Photo by Canva
Ada banyak cara yang bisa digunakan untuk menjelaskan
kenapa demonstrasi kepada DPR bisa semasif ini. Mungkin banyak juga di antara
kita yang bertanya, kenapa tingkat perluasan kerusuhannya sedemikian cepat dan
eskalatif?
Di berbagai media, kita bisa menjumpai banyak
penjelasan soal ini. Misalnya, demonstrasi ini dipicu oleh krisis legitimasi
dan krisis ekonomi. Yang lain menyoroti ke soal pihak asing yang dengan kaki
tangannya mengobok-obok Indonesia. Penjelasan lain mencoba untuk melihat pada
sebab yang paling kelihatan, yaitu kata-kata menghina dan merendahkan beberapa
anggota DPR. Yang lainnya menyoroti soal yang terkait dengan beberapa kebijakan
yang dinilai tidak peka keadaan seperti kenaikan pajak dan tunjangan DPR.
Penjelasan yang pertama, melihat pada soal
institusi. DPR, kepolisian, dan terutama partai politik kita bermasalah. Ini
memang betul dan harus diakui. Yang kedua, menekankan pada aktor yang
dikerangkai pendekatan keamanan. Ada aktor dari luar yang menyulut kekisruhan.
Yang ketiga, melihatnya dari sisi public policy. Yang terakhir,
menyoroti soal moral, etika, dan kepatutan publik para pejabat. Mereka yang melihatnya
terkait dengan soal hukum menyoroti penegakan hukum yang memble
bagi para koruptor. Misalnya, amnesti dan abolisi yang secara mengejutkan
diberikan kepada para tersangka korupsi.
Sebetulnya kalau kita perhatikan, sudah sejak periode
pemerintahan sebelumnya, keresahan dan kekecewaan itu ada. Juga semua persoalan
yang terkait dengan penegakan hukum, kepatutan dan etika pejabat publik, pemborosan
anggaran, keengganan kelompok elit oligarki mengesahkan undang-undang
perampasan aset, pelolosan undang-undang Omnibus Law, dan seterusnya. Pertanyaannya
adalah, kenapa baru sekarang ini demonstrasinya betul-betul meluas dan
menimbulkan kerusakan paling buruk dari yang sudah-sudah?
Di level permukaan, hal yang paling mudah kita lihat
adalah omongan ngawur para pejabat. Tapi, apa yang membuat omongan seperti itu
membakar kemarahan atau kenapa flexing dan umbar kemewahan benar-benar
menyakitkan? Sudah tentu, ini bisa dikembalikan ke soal moralitas dan etika tapi
sepertinya ada sesuatu yang lebih mendalam dari itu.
Seorang peneliti politik kontemporer Argentina,
Ernesto Laclau, menemukan penjelasan politiknya. Dia mengenalkan dua konsep
penting, yaitu the social dan the political. Omongan apapun tidak
akan jadi masalah selama masih berada di wilayah the social. Paling-paling
ia muncul sebagai gosip, obrolan warung kopi, atau rasan-rasan.
Tapi, omongan sekecil apapun bisa berubah menjadi urusan
serius ketika ia masuk ke dalam the political. Ketika the political
terbentuk relasinya menjadi politis, relasi ini membentuk pemilahan “kami” dan
“mereka” yang sangat tegas. Kutub politik ini tidak memberikan pilihan ketiga.
Pilihan yang tersedia hanya dua, anda bersama kami atau mereka. Itu saja. Inilah
ketika apa yang disebut Laclau dengan antagonisme sedang berlangsung.
Sebetulnya, entah kita sadari atau tidak, ada banyak
sekali antagonisme yang hidup dalam masyarakat. Antagonisme itu tidak pernah
hilang atau mati. Ia hanya meredup dan melemah untuk sementara waktu, sampai
ada sesuatu yang terjadi dan membuatnya mengeras. Untuk menyebut beberapa saja,
di antaranya, misalnya, rakyat vs penguasa, kaya vs miskin, sipil vs militer, buruh
vs pengusaha, moderat vs radikal, koruptor vs gerakan anti-korupsi, pejuang
ekologi vs perusak lingkungan, Orde Baru vs Reformasi, elit vs massa, NKRI vs
separatis, pribumi vs non-pribumi, dan masih banyak lagi kalau diteruskan.
Boleh diakui atau tidak, sepertinya rezim sekarang ini
kelihatan lebih vulgar bermain-main antagonisme. Kita bisa lihat beberapa saja sebagai
ilustrasi. Antagonisme sipil vs militer mencuat saat pengesahan UU TNI. Antagonisme
Orde Baru vs Reformasi menguat saat Prabowo memenangkan pemilu. Antagonisme ini
muncul lagi saat proyek penulisan ulang sejarah. Antagonisme pro lingkungan dan
tambang menajam saat kasus nikel Raja Ampat terungkap. Korupsi dan anti-korupsi
mengeras saat amnesti dan abolisi dikedepankan untuk konsolidasi elite. Antagonisme
buruh vs pengusaha menguat pada kasus ojek online vs aplikator, dan
sebagainya.
Semua antagonisme ini kemudian mengerucut dalam antagonisme
elit vs rakyat, yang skemanya bisa diganti dengan rakyat vs pejabat, atau
rakyat vs DPR, atau demonstran vs Sahroni-Eko-Uya. Tanpa disadari, kata-kata
para pejabat publik seperti “ndasmu”, “semua tanah milik negara”, “tolol”,
“antek asing”, “beban negara”, penganugerahan bintang Mahaputera untuk kerabat
dan kolega, termasuk joget-joget DPR, terus mengeraskan antagonisme itu.
Pelan-pelan, kaum elit sedang memupuk terjadinya pengutuban politik yang makin berjarak.
Setelah kejadian meninggalnya Affan Kurniawan, antagonisme Ojol vs Polisi
muncul menambah antagonisme elite vs rakyat sebelumnya jadi makin meruncing.
Ketika berada dalam relasi antagonisme ini,
suasananya memang sangat tidak enak dan tidak nyaman. Semua berdebar-debar, kecemasan
menyebar, orang-orang bersikap waspada, semua menunggu dengan rasa was-was. Ini
adalah saat ketika perang Barathayudha sedang berlangsung, saat kelompok
protagonis dan antagonis saling berhadapan di medan perang. Inilah saat di mana
masyarakat Indonesia yang baru (the social), sedang mengalami
pembentukan ulang, dengan syarat kalau ketegangan politik ini mampu dikelola.
Semua antagonisme itu tak bisa dihilangkan.
Perjalanan kita sebagai bangsa, mau tak mau, atau suka tidak suka, siapapun
presidennya, akan berhadapan dengan salah satu dari banyak sekali antagonisme
yang ada. Mungkin pada satu waktu, kita tidak berada di satu antagonisme, tapi
di waktu lain kita berada dalam antagonisme lainnya. Kita sebetulnya hanya
berpindah dari satu antagonisme ke antagonisme yang lain. Inilah yang membuat
kenapa politik itu dinamis, kenapa masyarakat selalu berubah, dan identitas
kita pun berganti-ganti.
Jangan coba-coba untuk menyederhanakan semua
antagonisme yang ada dalam satu antagonisme yang bersifat permanen, karena hal
itu bisa memanggil kembalinya totalitarianisme atau fasisme. Ketika ini terjadi,
demokrasi secara otomatis akan berhenti. Dan, politik sebetulnya adalah
bagaimana mengelola semua antagonisme itu menjadi kekuatan perubahan yang
besar bagi Indonesia kalau kita mampu mengembangkan proyek hegemoni yang
relevan.
Tidak hendak mengecilkan perjuangan demonstran dan
para korban yang meninggal, rasa-rasanya politik hegemoni dari aksi-aksi ini
belum kelihatan terbentuk. Mengapa demikian? Karena, belum berhasil menemukan
nama pengikat bagi semua tuntutan yang ada. Nama ini belum muncul, karena juga belum
mampu menamai semua hal yang sedang ditolaknya. Itulah kenapa gerakan ini tidak
akan sama dengan 1998, karena di saat itu, semua aspirasi yang ada, berhasil
diikat oleh satu kata “reformasi”, yang kata reformasi ini bisa muncul dari
menamai 32 tahun kekuasaan Soeharto sebagai “otoritarianisme birokratik Orde
Baru”.
Tapi, setidaknya, aksi-aksi ini menyadarkan semua
untuk tidak ceroboh bermain-main dengan antagonisme elit vs rakyat, dan lebih
arif dalam mengelola berbagai antagonisme yang ada, dengan mengembangkan
politik hegemoni, bukan terus mempertontonkan gesture politik dominasi. [ATI]
0 Komentar