Tak Tohi Tekane Pati (1) : Pak Sudewo, Masalah Kesadaran Dan Komunikasi Kebijakan
Belum begitu lama berlalu,
mungkin masih sekitar dua minggu, secara mengejutkkan masyarakat kebupaten Pati
berdemonstrasi. Dimulai dari Pajak Bumi dan Bangunan yang naik tinggi hingga
250 persen, Sudewo, sang bupati berjumawa diri tak gentar jikapun ada lima
puluh ribu orang menolak kebijakannya itu.
Kata-kata yang disampaikan dengan
suara pelan bernada datar itu bergerak cepat menembus algoritma social media,
masuk ke sudut-sudut ruang dan gang-gang perumahan kota dan desa. Dari yang
semula dianggap kata-kata biasa, menggema menjadi tantangan terbuka kepada
seluruh warga bumi Minatani itu. Sudewo tak lagi bisa menarik ucapannya, ia
sedang memanggil badai dari angin yang ditaburkannya.
Semua mata tertuju ke Pati,
menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi. Gelombang kegeraman yang sudah
seperti ombak menggulung-gulung itu memuncak di tanggal 13 Agustus 2025. Lebih
dari yang disebut Sudewo, sekitar seratus lima puluh ribu orang bergerak menuju
alun-alun pusat pemerintahan Pati. Mereka sudah tak peduli dengan urusan PBB lagi,
mereka hanya ingin Sudewo berhenti jadi bupati.
Bagaimana kita menjelaskan
fenomena ini, kenapa kata-kata yang kelihatan biasa saja bisa berubah menjadi
gelombang massa. Ribuan orang bergerak ke jalan memenuhi alun-alun kota. Hal
yang sama bisa terjadi di tempat lainnya di waktu yang berbeda. Memang tak
berselang lama gelombang demonstrasi menyusul di Jakarta, Bandung, Jogja,
Makassar, Surabaya, Medan.
Tentu saja bisa banyak
penjelasannya, dan bisa diceritakan dengan berbagai macam cara tergantung dari
perspektif apa kita melihatnya. Kali ini kita akan meminjam hasil riset yang
pernah dilakukan oleh Georg Lukacs (1885-1971), seorang kritikus sastra dan
sejarawan dari Budapest, Hungaria. Kenapa Lukacs? Karena penelitiannya tentang
kesadaran sepertinya bisa membantu menjelaskan bagaimana kata-kata datar
seorang Sudewo berubah menjadi gelombang massa.
Sekitar satu abad yang lalu,
Lukacs menerbitkan kumpulan tulisannya, berjudul History and Class Consciousness
(1923). Sudah tentu dalam buku itu ada banyak sekali aspek yang diperhatikannya.
Dalam kepentingan ini, kita hanya akan menggunakan salah satu terobosan
pentingnya mengenai bagaimana kesadaran bekerja. Agar tidak terlalu panjang,
kita akan mencoba menyarikan beberapa hal menarik saja dari temuan risetnya itu.
Yang pertama, Lukacs menemukan bahwa
ideologi memang punya kapasitas manipulasi dan dari sisi kesadaran juga ada
kecenderungan mudah dimanipulasi. Namun, ia kemudian semacam mempertanyakan
apakah memang selemah itu kesadaran kita ini.
Dalam konteks Pati misalnya, kalau
kesadaran memang mudah dimanipulasi, harusnya masyarakat Pati menerima saja
saat Sudewo mengatakan kenaikan PBB penting untuk pembangunan daerah, bahwa
kebijakan itu sudah dipikirkan matang-matang, juga sudah ada basis aturan legal
formalnya, sudah ada naskah akademiknya dan seterusnya. Hal itu membuktikan
bahwa kesadaran kita ini, sebagaimana terlihat pada orang-orang Pati, sebenarnya
aktif dan tidak pasif.
Yang kedua, temuan atau
kesimpulan ini lalu membawa Lukacs meneliti lebih jauh dengan mengajukan
pertanyaan, kalau kesadaran itu aktif, terus cara kerjanya seperti apa? Dari
pertanyaan ini, Lukacs menemukan kesadaran kita sebetulnya ada dua. Yang
pertama kesadaran kognitif dan yang kedua adalah kesadaran transformatif.
Pajak kepada rakyat, termasuk
PBB, adalah kewajiban warga negara. Pajak digunakan untuk mendanai pembangunan
daerah. PBB dinaikkan karena di Pati sudah 14 tahun tidak naik. Karena NJOP-nya
naik, wajar kalau PBB juga naik dan seterusnya. Ini semua kesadaran kognitif.
Tapi, kesadaran transformatif
melihatnya berbeda. Oke, kalau memang harus naik, tapi kok naiknya tinggi
sekali mencapai 250 persen, bahkan di beberapa daerah sampai lebih dari 300
persen. Ini bukan kenaikan tapi pemerasan dan sepertinya ada sesuatu yang tidak
beres dari kebijakan dan kepemimpinan daerah.
Ketiga, poin penting berikutnya
dari Pak Lukacs adalah, kalau begitu berarti setiap melihat sesuatu, sebetulnya
kita tidak sekadar melihat tapi dalam melihat itu kita sudah
mentransformasinya. Saat melihat Sudewo mengatakan “jangankan sepuluh ribu,
lima puluh ribu pun saya tidak gentar, silahkan datang”, kesadaran transformatif
orang Pati bukan semata-mata menyaksikan seorang bupati bicara atau kepala
daerah yang sedang mengomunikasikan kebijakannya, tapi sebagai tantangan
terbuka kepada masyarakat yang memilihnya.
J. L. Austin, seorang peneliti
bahasa yang dirujuk Lukacs, mengatakan ada dua jenis pernyataan, yang pertama
pernyataan konstantif dan yang kedua pernyataan performatif. Konstantif adalah
pernyataan yang sifatnya menjelaskan, mendefinisikan, dan menggambarkan sesuatu.
Kalau kita perhatikan, hampir semua penjelasan tentang kenaikan PBB berisi
pernyataan konstantif yang mencoba menjelaskan PBB itu apa dan kenapa dinaikkan.
Bukan hanya kenaikan PBB, tapi hampir semua kebijakan pemerintah biasanya dikomunikasikan dengan cara ini.
Sedangkan, performatif adalah
pernyataan yang baru bisa masuk akal kalau disertai tindakan. Masyarakat Pati bukan
tak tahu PBB itu apa dan kenapa dinaikkan, tapi mereka meresponnya dengan pernyataan
performatif, turun ke jalan dan menuntut Sudewo dimakzulkan. Kenapa bisa demikian?
Karena, bahasa performatif membuat yang konstantif menjadi lebih dinamis, dan
karenanya, mengandung daya transformasi.
Yang keempat, Lukacs mengamati
bahwa kesadaran kognitif dan pernyataan konstantif cenderung digunakan oleh
orang-orang yang cara berpikirnya empirikal. Lihat misalnya saat DPR dikritik
karena gaji dan tunjangannya sangat besar, respon yang muncul sangat empirikal,
“jangan samakan DPR dengan rakyat biasa”, “3 juta kok besar, buat beli bensin
aja nggak cukup”, “pembubaran DPR itu ide orang tolol”, dan seterusnya.
Dan entah kenapa cara berpikir
empirikal ini seringnya dimilliki oleh orang-orang yang hidupnya sudah enak,
yang uangnya sudah banyak. Mereka tidak lagi berpikir ada yang tidak beres
dengan susunan dan tata pengaturan dunia ini. Kalaupun ada yang tidak beres itu
biasanya dituduhkan pada kelompok yang tidak senang melihat mereka senang. Mungkin
ini yang menjelaskan kenapa omongan bupati seperti Sudewo, anggota DPR,
menteri-menteri dan kelompok elit lainnya belakangan ini makin bikin sakit
hati.
Yang kelima, lawan dari yang
berpikir empirikal itu adalah kelompok yang cara berpikirnya struktural. Ini
adalah kelompok masyarakat yang hidupnya susah, gaji pas-pasan, miskin dan
serba kekurangan. Karena hidup yang tidak enak itu membuat mereka mencari
penjelasan di luar dari apa yang kelihatan. Mereka mencari sesuatu yang membuat
tatanan dunia ini tidak baik-baik saja.
Kembali ke cerita Sudewo, mungkin
bagi menteri dalam negeri dan elit pemerintahan di Jakarta, tuntutan memakzulkan
tidak tepat karena sudah dipilih secara konstitusional, bisa menghambat roda
pemerintahan dan sebagainya (empirikal). Tapi bagi orang-orang Pati soalnya
bukan di situ.
Komentar
Posting Komentar