Di tengah situasi yang sekarang ini, kita semua dihadapkan pada pertanyaan besar, bagaimana Indonesia setelah ini? Akankah kita kembali ke masa lalu di mana kekuasaan berhasil memperkuat diri dalam wajah otoritarian yang ditumpukan pada dominannya pendekatan keamanan dalam mengatur politik? Ataukah kita akan melihat perwujudan demokrasi yang benar-benar subtantif, demokrasi yang menyejahterakan, bukan demokrasi yang dikendalikan kekuatan oligarki?
Sudah tentu, untuk saat ini—atau
bahkan sejak dulu, tak ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, dengan
meyakinkan. Karena memang dinamikanya terus berubah, karena memang tidak ada
satu jawaban yang bisa dipegang untuk selamanya. Jawabanya akan selalu berubah
tergantung pada bagaimana dinamikanya diinterpretasikan. Untuk itu yang mungkin
bisa kita lakukan bukan fokus pada mencari jawaban untuk semuanya, tapi terus
memperhatikan bagaimana dinamikanya, atau dalam bahasa lain perpolitikannya
berlangsung.
Kalau kita membaca kembali sejarah,
tidak terlalu sulit melihat bagaimana Indonesia terbentuk dan berubah. Sebetulnya
ada tiga kekuatan saja yang pertarungan politiknya membentuk Indonesia.
Yang pertama adalah politik yang menginginkan
Indonesia lebih maju. Politik ini menyederhanakan Indonesia dalam dua blok saja
yaitu blok kemajuan dan blok anti kemajuan. Sedangkan yang kedua berusaha
membawa Indonesia dalam kutub politik antara Indonesia bersatu dan Indonesia terdisintegrasi.
Bagi politik yang ketiga, Indonesia itu pemilahannya adalah antara Indonesia
adil dan Indonesia timpang.
Bagi yang pertama, tak ada
pilihan bagi Indonesia selain mengejar kemajuan secepat-cepatnya. Yang
terpenting bagi kita sekarang adalah membawa Indonesia menjadi negara maju. Apapun
persoalannya akan diletakkan dan dilihat dalam kerangka maju dan terbelakang
ini. Persoalan utama Indonesia adalah pola pikirnya yang belum modern.
Korupsi misalnya, bagi kelompok
ini, adalah cerminan dari cara yang belum maju dalam mengelola publik. Pejabat
pubik kita belum bisa membedakan mana urusan privat dan mana urusan publik.
Terhadap demonstrasi misalnya,
kelompok ini tidak menolaknya, tapi akan melihatnya sebagai tindakan emosional,
ekspresi kemarahan, yang meletup sesaat. Demo yang berlebihan dilakukan orang
yang belum maju pikirannya, tidak rasional menalar keadaan, dikuasi emosi bukan
akal pikiran. Politik yang maju adalah politik yang rasional bukan yang
emosional. Seorang anggota DPR RI merespon demonstrasi dengan nalar ini
mengatakan,”bagaimana investasi bisa masuk kalau demo terus”.
Indonesia harus punya satelit
sendiri, kita harus memperkuat industri pesawat dalam negeri sebagai simbol
kemajuan. Rencana nasional untuk membentuk sekolah-sekolah garuda berada dalam politik
kemajuan ini. Kebijakan soal efisiensi anggaran juga berada di sini karena
negara yang maju adalah negara yang efisien bukan yang boros.
Ini pula yang mendasari kenapa
menteri pendidikan tinggi dipilih dari latar belakang simbol kamajuan, teknologi.
Nalar ini juga menyelinap dalam mengatur
politik, -- demokrasi kita harus diefisienkan. Membiayai anak-anak Indonesia bersekolah di
kampus-kampus top dunia juga bagian dari cita-cita kemajuan ini.
Sedangkan politik yang kedua
menginginkan Indonesia harus bersatu sebagai bangsa, sebagai kesatuan kolektif yang
tidak terdisintegrasi. Apapun persoalaanya harus ditimbang dengan nalar
kesatuan. Masa depan Indonesia tergantung pada bagaimana kita mengelola keberagaman.
Menjadi maju boleh saja tapi itu harus ditaruh dalam rangka menjadi mandiri,
berdaulat dan tidak tergantung pada negara lain. Blok politik ini akan sangat
menekankan nasionalisme, cinta tanah air, patriotisme dan bela negara. Kadang
mucul dalam narasi tentang stabilitas dan keamanan.
Kebijakan seperti koperasi merah
putih sebetulnya berada di sini. Posisi politik ini biasanya terobesi dengan kedaulatan
dan berdikari. Indonesia harus bisa memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri.
Swasembada pangan menjadi kunci untuk bisa mandiri dan tidak tergantung.
Indonesia harus berada di tengah,
tidak ekstrim kanan, tidak ekstrim kiri adalah sikap yang juga amat disukai. Ketegangan
radikal dan moderat beberapa tahun lalu berada di sini karena mereka yang
moderat berhasil memasukkan yang radikal ke dalam kotak melawan nasionalisme. Saat
demonstrasi mulai tak terkendali muncul seruan untuk warga jaga warga. Demontrasi
sekeras apapun jangan sampai melupakan bahwa kita ini satu bangsa, kita adalah
warga dari rumah yang sama.
Pelabelan makar dan terorisme
kepada aksi demontrasi beberapa waktu lalu juga menegaskan digunakannya narasi politik
kedua ini untuk menamai demo sebagai mengganggu stabilitas keamanan, mengancam
ketertiban, dan berpotensi melemahkan nasionalisme.
Sedangkan yang ketiga sangat kuat
memperjuangkan keadilan bagi semuanya. Kelompok ini akan menaruh semua
persoalan dalam tarik-menarik antara rakyat vs elit atau pejabat. Narasi-narasi
anti oligarki, ketimpangan kaya dan miskin sangat kuat mempengaruhi kelompok
ini.
Ini karena bagi kelompok ini masa
depan Indonesia tergantung pada rakyatnya. Rakyat harus menjadi pelaku utama.
Rakyat harus dijadikan orientasi dari seluruh kebijakan pembangunan. Korupsi
adalah cerminan dari diabaikannnya hak-hak rakyat, dan dikhianatinya kepercayaan
publik.
Isu utama kelompok ini adalah
pemerataan dan keadilan pembangunan. Bagi mereka, Indonesia tak punya masalah
dengan kekayaan sumber daya, juga tak punya persoalan dengan kolektivitas
sosial, ada banyak anak Indonesia yang berbakat,--- masalah utama kita adalah
elit dan oligarki yang menguasai lebih banyak sumber daya, menguasai politik,
dan menyusun peraturan yang menguntungkan mereka sediri.
Mereka punya concern yang kuat terhadap
hak-hak masyarakat asli, perlindungan anak dan perempuan, membatasi negara ikut
campur dalam urusan rakyat, sekuat mungkin memperjuangkan kebebasan berpendapat
dan berkumpul, melindungi ruang hidup dan ruang kelola rakyat dari investasi
yang merusak lingkungan, dan seterusnya.
Coba kita lihat demonstrasi DPR
yang kemarin. Hampir semua demontrasi akan mulai dari posisi yang ketiga,
kerakyatan, dan biasanya akan dibalas atau dilabeli dengan menggunakan posisi
kedua (nasionalisme dan bela negara), dan pertama (kemajuan berpikir dan
kedewasaan mengemukakan pendapat).
Ketiga hal itu seperti tiga
kondensasi dari hasrat berIndonesia. Wajah Indonesia selalu tergantung pada nama pengikat yang bisa
menyatukan tiga keinginan kolektif itu. Atau kalau dibalik nama pengikat tiga
kolektifitas itu akan menentukan seperti apa Indonesia berikutnya.
Di masa kolonialisme ketiganya
diikat oleh nama “revolusi kemerdekaan”, lalu kita punya Indonesia merdeka
setelah itu. Sampai akhirnya nama ini tak mampu lagi menjadi pusat identifikasinya,
lalu diganti dengan nama “pembangunan”. Tapi hanya bertahan tiga puluh tahun
saja dan lalu “reformasi” datang menggantikannya. Hingga kini “reformasi” masih
belum akan kelihatan muncul calon penggatinya.
Itu bukan sekadar ganti kata atau
semata ubah nama. Perubahan nama itu menandai cara yang spesifik dalam bagaimana
kita berIndonesia. Dan setiap pergantian itu diwarnai oleh pertarungan politik
yang berdarah-darah.
Mungkin lalu kita berpikir, kalau
begitu kita cari saja nama lainnya, boleh saja. Tapi pertanyaannya, sejauh mana
nama itu juga bisa diterima oleh kolektifitas politik yang lainnya.
Jadi kalau ditanya Indonesia ini
apa, Indonesia adalah tarik ulur tak berkesudahan antara modernisme,
nasionalisme dan demokrasi. Ini bukan hanya pertarungan yang terjadi di wilayah
makro dari politik kita, tapi juga bergulat dalam diri kita sendiri. Itulah
kenapa kita ini kadang nasionalis, kadang demokratis, kadang modernis, dan
kadang nggak jelas.
Suka tak suka, itulah kita, itulah Indonesia. Wallahu a’lam.
0 Komentar