan watak kekuasaan. Dalam penelusurannya, sebelum abad ke 17, yang terlihat oleh kekuasaan itu penguasanya.

Pada masa ini kekuasaan mengarahkan fokus pada para raja, permaisuri, menteri-menteri, dan para jenderal militernya. Itulah sebabnya di sebagian besar dongeng dan kisah-kisah masa lalu yang selalu tampil adalah kelompok bangsawan dan kehidupan di sekitar istana raja. Rakyat atau warga tidak begitu kelihatan.

Tapi setelah abad 17, yang terlihat jelas justru kelompok yang dikuasai bukan penguasanya. Dalam rangka itu, mulai di periode ini, ada banyak sekali upaya untuk menampilkan secara lebih rinci pihak yang dikuasai itu. Upaya ini dilakukan dengan memobilisasi ilmu pengetahuan.

Agar supaya yang dikuasai itu bisa terus dikuasai mereka kemudian dicacah, didata, dihitung, diprediksi, diklasifikasi, dipelajari, diawasi agar mudah diatur-atur. Sampai di sini kekuasaan bukan lagi seperti zaman dulu yang serba mengalahkan. Kekuasaan di zaman ini sifatnya mengendalikan dari jarak jauh. Kekuasaan yang basisnya mengalahkan tidak berumur panjang.

Bersamaan dengan perubahan kekuasaan itu jenis ilmu yang berkembang juga lain. Di masa ini ilmu yang berkembang adalah ilmu yang punya kapasitas mengatur dan mengendalikan. Ilmu ini sangat sibuk dengan produksi data. Untuk memastikan data betul-betul valid, akurat dan reliable kemudian dikembangkan berbagai macam metode mengujinya. Kenapa demikian karena dalam pengetahuan ini data adalah segala-galanya. Siapa yang menguasai data dia bisa menguasai dunia. Pelan-pelan ilmu ini seperti berusaha mengatakan data adalah kebenaran itu sendiri.  

Pada perkembangan lebih lanjut, peneliti lain seperti Anthony Giddens, mengungkap temuan lain yang juga menarik bahwa semua itu menciptakan industri surveillance yang semakin canggih. Surveillance melibatkan aktivitas pengumpulan, penyimpanan, dan pengawasan data/informasi untuk administrasi dan pengendalian populasi. Surveillance menjadi dasar fundamental bekerjanya negara, kapitalisme dan militer.

Lewat pengawasan negara dan korporasi melakukan kontrol terpusat atas kehidupan masyarakat. Bukan hanya bank dan kantor kelurahan, tapi Shopee, Gojek, Tokopedia dan sebagainya juga sudah menguasai kita lewat pengawasan yang dilakukan melalui akumulasi data yang kita unggah secara sukarela.

Jadi, bisa dipahamai sekarang dari mana asal muasal dunia digital dan dalam rangka apa sebetulnya ia diciptakan. Kenapa facebook, instagram, twitter, google dan semua yang terkait dengan itu menjadi pekerjaan yang menguntungkan, karena bukan semata-mata memudahkan informasi diakses tetapi sebetulnya mereka sedang menjalankan bisnis surveillance.

Agar industri surveillance bisa bekerja dengan baik, dunia digital menciptakan banyak sekali pekerjaan baru; data analyst, content creator, influencer, social media specialist, digital marketing dan seterusnya. Machine learning, data mining, coding, algoritma menjadi keterampilan yang harus dikuasai. Artificial intelligence membuat surveillance terjadi semakin mendalam dengan menguasai pikiran. Agar masyarakat yang dikuasai makin mudah dikendalikan AI bahkan diciptakan untuk mengambil alih hal paling penting dari hidup kita, pikiran.

Kembali ke cerita soal PPATK yang memblokir rekening secara tiba-tiba, sudah tentu hal itu bisa terjadi karena ditopang lebih dulu oleh indutsri surveillance. Di luar yang kita sadari PPATK/negara mengawasi dari jarak yang tidak kita ketahui. Dengan alasan tertentu ia bisa mengambil tindakan atas kita atau atas nama kita bahkan tanpa kita izinkan.

Inilah yang oleh Yufal Noah Harari, peneliti dan penulis kontemporer, istilahkan dengan digital dictatorship, sebuah kekuasaan yang daya paksanya luar biasa karena ia bahkan memberi tahu dan menentukan kita ini siapa. Ia tahu lebih banyak tentang kita daripada kita sendiri. Mulai dari jumlah uang di bank, golongan darah, tingkat kolesterol, suhu badan, emosi, pengalaman masa lalu, cara berpikir, genetik, kemampuan, bakat, dan seterusnya, yang biasanya disebut dengan jejak digital.

Tapi kok kelihatan semua sepertinya suram dan kita hanya jadi objek yang pasif. Tenang saja, kabar baiknya, ternyata meskipun sistem pengawasan itu kelihatannya serba mencakup, tapi antar satu unit pengawasan dengan unit pengawasan yang lainnya sebetulnya tidak kompak, bisa tumpang tindih, dan kadang saling menyerang karena datanya bertentangan satu sama lain. Hal yang paling ditakutkan dari sistem ini adalah aksi-aksi yang bisa membuat surveillance-nya runtuh dan kacau seperti kasus Bjorka beberapa tahun yang lalu. [ATI]


0 Komentar