Tulisan ini berangkat dari diskusi gabut dengan beberapa kawan di suatu siang yang hujan. Tidak ada kesengajaan awal untuk membahas topik tentang dunia perjurnalan sebetulnya. Cerita ini muncul dari salah satu peserta diskusi random yang sedang men-scroll-scroll media sosialnya dan menemukan berita tentang ketidakjujuran akademik di mana Indonesia menempati salah satu posisi paling juara.
Ia lalu melontarkan pertanyaan
yang menyebalkan, “kenapa bersamaan dengan dimarakkannya akreditasi jurnal
justru semakin menguak dunia intelektual kita yang sangat tidak sehat, padahal seharusnya
menjadikan kampus semakin gencar melakukan riset dan publikasi hingga pada
akhirnya kualitas produksi ilmu pengetahuan kita semakin tinggi?”
Sebetulnya kami agak malas menanggapi
pertanyaannya itu. Secara, itu pertanyaan serius dan kami sedang tidak ingin
menyetel mode serius saat itu. Sebagaimana umumnya orang nongkrong, kami hanya
ingin ngobrol sesuatu yang ringan-ringan saja dan bisa membuat banyak ketawa.
Lagi pula sebagai pengangguran, meskipun kami punya ijazah, tidak ada urusan
kami membicarakannya, tak mengurangi apapun dan tak menambah apapun bagi hidup
yang sudah nggak jelas ini.
Tapi daripada tidak ada topik
akhirnya kami larut juga dalam pembicaraan. Perlu dicatat tulisan ini tidak bermaksud
menyepelekan kerja para pejuang jurnal (baca: original) yang sudah mati-matian
mengurusnya siang malam. Kami tahu mengurus dan mengelola jurnal bukan sesuatu
yang mudah. Tenang saja, tulisan dari obrolan gabut ini tidak akan mengubah
apa-apa dari dunia yang mulanya urusan akademik dan ilmu pengetahuan lalu entah
kenapa sekarang sekarang ini jadi seperti jualan.
Perlu dicatat dulu bahwa menulis
jurnal tetaplah sesuatu yang penting dan harus didukung, tentu saja. Tapi
pembicaraan kita bukan di situ. Kita sedang mencoba meletakkannya dalam
pertanyaan, “bagaimana sesuatu yang kita ciptakan malah berbalik menguasai diri
kita?” Kalau ini kita kontekstualisasikan ke dunia perjurnalan, “kenapa
perjurnalan yang kita ciptakan itu sekarang menguasai kita dan membuat kita terseok-seok
memenuhi kemauannya? Kita semua, maksudnya masyarakat kampus, harus melakukan
berbagai upaya untuk mencapainya?”
Saking kuatnya ia menguasai sampai-sampai
kalau ada yang mempersoalkannya bisa dituduh anti ilmu pengetahuan dan kemajuan
pendidikan tinggi. Berat memang tapi kita menyukainya atau tidak itulah yang
terjadi. Siapapun kini, kalau mau diakui bobot keilmuannya, harus menulis artikel
jurnal terakreditasi internasional. Semakin banyak artikel jurnal yang
diterbitkan semakin diakui ia sebagai ahli di bidang ilmunya. Kalau kita balik,
sekarang ini jurnallah yang menentukan anda seorang ahli atau bukan.
Kita tidak sedang menaruh ini
dalam register moral yang mengurus baik buruk. Tapi kita sedang berusaha
menjelaskan kenapa dunia perjurnalan tersebut menjadi seperti itu sekarang. Ada
seorang sosiolog yang mencoba menjelaskan soal ini. Waktu itu dia tidak
membahas soal perjurnalan, tentu saja, karena di masa dia hidup cerita
perjurnalan ini belum ada.
Namanya Karl Marx, hal yang dia
perhatikan saat itu, “kenapa barang yang kita produksi sendiri berbalik
menguasai kita?” Sehingga kita akhirnya secara tak sadar sebetulnya berperilaku
menuruti keinginan barang tersebut, Mobil misalnya. Pada mulanya kitalah,
manusia ini, yang membuatnya. Tapi setelah kita buat, mobil ini seperti menarik
kita, manusia ini, ke dalam dunianya. Kita jadi harus memilikinya, membelinya,
merawatnya, menyediakan tempat parkirnya, membawanya kemana-mana,
membersihkannya kalau kotor, memperbaikinya kalau rusak, membayar pajaknya,
bahkan bisa adu jotos di jalanan gara-gara orang lain menyerempetnya, dan
seterusnya.
Kita bahkan merasa ada yang
kurang kalau benda yang kita ciptakan itu tidak lagi bersama kita. Juga bagi
orang-orang tertentu bisa merasa turun harga diri kalau tidak memilikinya. Ia
juga menjadi simbol status seseorang yang membuatnya dikategorikan dalam kelas sosial
tertentu. Singkat cerita barang yang kita ciptakan itu berbalik mendikte hidup
kita.
Marx ini penasaran sekali dan
bertanya kok bisa begitu ya, kenapa? Dan ternyata hal ini bukan terjadi pada
mobil saja, benda-benda lainnya juga sama, misalnya rumah, handphone,
perhiasan, gelar akademik, uang, partai politik, organisasi, pekerjaan dan dalam
perbincangan kita ini juga pada jurnal ilmiah terindeks scopus. Ternyata
benda-benda yang manusia ciptakan tersebut mengalami apa yang disebutnya dengan
fetisisme.
Terminologi itu maksudnya
menunjukkan bahwa barang atau benda apa saja, untuk bisa menjadi komoditi,
tidak terjadi secara langsung, tapi melalui dulu proses yang namanya fetisisme.
Barang apa saja, ketika dia sudah fetis, entah kenapa kita mengenali
barang itu dengan, yang pertama, harganya. Yang kedua, biasanya
kita akan membuat perbandingan fungsi antara barang itu dengan barang lainnya.
Tapi proses fetis ini
sebetulnya tidak terjadi sesederhana itu. Sebab untuk bisa mengenali sebuah
barang ada upaya mobilisasi pengetahuan juga. Misalnya untuk tahu berapa harga
satu gram emas atau satu kilo kopi kita bahkan perlu ilmu ekonomi. Juga untuk
tahu fungsi handphone tertentu perlu pendapat ahli teknologi digital.
Selanjutnya, semua proses
tersebut lalu seperti membuat komoditi jadi otonom dan independen. Proses
otonomisasi yang diperkuat dengan ilmu pengetahuan itu lalu membuat kita lupa
bahwa benda tersebut diproduksi oleh manusia, oleh kita sendiri. Inilah yang
menjelaskan kenapa kita tidak pernah bertanya siapa yang memproduksinya dan buruhnya
diberi upah berapa. Kalau kita bertanya soal ini bahkan dianggap konyol dan
ngawur.
Cerita fetisisme itu masih
panjang sebetulnya dan terkait dengan konsep-konsep lain seperti eksploitasi,
kerja abstrak, kerja konkrit dan lain sebagainya. Tapi kalau kita tarik ke
dunia perjurnalan kok ceritanya agak sama. Akreditasi jurnal yang dulunya
dibuat untuk meningkatkan pengelolaan jurnal ilmiah sekarang berubah menjadi
komoditi melalui proses fetisisasi. Obrolan soal jurnal ini sekarang didominasi
oleh berapa bayarnya, apa levelnya, apa fungsinya untuk kenaikan pangkat, untuk
syarat lulus, untuk akreditasi kampus.
Ketika ini terjadi, tujuan ilmu
dan kemajuan pengetahuan yang menjadi awal dari semua ini memang masih ada,
tapi perlahan-lahan ia luruh, digantikan dengan bagaimana strategi menembusnya,
tips and trick apa yang menjamin lolos dan tidaknya. Kalau
kita lanjutkan cerita ini, dunia jurnal, sedang menuju proses untuk menjadi
industri. Dan ketika industrialisasinya sudah berjalan ia kemudian menjadi
sesuatu yang otonom dan kita semua seperti dibawa untuk melihatnya sebagai
proses saintifikasi.
Saintifikasi ini diperkuat dengan
ilmu penulisan jurnal, ilmu pengelolaan jurnal, ilmu penulisan karya ilmiah,
ilmu sitasi dan pengutipan, juga ilmu membuat literature review,
yang mensyaratkan menyebut jurnal sebagai rujukan utama. Proses ini kemudian menjadikan
jurnal sebagai sesuatu yang objektif dan kita melihatnya punya nilai tinggi. Dari
yang awalnya kita ciptakan, berubah menjadi sesuatu yang menentukan diri kita,
menentukan orang lulus dan tidak lulus, naik pangkat dan tidak, dapat kerja atau
tidak, produktif dan tidak produktif.
Kita lalu dibuat tidak lagi
membicarakan misalnya dibayar berapa dosen, peneliti dan mahasiswa yang
menulisnya, berapa banyak uang dan tingkat stres yang harus dia tanggung saat memproduksinya,
dan sebagainya. Pokoknya semua itu dianggap lumrah saja untuk mencapai sesuatu
yang mulia dan bernilai ilmiah. Lalu dengan segala daya dan upaya semua
dikerahkan untuk mencapainya, sebab yang terpenting bisa tembus dan publikasi.
Kembali ke soal ketidakjujuran
akademik di atas, mungkin memang penting mengungkapnya, tapi secara tak sadar
itu membuat tekanan eksploitasinya meningkat, sudah disuruh cepat-cepat punya
jurnal ditimpa pula dengan soal moralitas. Sebetulnya kalau kita menggunakan
cerita fetisisme, yang disebut ketidakjujuran itu mungkin korban dari
struktur yang sedang mengalami proses industrialisasi dan semakin menindas.
Hujan sudah reda, kopi pun sudah
tandas, kami bubar dan kembali ke ruang eksploitasi masing-masing. [ATI]
0 Komentar