Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

Seperti apa Indonesia nanti, tergantung pada perpolitikan tiga kekuatan ini

 

Photo by Canva

Di tengah situasi yang sekarang ini, kita semua dihadapkan pada pertanyaan besar, bagaimana Indonesia setelah ini? Akankah kita kembali ke masa lalu di mana kekuasaan berhasil memperkuat diri dalam wajah otoritarian yang ditumpukan pada dominannya pendekatan keamanan dalam mengatur politik? Ataukah kita akan melihat perwujudan demokrasi yang benar-benar subtantif, demokrasi yang menyejahterakan, bukan demokrasi yang dikendalikan kekuatan oligarki?

Sudah tentu, untuk saat ini—atau bahkan sejak dulu, tak ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, dengan meyakinkan. Karena memang dinamikanya terus berubah, karena memang tidak ada satu jawaban yang bisa dipegang untuk selamanya. Jawabanya akan selalu berubah tergantung pada bagaimana dinamikanya diinterpretasikan. Untuk itu yang mungkin bisa kita lakukan bukan fokus pada mencari jawaban untuk semuanya, tapi terus memperhatikan bagaimana dinamikanya, atau dalam bahasa lain perpolitikannya berlangsung.

Kalau kita membaca kembali sejarah, tidak terlalu sulit melihat bagaimana Indonesia terbentuk dan berubah. Sebetulnya ada tiga kekuatan saja yang pertarungan politiknya membentuk Indonesia.

Yang pertama adalah politik yang menginginkan Indonesia lebih maju. Politik ini menyederhanakan Indonesia dalam dua blok saja yaitu blok kemajuan dan blok anti kemajuan. Sedangkan yang kedua berusaha membawa Indonesia dalam kutub politik antara Indonesia bersatu dan Indonesia terdisintegrasi. Bagi politik yang ketiga, Indonesia itu pemilahannya adalah antara Indonesia adil dan Indonesia timpang.   

Bagi yang pertama, tak ada pilihan bagi Indonesia selain mengejar kemajuan secepat-cepatnya. Yang terpenting bagi kita sekarang adalah membawa Indonesia menjadi negara maju. Apapun persoalannya akan diletakkan dan dilihat dalam kerangka maju dan terbelakang ini. Persoalan utama Indonesia adalah pola pikirnya yang belum modern.

Korupsi misalnya, bagi kelompok ini, adalah cerminan dari cara yang belum maju dalam mengelola publik. Pejabat pubik kita belum bisa membedakan mana urusan privat dan mana urusan publik.  

Terhadap demonstrasi misalnya, kelompok ini tidak menolaknya, tapi akan melihatnya sebagai tindakan emosional, ekspresi kemarahan, yang meletup sesaat. Demo yang berlebihan dilakukan orang yang belum maju pikirannya, tidak rasional menalar keadaan, dikuasi emosi bukan akal pikiran. Politik yang maju adalah politik yang rasional bukan yang emosional. Seorang anggota DPR RI merespon demonstrasi dengan nalar ini mengatakan,”bagaimana investasi bisa masuk kalau demo terus”.    

Indonesia harus punya satelit sendiri, kita harus memperkuat industri pesawat dalam negeri sebagai simbol kemajuan. Rencana nasional untuk membentuk sekolah-sekolah garuda berada dalam politik kemajuan ini. Kebijakan soal efisiensi anggaran juga berada di sini karena negara yang maju adalah negara yang efisien bukan yang boros.

Ini pula yang mendasari kenapa menteri pendidikan tinggi dipilih dari latar belakang simbol kamajuan, teknologi.  Nalar ini juga menyelinap dalam mengatur politik, -- demokrasi kita harus diefisienkan.  Membiayai anak-anak Indonesia bersekolah di kampus-kampus top dunia juga bagian dari cita-cita kemajuan ini.

Sedangkan politik yang kedua menginginkan Indonesia harus bersatu sebagai bangsa, sebagai kesatuan kolektif yang tidak terdisintegrasi. Apapun persoalaanya harus ditimbang dengan nalar kesatuan. Masa depan Indonesia tergantung pada bagaimana kita mengelola keberagaman. Menjadi maju boleh saja tapi itu harus ditaruh dalam rangka menjadi mandiri, berdaulat dan tidak tergantung pada negara lain. Blok politik ini akan sangat menekankan nasionalisme, cinta tanah air, patriotisme dan bela negara. Kadang mucul dalam narasi tentang stabilitas dan keamanan.

Kebijakan seperti koperasi merah putih sebetulnya berada di sini. Posisi politik ini biasanya terobesi dengan kedaulatan dan berdikari. Indonesia harus bisa memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri. Swasembada pangan menjadi kunci untuk bisa mandiri dan tidak tergantung.

Indonesia harus berada di tengah, tidak ekstrim kanan, tidak ekstrim kiri adalah sikap yang juga amat disukai. Ketegangan radikal dan moderat beberapa tahun lalu berada di sini karena mereka yang moderat berhasil memasukkan yang radikal ke dalam kotak melawan nasionalisme. Saat demonstrasi mulai tak terkendali muncul seruan untuk warga jaga warga. Demontrasi sekeras apapun jangan sampai melupakan bahwa kita ini satu bangsa, kita adalah warga dari rumah yang sama.

Pelabelan makar dan terorisme kepada aksi demontrasi beberapa waktu lalu juga menegaskan digunakannya narasi politik kedua ini untuk menamai demo sebagai mengganggu stabilitas keamanan, mengancam ketertiban, dan berpotensi melemahkan nasionalisme.

Sedangkan yang ketiga sangat kuat memperjuangkan keadilan bagi semuanya. Kelompok ini akan menaruh semua persoalan dalam tarik-menarik antara rakyat vs elit atau pejabat. Narasi-narasi anti oligarki, ketimpangan kaya dan miskin sangat kuat mempengaruhi kelompok ini.

Ini karena bagi kelompok ini masa depan Indonesia tergantung pada rakyatnya. Rakyat harus menjadi pelaku utama. Rakyat harus dijadikan orientasi dari seluruh kebijakan pembangunan. Korupsi adalah cerminan dari diabaikannnya hak-hak rakyat, dan dikhianatinya kepercayaan publik.  

Isu utama kelompok ini adalah pemerataan dan keadilan pembangunan. Bagi mereka, Indonesia tak punya masalah dengan kekayaan sumber daya, juga tak punya persoalan dengan kolektivitas sosial, ada banyak anak Indonesia yang berbakat,--- masalah utama kita adalah elit dan oligarki yang menguasai lebih banyak sumber daya, menguasai politik, dan menyusun peraturan yang menguntungkan mereka sediri.

Mereka punya concern yang kuat terhadap hak-hak masyarakat asli, perlindungan anak dan perempuan, membatasi negara ikut campur dalam urusan rakyat, sekuat mungkin memperjuangkan kebebasan berpendapat dan berkumpul, melindungi ruang hidup dan ruang kelola rakyat dari investasi yang merusak lingkungan, dan seterusnya.

Coba kita lihat demonstrasi DPR yang kemarin. Hampir semua demontrasi akan mulai dari posisi yang ketiga, kerakyatan, dan biasanya akan dibalas atau dilabeli dengan menggunakan posisi kedua (nasionalisme dan bela negara), dan pertama (kemajuan berpikir dan kedewasaan mengemukakan pendapat).

Ketiga hal itu seperti tiga kondensasi dari hasrat berIndonesia. Wajah Indonesia selalu  tergantung pada nama pengikat yang bisa menyatukan tiga keinginan kolektif itu. Atau kalau dibalik nama pengikat tiga kolektifitas itu akan menentukan seperti apa Indonesia berikutnya.

Di masa kolonialisme ketiganya diikat oleh nama “revolusi kemerdekaan”, lalu kita punya Indonesia merdeka setelah itu. Sampai akhirnya nama ini tak mampu lagi menjadi pusat identifikasinya, lalu diganti dengan nama “pembangunan”. Tapi hanya bertahan tiga puluh tahun saja dan lalu “reformasi” datang menggantikannya. Hingga kini “reformasi” masih belum akan kelihatan muncul calon penggatinya.

Itu bukan sekadar ganti kata atau semata ubah nama. Perubahan nama itu menandai cara yang spesifik dalam bagaimana kita berIndonesia. Dan setiap pergantian itu diwarnai oleh pertarungan politik yang berdarah-darah.  

Mungkin lalu kita berpikir, kalau begitu kita cari saja nama lainnya, boleh saja. Tapi pertanyaannya, sejauh mana nama itu juga bisa diterima oleh kolektifitas politik yang lainnya.

Jadi kalau ditanya Indonesia ini apa, Indonesia adalah tarik ulur tak berkesudahan antara modernisme, nasionalisme dan demokrasi. Ini bukan hanya pertarungan yang terjadi di wilayah makro dari politik kita, tapi juga bergulat dalam diri kita sendiri. Itulah kenapa kita ini kadang nasionalis, kadang demokratis, kadang modernis, dan kadang nggak jelas.

Suka tak suka, itulah kita, itulah Indonesia. Wallahu a’lam.

0 Komentar