Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

Bukannya Membaca Malah Dibaca Buku, Kok Bisa?

Photo by Canva

sekolah riset satukata,-

Untuk membaca sebetulnya orang hanya perlu meluangkan sedikit waktu, duduk, membuka buku, dan membacanya. Meskipun sesederhana itu, nyatanya, tidak semua orang bisa melakukannya. Bahkan bagi sebagian orang, membaca dianggap kegiatan yang tak terlalu ada manfaatnya, karena tidak cepat kelihatan hasilnya. Mungkin ini yang membuat setiap kali ada pemeringkatan minat baca, Indonesia termasuk salah satu yang rendah posisinya.

Selain soal infrastruktur dan distribusi buku, bahan bacaan bermutu masih minim untuk seluruh Indonesia. Memang, membaca itu urusan yang sangat personal dan individual. Jadi, sepertinya sulit menjadi budaya di masyarakat yang lebih suka kumpul-kumpul, duduk, ngobrol, dan bercengkrama.

Meskipun sudah ada banyak nasihat dan motivasi yang mendorong bahwa membaca itu penting, “Membaca itu membuka jendela dunia”, “Membaca itu meningkatkan kapasitas diri dan sebagainya”, yang bahkan juga disampaikan oleh tokoh-tokoh terkemuka, selebriti, ilmuwan dan akademisi, influencer dan seterusnya, tapi urusan peningkatan minat baca Indonesia masih jauh dari yang seharusnya.

Selain itu, juga ada kesan yang menganggap kegiatan membaca buku sebagai aktivitas kelas menengah. Tak jarang, juga ada pandangan yang melihat membaca sebagai pekerjaan atau kegiatan anak-anak sekolahan. Kalau bukan anak sekolahan atau sudah tidak sekolah, membaca sudah tidak terlalu dibutuhkan. Jika sudah bekerja, maka tidak perlu lagi membaca, kecuali mungkin buku-buku yang ada hubungannya dengan pekerjaan saja.

Dalam urusan membaca ini, kalau kita urai, ada beberapa tingkatan yang intervensinya pun beda-beda. Pada tingkatan yang pertama, urusannya memang tidak bisa membaca, tidak bisa mengeja huruf dan kata-kata. Kondisi ini biasanya disebut dengan buta huruf. Survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS 2023) menyebut angka buta huruf Indonesia masih di kisaran 1,08 persen atau setara dengan 1.958.659 orang pada tahun 2023 (https://www.antaranews.com/berita/4362347/kemendikbud-kolaborasi-sukses-turunkan-angka-buta-aksara-indonesia?utm_source=chatgpt.com). Untuk yang ini, intervensinya memang belajar membaca dalam pengertian mengeja huruf dan kata-kata.

Pada tingkatan yang kedua, masalahnya bukan lagi itu, tapi pada bagaimana bisa menyukai membaca. Untuk yang ini, sudah ada banyak tipnya. Motivasi-motivasi di youtube bertebaran mendorong agar orang menjadikan membaca sebagai kebiasaannya. Banyak kata-kata influencer, tokoh idola, public figure, artis, selebgram yang dikutip berkali-kali untuk menggugah minat baca.

Pada tingkatan yang ketiga, dia sudah bisa membaca, dan ingin sekali membaca, tapi yang dibaca tidak ada. Tidak tersedia fasilitas perpustakaan yang memadai untuk membangkitkan minat baca. Memang harus diakui, infrastruktur perpustakaan di Indonesia masih timpang. Sebagian besar buku-buku dan penerbitan ada di Indonesia bagian barat. Biaya pengiriman buku ke Indonesia timur masih menjadi kendala. Untuk yang ini, solusinya memang pemerataan distribusi buku di seluruh Indonesia.

Yang menarik sebetulnya pada tingkatan yang keempat, di mana soalnya bukan lagi bisa mengeja atau tidak, suka membaca atau tidak, dan ada bukunya atau tidak. Tapi, tidak tahu apa yang harus dibaca. Hal ini biasanya terjadi pada orang yang sedang studi entah untuk level sarjana, master, atau doktoral. Padahal, ia harus membaca literatur secara intensif dan teratur, tapi pada saat yang sama, mungkin ada ribuan buku membahas topik atau tema yang sama dengan yang sedang ditelitinya.

Topik apapun yang kita pilih, biasanya di situ sudah ada mungkin ratusan atau bahkan ribuan buku yang membahasnya. Misalnya, topik tentang gerakan sosial, topik ini sudah ditulis orang lain jauh sebelum kita, yang bahkan penulisnya sudah meninggal sebelum kita lahir. Artinya, topik ini sudah dibahas oleh ribuan buku. Misalnya lagi topik gender, sudah ada banyak sekali penulis yang membicarakannya secara langsung, juga yang tidak langsung.

Siapapun yang baru masuk ke dalam topik yang sudah padat seperti itu, ada dua implikasinya. Pertama, banyaknya buku yang sudah membahasnya membuat kita punya banyak referensi, dan mungkin tidak terlalu sulit mendapatkan buku bacaannya. Yang kedua, situasi itu juga bisa jadi sangat memusingkan karena saking banyaknya buku, seseorang jadi tidak tahu atau bingung memilih mana yang relevan untuknya.

Ketika ia mulai membaca buku satu per satu, semua buku yang dibacanya akan kelihatan menarik dan membuatnya sulit menentukan mana buku yang paling dibutuhkannya. Karena sudah banyak membaca, biasanya ia akan punya banyak cerita dan bisa mengulasnya. Pada titik ini, pengetahuannya juga semakin luas, karena mengetahui banyak isi buku. Dalam banyak kasus, situasi ini membuatnya berubah-ubah dari satu ide ke ide lainnya, sehingga, di satu waktu, dia bisa cerita satu gagasan, di waktu yang lain sudah bicara hal yang lain lagi.

Ini menandakan ia berada di dalam pengaruh bacaan-bacaannya. Kalau situasi ini tidak segera diakhiri ia akan keasyikan membaca dan hilang dalam semua buku bacaannya. Inilah saat di mana seseorang meskipun membaca banyak buku, tapi sebetulnya dia yang dibaca oleh buku-buku. Apalagi kalau buku yang dibacanya adalah buku yang ditulis para peneliti besar semisal Max Weber, Carl Gustaf Jung, Sigmund Freud, Pierre Bourdieu, Noam Chomsky, Peter L Berger, Karl Marx, David Harvey, dan sebagainya.

Ketika misalnya ia bicara, dan kelihatan menguasai semuanya, sebetulnya yang sedang bicara itu adalah buku-buku yang dibacanya. Kalau dia sedang senang David Harvey, yang sedang bicara sebetulnya David Harvey. Kalau yang sedang menguasainya Sigmund Freud, yang sedang berbicara juga Sigmud Freud, dan seterusnya.

Pertanyaannya, mengapa hal seperti itu bisa terjadi? Yang pertama, itu bisa jadi karena si pembaca adalah orang yang baru saja masuk ke dalam topik atau tema yang perdebatannya sudah sangat padat. Yang kedua, saat memasuki tema yang memiliki kumpulan pengetahuan sudah banyak tersebut pikirannya kosong, sehingga semua yang ada masuk dan berkecamuk dalam pikirannya.

Yang ketiga, ia tidak memiliki semacam kompas pemandu yang bisa menuntunnya memasuki belantara pengetahuan yang disajikan buku-buku bacaannya. Yang keempat, hal ini seringkali terjadi ketika si pembaca tidak segera melakukan abstraksi yang bisa membantunya menyusun klasifikasi untuk menata semua bacaannya menjadi lebih rapi dan terstruktur. Yang kelima, kecenderungan itu bisa terjadi karena rata-rata para pembaca buku tanpa sadar memperlakukan buku seperti data yang bicara sendiri.

Lalu, apa yang harus dilakukan untuk bergeser dari dibaca buku menjadi betul-betul membaca buku. Kita benar-benar membaca buku kalau sudah melakukan abstraksi. Yang dimaksud di sini bukan seperti membuat abstrak seperti saat menulis artikel. Tapi, semacam melakukan problematisasi dan lalu mengambil posisi argumentasi yang spesifik. Proses inilah yang nanti akan memandu arah saat membaca buku.

Sayangnya, kemampuan ini jarang sekali diajarkan apalagi dilatihkan. Itulah sekelumit obrolan pinggiran di kelas Seri Proposal yang baru saja selesai diselenggarakan Sekolah Riset Satukata pada akhir Agustus 2025 ini. Sampai jumpa di kelas tak seperti biasanya sebentar lagi. [ATI]

0 Komentar