Di bulan Oktober mendatang ini Sekolah Riset Satukata akan menyelenggarkan kelas khusus tentang kekuasaan.
Perlu dicatat tulisan ini mungkin terkesan seperti iklan, dan untuk memulai, kita coba membuat semacam
tesis, yang siapapun boleh setuju dan tidak.
“Hancur dan bertahannya sebuah bangsa,
maju dan mundurnya suatu negara, sejahtera dan miskinnya rakyat tergantung pada
bagaimana kekuasaan dikelola. Dan bagaimana kekuasaan dikelola terkait dengan
bagaimana kekuasaan didefinisikan.”
Kajian tentang kekuasaan memiliki
andil besar dalam menentukan seperti apa kekuasaan didefinisikan. Begitulah
kait mengaitnya kalau kita coba bayangkan.
Jadi, kalau kita bertanya kenapa misalnya kebijakannya amburadul, kenapa politiknya gaduh dan seterusnya, bisa jadi itu karena selama ini kekuasaan dilihat dengan cara tertentu.
Dan jelas saja itu
bisa terjadi sebab memang kajian kekuasaan tidak berkembang atau cara melihat
kekuasaannya masih di situ-situ saja.
Tapi mungkin karena sudah berlangsung dengan begitu saja kita tak lagi sadar bahwa semua yang terjadi di wilayah publik dan privat kita, juga yang beseliweran di social media, sesungguhnya keributan tentang kekuasaan.
Mulai dari MBG, demo DPR, subsidi
BBM, masalah pajak hingga ke soal besok makan apa atau pakai baju apa, semua
itu adalah perihal kekuasaan.
Selain karena sudah saking banalnya, ketidakhirauan terhadap hal-hal tersebut sebagai kekuasaan mungkin juga disebabkan oleh semacam proses yang mendorong semua orang untuk melupakannya sebagai soal kekuasaan.
Proses ini beroperasi dengan halus tapi dampaknya pelan-pelan
kita dibuat tidak lagi bisa melihat kekuasaan, bahkan membencinya, mengutuknya,
dan menganggapnya harus ditumbangkan.
Sudah tentu kalau kekuasaan itu menidas, menggantinya merupakan sebuah keharusan. Tapi poinnya adalah entah kenapa makin lama orang menempatkan kekuasaan itu buruk
Sehingga melupakan
bahwa sebetulnya upaya mengkritik kekuasaan atau mengganti kekuasaan tak bisa
dilakukan tanpa juga menggunakan kekuasaan.
Sebetulnya hal ini terkait dengan perdebatan
lama sekali tentang kekuasaan yang mempersoalkan pertanyaan apakah kita manusia
ini berada di dalam kekuasaan, atau di luarnya?
Jawaban paling dominan dan menjadi mainstream sampai sekarang dengan sangat kekeh terus meyakinkan bahwa kekuasaan itu berada di luar kita.
Kita harus mengambil jarak dengan kekuasaan yang dengan cara ini
kita tidak lagi dikuasai oleh kekuasaan. Kita dan kekuasaan adalah dua hal yang
terpisah.
Dengan menempatkan kekuasaan di luar diri kita, maka ini membantu kita bisa mempelajarinya, mengaturnya, mengelolanya, menggantinya, bahkan sampai bisa menggenggam dan mempertahankannya.
Artinya kita
manusia yang menentukan kekuasaan itu apa dan bagaimana, bukan sebaliknya. Ini
implikasi yang pertama.
Implikasi yang kedua, dan agar tidak dikuasai kekuasaan, adalah kita perlu membuat pemisahan yang tegas mana wilayah kekuasaan dan mana wilayah yang bukan kekuasaan.
Ini harus jelas supaya
pembicaraan tentang kekuasaan sebaiknya berada di wilayah kekuasaan saja.
Yang ketiga, cara ini telah membuat kita sering mendengar kata-kata yang arahnya mau mengatakan bahwa jangan sampai kekuasaan menginfiltrasi atau mengintervensi wilayah yang bukan kekuasaan.
Misalnya, “kalau bicara agama, keluarga, persahabatan, pekerjaan,
jangan bawa-bawa kekuasaan”.
Yang keempat, upaya untuk menyingkirkan kekuasaan ini dilakukan dengan semakin serius, misalnya, dengan sebisa mungkin menghindari kekuasaan dan menyebutnya dengan kata lain meskipun sebetulnya membicarakan kekuasan.
Kata lain itu misalnya, “kebijakan”, “pemilu”, “budaya”,
“teknologi”, “administrasi”, “birokrasi”, “organisasi”, “informasi”, “pers” dan
lain sebagainya.
Pertanyaannya, di Indonesia seperti apa melihatnya? Sepertinya kita harus berterima kasih kepada profesor Miriam Budiarjo untuk hal ini.
Bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Ilmu Politik
sudah berusia 53 tahun sejak terbit pertama kali pada tahun 1972.
Dalam usianya yang cukup tua itu, buku ini sudah dicetak berulang kali, dipelajari oleh mungkin ribuan orang, khususnya mahasiswa ilmu politik di seluruh Indonesia.
Sudah tentu ada banyak sekali buku lainnya yang mengamplifikasi cara pandang kekuasaan seperti buku profesor Miriam tersebut.
Jadi, tak begitu mengherankan jika ia sangat
berpengaruh dalam membentuk cara orang melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang
di luar manusia, harus dikendalikan, dipisahkan dari wilayah lainnya, dan
beroperasi di wilayah formal.
Kalau kita kembali ke paragraf ketiga di atas, kajian tentang kekuasaan di Indonesia bukannya tidak ada atau tidak berkembang. Kajiannya mungkin berkembang dan terus ada tapi kajian itu, pertama, malah cenderung menghindari kekuasaan.
Yang kedua, memperlakukan
kekuasaan sebagai sesuatu yang negatif, buruk dan menghambat.
Yang ketiga, entah disadari atau tidak kajian-kajian yang ada cenderung melekatkan kekuasaan pada sesuatu yang tidak rasional, tidak logis, tidak objektif, segala yang bersifat disorder.
Yang keempat, kajian kekuasaan yang seperti itu terobsesi pada order,
pada bagaimana menciptakan tatanan yang stabil.
Ini terjadi karena, yang kelima, kajian kekuasaan di Indonesia lebih banyak berpusat pada negara dan secara tak sadar diorientasikan untuk memperkuatnya.
Jadi, meskipun juga ada banyak kajian
yang membicarakan masyarakat sipil, tapi sebetulnya tetap diorientasikan untuk
menciptakan tatanan atau negara dan memperkuatnya.
Dalam perkembangan selanjutnya semua ini tanpa disengaja menghasilkan efek luar biasa yang mungkin tak banyak diperhatikan sebelumnya.
Pertama, di Indonesia ini seperti ada pandangan bahwa orang tak bisa hidup lebih baik kalau tidak menempel pada negara.
Yang
dimaksud “menempel” ini luas, bisa sebagai abdi negara (PNS, polisi, tentara),
pejabat negara, tukang kritik negara dan sebagainya.
Yang kedua, negara ditempatkan sebagai tujuan dari karir seseorang. Yang ketiga, orang-orang berondong-bondong masuk ke negara lewat pintu yang bermacam-macam.
Ini karena
sebagian besar sumber daya dan segala bentuk keistimewaan ada di sana.
Ketika seseorang disentuh negara, kalau dia miskin negara akan membuatnya punya lebih banyak uang. Kalau dia bodoh dan kurang pendidikan, negara akan memolesnya jadi kelihatan pintar.
Kalau
dia orang biasa saja, negara akan secara ajaib membuatnya jadi penting,
dihormati dan dilayani, dan kalau anda tak punya mobil negara akan
membelikannya dan seterusnya.
Artinya orang tak perlu punya otak,
tak juga perlu punya uang dan tak usah lebih dulu punya keluarga terpandang,
negara atau kekuasaan akan menyediakan semuanya kalau anda masuk ke dalamnya.
Tapi ini menimbulkan paradoks di sisi
negara sendiri karena ia dipaksa terus kelihatan kuat, bisa mengatasi masalah,
bisa mengendalikan keadaan, bisa menjamin kesejahteraan, hadir di mana-mana dan
menampilkan kesan mendengar semua suara.
Menteri keuangan akan selalu mengatakan negara masih punya banyak uang. Badan Pusat Statistik akan melaporkan kemiskinan turun.
Kita akan terus mendengar menteri pertanian
mengatakan stock beras surplus dan sebentar lagi swasembada pangan. Badan
Gizi Nasional menanggapi santai keluhan keracunan makanan menggunakan logika margin
error penelitian survei.
Lalu adakah cara lain melihat
kekuasaan? Bukan hanya ada, tapi kalau melihat cerita di atas, sepertinya bahkan
kita harus membahasnya lebih khusus, menjadikannya kajian yang serius, dan Master
Class kekuasaan ini dirancang untuk memulainya.
Selamat bergabung, silahkan mengunjungi
tautan ini untuk mengulik tema-tema yang akan dibahas nanti di Master Class Kritik
Kekuasaan & Pasca Kekuasaan. [ATI]
0 Komentar