Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

Bermain Antagonisme: Demo DPR, Kenapa Semasif Ini?



Photo by Canva

 
 
Ada banyak cara yang bisa digunakan untuk menjelaskan kenapa demonstrasi kepada DPR bisa semasif ini. Mungkin banyak juga di antara kita yang bertanya, kenapa tingkat perluasan kerusuhannya sedemikian cepat dan eskalatif?
 
Di berbagai media, kita bisa menjumpai banyak penjelasan soal ini. Misalnya, demonstrasi ini dipicu oleh krisis legitimasi dan krisis ekonomi. Yang lain menyoroti ke soal pihak asing yang dengan kaki tangannya mengobok-obok Indonesia. Penjelasan lain mencoba untuk melihat pada sebab yang paling kelihatan, yaitu kata-kata menghina dan merendahkan beberapa anggota DPR. Yang lainnya menyoroti soal yang terkait dengan beberapa kebijakan yang dinilai tidak peka keadaan seperti kenaikan pajak dan tunjangan DPR.
 
Penjelasan yang pertama, melihat pada soal institusi. DPR, kepolisian, dan terutama partai politik kita bermasalah. Ini memang betul dan harus diakui. Yang kedua, menekankan pada aktor yang dikerangkai pendekatan keamanan. Ada aktor dari luar yang menyulut kekisruhan. Yang ketiga, melihatnya dari sisi public policy. Yang terakhir, menyoroti soal moral, etika, dan kepatutan publik para pejabat. Mereka yang melihatnya terkait dengan soal hukum menyoroti penegakan hukum yang memble bagi para koruptor. Misalnya, amnesti dan abolisi yang secara mengejutkan diberikan kepada para tersangka korupsi.
 
Sebetulnya kalau kita perhatikan, sudah sejak periode pemerintahan sebelumnya, keresahan dan kekecewaan itu ada. Juga semua persoalan yang terkait dengan penegakan hukum, kepatutan dan etika pejabat publik, pemborosan anggaran, keengganan kelompok elit oligarki mengesahkan undang-undang perampasan aset, pelolosan undang-undang Omnibus Law, dan seterusnya. Pertanyaannya adalah, kenapa baru sekarang ini demonstrasinya betul-betul meluas dan menimbulkan kerusakan paling buruk dari yang sudah-sudah?
 
Di level permukaan, hal yang paling mudah kita lihat adalah omongan ngawur para pejabat. Tapi, apa yang membuat omongan seperti itu membakar kemarahan atau kenapa flexing dan umbar kemewahan benar-benar menyakitkan? Sudah tentu, ini bisa dikembalikan ke soal moralitas dan etika tapi sepertinya ada sesuatu yang lebih mendalam dari itu.
 
Seorang peneliti politik kontemporer Argentina, Ernesto Laclau, menemukan penjelasan politiknya. Dia mengenalkan dua konsep penting, yaitu the social dan the political. Omongan apapun tidak akan jadi masalah selama masih berada di wilayah the social. Paling-paling ia muncul sebagai gosip, obrolan warung kopi, atau rasan-rasan.
 
Tapi, omongan sekecil apapun bisa berubah menjadi urusan serius ketika ia masuk ke dalam the political. Ketika the political terbentuk relasinya menjadi politis, relasi ini membentuk pemilahan “kami” dan “mereka” yang sangat tegas. Kutub politik ini tidak memberikan pilihan ketiga. Pilihan yang tersedia hanya dua, anda bersama kami atau mereka. Itu saja. Inilah ketika apa yang disebut Laclau dengan antagonisme sedang berlangsung.
 
Sebetulnya, entah kita sadari atau tidak, ada banyak sekali antagonisme yang hidup dalam masyarakat. Antagonisme itu tidak pernah hilang atau mati. Ia hanya meredup dan melemah untuk sementara waktu, sampai ada sesuatu yang terjadi dan membuatnya mengeras. Untuk menyebut beberapa saja, di antaranya, misalnya, rakyat vs penguasa, kaya vs miskin, sipil vs militer, buruh vs pengusaha, moderat vs radikal, koruptor vs gerakan anti-korupsi, pejuang ekologi vs perusak lingkungan, Orde Baru vs Reformasi, elit vs massa, NKRI vs separatis, pribumi vs non-pribumi, dan masih banyak lagi kalau diteruskan.
 
Boleh diakui atau tidak, sepertinya rezim sekarang ini kelihatan lebih vulgar bermain-main antagonisme. Kita bisa lihat beberapa saja sebagai ilustrasi. Antagonisme sipil vs militer mencuat saat pengesahan UU TNI. Antagonisme Orde Baru vs Reformasi menguat saat Prabowo memenangkan pemilu. Antagonisme ini muncul lagi saat proyek penulisan ulang sejarah. Antagonisme pro lingkungan dan tambang menajam saat kasus nikel Raja Ampat terungkap. Korupsi dan anti-korupsi mengeras saat amnesti dan abolisi dikedepankan untuk konsolidasi elite. Antagonisme buruh vs pengusaha menguat pada kasus ojek online vs aplikator, dan sebagainya.
 
Semua antagonisme ini kemudian mengerucut dalam antagonisme elit vs rakyat, yang skemanya bisa diganti dengan rakyat vs pejabat, atau rakyat vs DPR, atau demonstran vs Sahroni-Eko-Uya. Tanpa disadari, kata-kata para pejabat publik seperti “ndasmu”, “semua tanah milik negara”, “tolol”, “antek asing”, “beban negara”, penganugerahan bintang Mahaputera untuk kerabat dan kolega, termasuk joget-joget DPR, terus mengeraskan antagonisme itu. Pelan-pelan, kaum elit sedang memupuk terjadinya pengutuban politik yang makin berjarak. Setelah kejadian meninggalnya Affan Kurniawan, antagonisme Ojol vs Polisi muncul menambah antagonisme elite vs rakyat sebelumnya jadi makin meruncing.     
 
Ketika berada dalam relasi antagonisme ini, suasananya memang sangat tidak enak dan tidak nyaman. Semua berdebar-debar, kecemasan menyebar, orang-orang bersikap waspada, semua menunggu dengan rasa was-was. Ini adalah saat ketika perang Barathayudha sedang berlangsung, saat kelompok protagonis dan antagonis saling berhadapan di medan perang. Inilah saat di mana masyarakat Indonesia yang baru (the social), sedang mengalami pembentukan ulang, dengan syarat kalau ketegangan politik ini mampu dikelola.
 
Semua antagonisme itu tak bisa dihilangkan. Perjalanan kita sebagai bangsa, mau tak mau, atau suka tidak suka, siapapun presidennya, akan berhadapan dengan salah satu dari banyak sekali antagonisme yang ada. Mungkin pada satu waktu, kita tidak berada di satu antagonisme, tapi di waktu lain kita berada dalam antagonisme lainnya. Kita sebetulnya hanya berpindah dari satu antagonisme ke antagonisme yang lain. Inilah yang membuat kenapa politik itu dinamis, kenapa masyarakat selalu berubah, dan identitas kita pun berganti-ganti.
 
Jangan coba-coba untuk menyederhanakan semua antagonisme yang ada dalam satu antagonisme yang bersifat permanen, karena hal itu bisa memanggil kembalinya totalitarianisme atau fasisme. Ketika ini terjadi, demokrasi secara otomatis akan berhenti. Dan, politik sebetulnya adalah bagaimana mengelola semua antagonisme itu menjadi kekuatan perubahan yang besar bagi Indonesia kalau kita mampu mengembangkan proyek hegemoni yang relevan. 
 
Tidak hendak mengecilkan perjuangan demonstran dan para korban yang meninggal, rasa-rasanya politik hegemoni dari aksi-aksi ini belum kelihatan terbentuk. Mengapa demikian? Karena, belum berhasil menemukan nama pengikat bagi semua tuntutan yang ada. Nama ini belum muncul, karena juga belum mampu menamai semua hal yang sedang ditolaknya. Itulah kenapa gerakan ini tidak akan sama dengan 1998, karena di saat itu, semua aspirasi yang ada, berhasil diikat oleh satu kata “reformasi”, yang kata reformasi ini bisa muncul dari menamai 32 tahun kekuasaan Soeharto sebagai “otoritarianisme birokratik Orde Baru”.
 
Tapi, setidaknya, aksi-aksi ini menyadarkan semua untuk tidak ceroboh bermain-main dengan antagonisme elit vs rakyat, dan lebih arif dalam mengelola berbagai antagonisme yang ada, dengan mengembangkan politik hegemoni, bukan terus mempertontonkan gesture politik dominasi. [ATI]

 

 

 

 


0 Komentar