Photo by Canva
Untuk membaca sebetulnya orang hanya
perlu meluangkan sedikit waktu, duduk, membuka buku, dan membacanya. Meskipun
sesederhana itu, nyatanya, tidak semua orang bisa melakukannya. Bahkan bagi
sebagian orang, membaca dianggap kegiatan yang tak terlalu ada manfaatnya,
karena tidak cepat kelihatan hasilnya. Mungkin ini yang membuat setiap kali ada
pemeringkatan minat baca, Indonesia termasuk salah satu yang rendah posisinya.
Selain soal infrastruktur dan
distribusi buku, bahan bacaan bermutu masih minim untuk seluruh Indonesia. Memang,
membaca itu urusan yang sangat personal dan individual. Jadi, sepertinya sulit
menjadi budaya di masyarakat yang lebih suka kumpul-kumpul, duduk, ngobrol, dan
bercengkrama.
Meskipun sudah ada banyak nasihat
dan motivasi yang mendorong bahwa membaca itu penting, “Membaca itu membuka jendela
dunia”, “Membaca itu meningkatkan kapasitas diri dan sebagainya”, yang bahkan
juga disampaikan oleh tokoh-tokoh terkemuka, selebriti, ilmuwan dan akademisi, influencer
dan seterusnya, tapi urusan peningkatan minat baca Indonesia masih jauh dari yang
seharusnya.
Selain itu, juga ada kesan yang
menganggap kegiatan membaca buku sebagai aktivitas kelas menengah. Tak jarang, juga
ada pandangan yang melihat membaca sebagai pekerjaan atau kegiatan anak-anak
sekolahan. Kalau bukan anak sekolahan atau sudah tidak sekolah, membaca sudah
tidak terlalu dibutuhkan. Jika sudah bekerja, maka tidak perlu lagi membaca,
kecuali mungkin buku-buku yang ada hubungannya dengan pekerjaan saja.
Dalam urusan membaca ini, kalau
kita urai, ada beberapa tingkatan yang intervensinya pun beda-beda. Pada
tingkatan yang pertama, urusannya memang tidak bisa membaca, tidak bisa
mengeja huruf dan kata-kata. Kondisi ini biasanya disebut dengan buta huruf. Survei
sosial ekonomi nasional (SUSENAS 2023) menyebut angka buta huruf Indonesia
masih di kisaran 1,08 persen atau setara dengan 1.958.659 orang pada tahun 2023
(https://www.antaranews.com/berita/4362347/kemendikbud-kolaborasi-sukses-turunkan-angka-buta-aksara-indonesia?utm_source=chatgpt.com).
Untuk yang ini, intervensinya memang belajar membaca dalam pengertian mengeja
huruf dan kata-kata.
Pada tingkatan yang kedua,
masalahnya bukan lagi itu, tapi pada bagaimana bisa menyukai membaca. Untuk
yang ini, sudah ada banyak tipnya. Motivasi-motivasi di youtube bertebaran
mendorong agar orang menjadikan membaca sebagai kebiasaannya. Banyak kata-kata influencer,
tokoh idola, public figure, artis, selebgram yang dikutip berkali-kali
untuk menggugah minat baca.
Pada tingkatan yang ketiga,
dia sudah bisa membaca, dan ingin sekali membaca, tapi yang dibaca tidak ada. Tidak
tersedia fasilitas perpustakaan yang memadai untuk membangkitkan minat baca.
Memang harus diakui, infrastruktur perpustakaan di Indonesia masih timpang.
Sebagian besar buku-buku dan penerbitan ada di Indonesia bagian barat. Biaya
pengiriman buku ke Indonesia timur masih menjadi kendala. Untuk yang ini,
solusinya memang pemerataan distribusi buku di seluruh Indonesia.
Yang menarik sebetulnya pada
tingkatan yang keempat, di mana soalnya bukan lagi bisa mengeja atau
tidak, suka membaca atau tidak, dan ada bukunya atau tidak. Tapi, tidak tahu
apa yang harus dibaca. Hal ini biasanya terjadi pada orang yang sedang studi
entah untuk level sarjana, master, atau doktoral. Padahal, ia harus membaca literatur
secara intensif dan teratur, tapi pada saat yang sama, mungkin ada ribuan buku
membahas topik atau tema yang sama dengan yang sedang ditelitinya.
Topik apapun yang kita pilih,
biasanya di situ sudah ada mungkin ratusan atau bahkan ribuan buku yang
membahasnya. Misalnya, topik tentang gerakan sosial, topik ini sudah ditulis
orang lain jauh sebelum kita, yang bahkan penulisnya sudah meninggal sebelum
kita lahir. Artinya, topik ini sudah dibahas oleh ribuan buku. Misalnya lagi
topik gender, sudah ada banyak sekali penulis yang membicarakannya secara
langsung, juga yang tidak langsung.
Siapapun yang baru masuk ke dalam
topik yang sudah padat seperti itu, ada dua implikasinya. Pertama, banyaknya
buku yang sudah membahasnya membuat kita punya banyak referensi, dan mungkin
tidak terlalu sulit mendapatkan buku bacaannya. Yang kedua, situasi itu
juga bisa jadi sangat memusingkan karena saking banyaknya buku, seseorang jadi
tidak tahu atau bingung memilih mana yang relevan untuknya.
Ketika ia mulai membaca buku satu
per satu, semua buku yang dibacanya akan kelihatan menarik dan membuatnya sulit
menentukan mana buku yang paling dibutuhkannya. Karena sudah banyak membaca,
biasanya ia akan punya banyak cerita dan bisa mengulasnya. Pada titik ini,
pengetahuannya juga semakin luas, karena mengetahui banyak isi buku. Dalam
banyak kasus, situasi ini membuatnya berubah-ubah dari satu ide ke ide lainnya,
sehingga, di satu waktu, dia bisa cerita satu gagasan, di waktu yang lain sudah
bicara hal yang lain lagi.
Ini menandakan ia berada di dalam
pengaruh bacaan-bacaannya. Kalau situasi ini tidak segera diakhiri ia akan
keasyikan membaca dan hilang dalam semua buku bacaannya. Inilah saat di mana
seseorang meskipun membaca banyak buku, tapi sebetulnya dia yang dibaca oleh
buku-buku. Apalagi kalau buku yang dibacanya adalah buku yang ditulis para
peneliti besar semisal Max Weber, Carl Gustaf Jung, Sigmund Freud, Pierre
Bourdieu, Noam Chomsky, Peter L Berger, Karl Marx, David Harvey, dan
sebagainya.
Ketika misalnya ia bicara, dan
kelihatan menguasai semuanya, sebetulnya yang sedang bicara itu adalah
buku-buku yang dibacanya. Kalau dia sedang senang David Harvey, yang sedang
bicara sebetulnya David Harvey. Kalau yang sedang menguasainya Sigmund Freud,
yang sedang berbicara juga Sigmud Freud, dan seterusnya.
Pertanyaannya, mengapa hal
seperti itu bisa terjadi? Yang pertama, itu bisa jadi karena si pembaca
adalah orang yang baru saja masuk ke dalam topik atau tema yang perdebatannya
sudah sangat padat. Yang kedua, saat memasuki tema yang memiliki
kumpulan pengetahuan sudah banyak tersebut pikirannya kosong, sehingga semua
yang ada masuk dan berkecamuk dalam pikirannya.
Yang ketiga, ia tidak
memiliki semacam kompas pemandu yang bisa menuntunnya memasuki belantara
pengetahuan yang disajikan buku-buku bacaannya. Yang keempat, hal ini
seringkali terjadi ketika si pembaca tidak segera melakukan abstraksi yang bisa
membantunya menyusun klasifikasi untuk menata semua bacaannya menjadi lebih
rapi dan terstruktur. Yang kelima, kecenderungan itu bisa terjadi karena
rata-rata para pembaca buku tanpa sadar memperlakukan buku seperti data yang
bicara sendiri.
Lalu, apa yang harus dilakukan
untuk bergeser dari dibaca buku menjadi betul-betul membaca buku. Kita
benar-benar membaca buku kalau sudah melakukan abstraksi. Yang dimaksud di sini
bukan seperti membuat abstrak seperti saat menulis artikel. Tapi, semacam
melakukan problematisasi dan lalu mengambil posisi argumentasi yang spesifik.
Proses inilah yang nanti akan memandu arah saat membaca buku.
Sayangnya, kemampuan ini jarang sekali diajarkan apalagi dilatihkan. Itulah sekelumit obrolan pinggiran di kelas Seri Proposal yang baru saja selesai diselenggarakan Sekolah Riset Satukata pada akhir Agustus 2025 ini. Sampai jumpa di kelas tak seperti biasanya sebentar lagi. [ATI]

0 Komentar