Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

Fetisisme Jurnal: Industrialiasi Ilmu Pengetahuan?

 

photo by canva

Tulisan ini berangkat dari diskusi gabut dengan beberapa kawan di suatu siang yang hujan. Tidak ada kesengajaan awal untuk membahas topik tentang dunia perjurnalan sebetulnya. Cerita ini muncul dari salah satu peserta diskusi random yang sedang men-scroll-scroll media sosialnya dan menemukan berita tentang ketidakjujuran akademik di mana Indonesia menempati salah satu posisi paling juara.  

Ia lalu melontarkan pertanyaan yang menyebalkan, “kenapa bersamaan dengan dimarakkannya akreditasi jurnal justru semakin menguak dunia intelektual kita yang sangat tidak sehat, padahal seharusnya menjadikan kampus semakin gencar melakukan riset dan publikasi hingga pada akhirnya kualitas produksi ilmu pengetahuan kita semakin tinggi?”

Sebetulnya kami agak malas menanggapi pertanyaannya itu. Secara, itu pertanyaan serius dan kami sedang tidak ingin menyetel mode serius saat itu. Sebagaimana umumnya orang nongkrong, kami hanya ingin ngobrol sesuatu yang ringan-ringan saja dan bisa membuat banyak ketawa. Lagi pula sebagai pengangguran, meskipun kami punya ijazah, tidak ada urusan kami membicarakannya, tak mengurangi apapun dan tak menambah apapun bagi hidup yang sudah nggak jelas ini.

Tapi daripada tidak ada topik akhirnya kami larut juga dalam pembicaraan. Perlu dicatat tulisan ini tidak bermaksud menyepelekan kerja para pejuang jurnal (baca: original) yang sudah mati-matian mengurusnya siang malam. Kami tahu mengurus dan mengelola jurnal bukan sesuatu yang mudah. Tenang saja, tulisan dari obrolan gabut ini tidak akan mengubah apa-apa dari dunia yang mulanya urusan akademik dan ilmu pengetahuan lalu entah kenapa sekarang sekarang ini jadi seperti jualan.

Perlu dicatat dulu bahwa menulis jurnal tetaplah sesuatu yang penting dan harus didukung, tentu saja. Tapi pembicaraan kita bukan di situ. Kita sedang mencoba meletakkannya dalam pertanyaan, “bagaimana sesuatu yang kita ciptakan malah berbalik menguasai diri kita?” Kalau ini kita kontekstualisasikan ke dunia perjurnalan, “kenapa perjurnalan yang kita ciptakan itu sekarang menguasai kita dan membuat kita terseok-seok memenuhi kemauannya? Kita semua, maksudnya masyarakat kampus, harus melakukan berbagai upaya untuk mencapainya?”

Saking kuatnya ia menguasai sampai-sampai kalau ada yang mempersoalkannya bisa dituduh anti ilmu pengetahuan dan kemajuan pendidikan tinggi. Berat memang tapi kita menyukainya atau tidak itulah yang terjadi. Siapapun kini, kalau mau diakui bobot keilmuannya, harus menulis artikel jurnal terakreditasi internasional. Semakin banyak artikel jurnal yang diterbitkan semakin diakui ia sebagai ahli di bidang ilmunya. Kalau kita balik, sekarang ini jurnallah yang menentukan anda seorang ahli atau bukan.

Kita tidak sedang menaruh ini dalam register moral yang mengurus baik buruk. Tapi kita sedang berusaha menjelaskan kenapa dunia perjurnalan tersebut menjadi seperti itu sekarang. Ada seorang sosiolog yang mencoba menjelaskan soal ini. Waktu itu dia tidak membahas soal perjurnalan, tentu saja, karena di masa dia hidup cerita perjurnalan ini belum ada.

Namanya Karl Marx, hal yang dia perhatikan saat itu, “kenapa barang yang kita produksi sendiri berbalik menguasai kita?” Sehingga kita akhirnya secara tak sadar sebetulnya berperilaku menuruti keinginan barang tersebut, Mobil misalnya. Pada mulanya kitalah, manusia ini, yang membuatnya. Tapi setelah kita buat, mobil ini seperti menarik kita, manusia ini, ke dalam dunianya. Kita jadi harus memilikinya, membelinya, merawatnya, menyediakan tempat parkirnya, membawanya kemana-mana, membersihkannya kalau kotor, memperbaikinya kalau rusak, membayar pajaknya, bahkan bisa adu jotos di jalanan gara-gara orang lain menyerempetnya, dan seterusnya.

Kita bahkan merasa ada yang kurang kalau benda yang kita ciptakan itu tidak lagi bersama kita. Juga bagi orang-orang tertentu bisa merasa turun harga diri kalau tidak memilikinya. Ia juga menjadi simbol status seseorang yang membuatnya dikategorikan dalam kelas sosial tertentu. Singkat cerita barang yang kita ciptakan itu berbalik mendikte hidup kita.

Marx ini penasaran sekali dan bertanya kok bisa begitu ya, kenapa? Dan ternyata hal ini bukan terjadi pada mobil saja, benda-benda lainnya juga sama, misalnya rumah, handphone, perhiasan, gelar akademik, uang, partai politik, organisasi, pekerjaan dan dalam perbincangan kita ini juga pada jurnal ilmiah terindeks scopus. Ternyata benda-benda yang manusia ciptakan tersebut mengalami apa yang disebutnya dengan fetisisme.

Terminologi itu maksudnya menunjukkan bahwa barang atau benda apa saja, untuk bisa menjadi komoditi, tidak terjadi secara langsung, tapi melalui dulu proses yang namanya fetisisme. Barang apa saja, ketika dia sudah fetis, entah kenapa kita mengenali barang itu dengan, yang pertama, harganya. Yang kedua, biasanya kita akan membuat perbandingan fungsi antara barang itu dengan barang lainnya.

Tapi proses fetis ini sebetulnya tidak terjadi sesederhana itu. Sebab untuk bisa mengenali sebuah barang ada upaya mobilisasi pengetahuan juga. Misalnya untuk tahu berapa harga satu gram emas atau satu kilo kopi kita bahkan perlu ilmu ekonomi. Juga untuk tahu fungsi handphone tertentu perlu pendapat ahli teknologi digital.

Selanjutnya, semua proses tersebut lalu seperti membuat komoditi jadi otonom dan independen. Proses otonomisasi yang diperkuat dengan ilmu pengetahuan itu lalu membuat kita lupa bahwa benda tersebut diproduksi oleh manusia, oleh kita sendiri. Inilah yang menjelaskan kenapa kita tidak pernah bertanya siapa yang memproduksinya dan buruhnya diberi upah berapa. Kalau kita bertanya soal ini bahkan dianggap konyol dan ngawur.

Cerita fetisisme itu masih panjang sebetulnya dan terkait dengan konsep-konsep lain seperti eksploitasi, kerja abstrak, kerja konkrit dan lain sebagainya. Tapi kalau kita tarik ke dunia perjurnalan kok ceritanya agak sama. Akreditasi jurnal yang dulunya dibuat untuk meningkatkan pengelolaan jurnal ilmiah sekarang berubah menjadi komoditi melalui proses fetisisasi. Obrolan soal jurnal ini sekarang didominasi oleh berapa bayarnya, apa levelnya, apa fungsinya untuk kenaikan pangkat, untuk syarat lulus, untuk akreditasi kampus.

Ketika ini terjadi, tujuan ilmu dan kemajuan pengetahuan yang menjadi awal dari semua ini memang masih ada, tapi perlahan-lahan ia luruh, digantikan dengan bagaimana strategi menembusnya, tips and trick apa yang menjamin lolos dan tidaknya. Kalau kita lanjutkan cerita ini, dunia jurnal, sedang menuju proses untuk menjadi industri. Dan ketika industrialisasinya sudah berjalan ia kemudian menjadi sesuatu yang otonom dan kita semua seperti dibawa untuk melihatnya sebagai proses saintifikasi.

Saintifikasi ini diperkuat dengan ilmu penulisan jurnal, ilmu pengelolaan jurnal, ilmu penulisan karya ilmiah, ilmu sitasi dan pengutipan, juga ilmu membuat literature review, yang mensyaratkan menyebut jurnal sebagai rujukan utama. Proses ini kemudian menjadikan jurnal sebagai sesuatu yang objektif dan kita melihatnya punya nilai tinggi. Dari yang awalnya kita ciptakan, berubah menjadi sesuatu yang menentukan diri kita, menentukan orang lulus dan tidak lulus, naik pangkat dan tidak, dapat kerja atau tidak, produktif dan tidak produktif.

Kita lalu dibuat tidak lagi membicarakan misalnya dibayar berapa dosen, peneliti dan mahasiswa yang menulisnya, berapa banyak uang dan tingkat stres yang harus dia tanggung saat memproduksinya, dan sebagainya. Pokoknya semua itu dianggap lumrah saja untuk mencapai sesuatu yang mulia dan bernilai ilmiah. Lalu dengan segala daya dan upaya semua dikerahkan untuk mencapainya, sebab yang terpenting bisa tembus dan publikasi.

Kembali ke soal ketidakjujuran akademik di atas, mungkin memang penting mengungkapnya, tapi secara tak sadar itu membuat tekanan eksploitasinya meningkat, sudah disuruh cepat-cepat punya jurnal ditimpa pula dengan soal moralitas. Sebetulnya kalau kita menggunakan cerita fetisisme, yang disebut ketidakjujuran itu mungkin korban dari struktur yang sedang mengalami proses industrialisasi dan semakin menindas.

Hujan sudah reda, kopi pun sudah tandas, kami bubar dan kembali ke ruang eksploitasi masing-masing. [ATI]

 


0 Komentar