Amin Tohari
Belum lama ini, sebuah stasiun
televisi nasional diprotes sejumlah kelompok yang tidak terima dengan
tayangannya. Tayangan itu dinilai melecehkan tokoh kharismatik, seorang guru
agama yang sangat dihormati di dalam komunitas tersebut.
Sebagai bentuk protes kolektif,
dinding media sosial facebook, instagram, twitter dan
lain-lain dipenuhi tagar “boikot”. Ungkapan kemarahan dan kekesalan menyebar
luas. Sebagian besar ungkapan itu mengatakan, “kalian telah salah memahami
kami”. Setelah diprotes, beberapa saat kemudian direktur produksi televisi tersebut
meminta maaf.
Dalam tayangan tersebut, stasiun
televisi nasional itu menampilkan beberapa scene yang dianggap mengandung
framing tendensius untuk merendahkan. Dalam salah satu scene diperlihatkan seorang guru
agama yang dituakan menerima selipatan kertas putih dari para tamunya lalu
dimasukkan ke dalam kantong bajunya.
Pada scene yang lain kamera
menyorot gestur barisan murid agama yang antri salaman. Mereka meraih tangan
gurunya, mengecupnya, sambil sedikit menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan.
Di scene yang lain lagi
diperlihatkan para murid berjalan sambil jongkok dan membungkuk di hadapan
gurunya.
Frame Kekuasaan
Kita tidak akan membahas soal ini
terlalu jauh. Sudah ada banyak analisis, tulisan dan status media sosial, yang
mengulasnya. Di sini kita hanya akan menggunakannnya atau bagaimana kalau
fenomena tersebut kita lihat sebagai fenomena kekuasaan.
Dengan meletakkannya sebagai fenomena
kekuasaan, mungkin kita akan bisa memahaminya lebih baik kenapa komunitas
tersebut marah dan melayangkan protes. Sehingga kita tidak terjebak melakukan
justifikasi yang tidak perlu, dengan misalnya menganggap ndeso atau
kolot.
Entah disadari atau tidak cara
bagaimana stasiun televisi tersebut memproduksi tayangannya sebetulnya didasari
oleh frame tentang kekuasaan yang spesifik. Bukan hanya stasiun televisi
itu saja yang melihat kekuasaan dengan cara ini, tapi ada banyak orang juga
yang cara mempersepsinya kurang lebih sama.
Kalau kita perhatikan lagi, scene-scene
yang ditampilkan dalam tayangan tersebut seperti hendak mengatakan bahwa
komunitas pesantren penuh dengan praktik penguasaan, sehingga murid-murid akan
melakukan apapun yang diminta oleh gurunya meskipun ia sebetulnya tidak
menginginkannya. Atau, sebetulnya mereka tidak tahu kenapa harus juga
melakukannya. Suka atau tidak suka semuanya harus patuh kepada otoritas yang
lebih tinggi, guru.
Kekuasaan yang Dahlian
Dalam studi tentang kekuasaan,
cara melihat yang seperti ini diciptakan oleh kelompok peneliti beraliran
liberal, yang sangat terobsesi dengan freedom. Bagi mereka kekuasaan
adalah apa saja yang menghambat dan menindas freedom.
Salah satu yang paling terkenal
dari eksponen ini adalah Robert Dahl, seorang dosen di departemen ilmu politik
Universitas Yale. Dalam sebuah tulisan yang terbit tahun 1957, berjudul The
Concept of Power, Dahl membuat rumusan kekuasaan sebagai, “A has power
over B to the extent that he can get B to do something that B would not
otherwise do”. Jadi, menurutnya kekuasaan itu, “A punya kekuasan terhadap
B, yang membuat B melakukan sesuatu yang diminta oleh A, meskipun B tidak
menginginkannya”. Begitulah kira-kira.
Kalau kita kembali ke cerita di
atas, ketika scene-scene yang dipilih untuk menggambarkan
komunitas pendidikan agama itu ditangkap oleh yang cara menalar kekuasaannya ala
Dahlian ini, mereka akan dengan cepat melihatnya sebagai, yang pertama, dalam
komunitas itu guru agama lebih berkuasa atas muridnya.
Kedua, murid harus
melakukan apa yang diminta oleh guru. Ketiga, murid tidak boleh
membantah guru. Keempat, dalam komunitas itu yang ada hanya paksaan. Kelima,
relasi ini membuat satu pihak terus berkuasa, dan pihak lain berada dalam
penguasaan. Keenam, orang akan dengan mudah lagi menggunakan kata feodal
untuk menamai semua itu.
Dalam studi politik sendiri
rumusan kekuasaan Pak Dahl itu banyak mendapat kritik sebetulnya. Pertama,
definisi itu seperti mengatakan bahwa kekuasaan itu buruk, dan kondisi dikuasai
juga buruk. Yang kedua, kekuasaan itu selalu memaksa, dan memaksa juga
buruk. Yang ketiga, kekuasaan menciptakan kepatuhan, dan patuh juga
buruk. Kenapa demikian karena kepatuhan membuat orang tidak bisa rasional. Sulit
menjadi rasional kalau orang berada di bawah paksaan.
Kalau cara melihat kekuasaan
seperti ini yang digunakan, sudah pasti komunitas pendidikan agama tersebut—juga
kelompok masyarakat lain yang punya kebiasaan serupa—jadi buruk, tidak
rasional, tidak egaliter, tidak demokratis dan seterusnya. Dan akan dengan
mudah orang melihatnya tidak modern dan susah diajak maju.
Di tengah masyarakat yang
sebagian besar cara melihat kekuasaan masih dominan Dahlian, tentu saja hal ini
bisa berbahaya. Tidak sedikit orang masih melihat pengajaran agama pesantren
kental dengan praktik perbudakan.
Cara Lain Memahami
Pertanyaannya, adakah cara lain
melihat kekuasaan di luar Dahlian itu? Sudah tentu ada banyak. Meskipun di level
permukaan yang muncul adalah bahwa semua yang dilakukan murid terhadap guru
dalam komunitas tersebut terlihat seperti berlebihan. Tapi hal itu bagi
komunitas ini, merupakan pengejawantahan dari prinsip “adab lebih utama dari
pada ilmu”.
Tapi, dalam konteks debat
kekuasaan ini, apa sebetulnya yang dimaksudkan? Protes yang disampaikan mau
mengatakan “bisakah anda melihat kami tidak dengan cara Dahlian itu”. Bagaimana
kalau anda mulai melihat kekuasaan lebih positif, tidak buruk, dan produktif
bukan menghambat, kekuasaan sebagai sesuatu yang enabling. Cara ini
dekat dengan tradisi post-struktural
khususnya Foucault.
Dalam tradisi ini kekuasaan itu
membentuk subjek, identitas, dan menciptakan masyarakat. Dan kalau meminjam
Saussure-Derrida, relasi guru-murid bukan relasi penundukkan tetapi relasi
konstitutif. Keduanya saling membentuk dan dari sini identitasnya terbentuk.
Identitas guru tidak ada kalau
tidak ada murid, begitu juga sebaliknya, identitas guru tidak muncul kalau
tidak ada murid. Kalau melihatnya dengan cara ini, siapa yang lebih berkuasa
atas siapa, tidak ada, karena saling membentuk dan egaliter meskipun
kelihatannya munduk-munduk.
Memang perlu untuk diakui ada
wilayah di mana cara beroperasi kekuasaannya cenderung Dahlian. Sehingga di wilayah ini kalau
seseorang menggunakan cara lain bisa dianggap aneh. Tapi kalau semua dilihat
dengan cara Dahlian juga bisa problematis. Sementara di wilayah yang cara
beroperasi kekuasaannya tidak bisa Dahlian, berperilaku dengan cara lain bisa dianggap
su’ul adab juga (tidak beretika).
Kalau pernah mendengar syair lagu
“man ana, man ana, laulakum”, kata “ana” dan “kum” di situ maknanya
jangan dikunci ke relasi guru-murid atau santri-kyai saja, perlu diperluas ke
wilayah lain, bisa suami dan istri, atau laki-laki dan perempuan, orang tua dan
anak, bisa juga antara pemimpin dan pengikutnya, dan seterusnya. Cuma sayangnya
kadang tanpa sadar ia dilihat dengan cara Dahlian juga, sehingga relasinya kelihatan
hirarkis daripada egaliter.
Bagaimanapun, siapa saja tidak
boleh melarang orang berpikir kekuasaan dengan cara Dahlian ini, juga tak
mungkin menghilangkan orang yang memahaminya seperti itu. Namun, tetap penting
menunjukkan kepada pihak luar untuk tidak hanya dengan cara itu saja
memahaminya meskipun, bukan tidak boleh, tapi ini terkesan membela diri. Tampaknya
literasi tentang kekuasaan semakin penting untuk terus dilakukan.
Kalau kita setuju bahwa program expose
uncensored yang diprotes itu dilandasi oleh cara spesifik dalam melihat
kekuasaan, mungkin saja stasiun televisi itu telah salah, tapi bukankan hal itu
bisa terjadi karena masyarakat kita memang lumayan liberal dan Dahlian kalau
melihat kekuasaan, dan stasiun televisi itu sedang berusaha melayaninya.
Lain kali mereka mungkin perlu disuruh nimba pakai senggot biar tahu rasanya udah mandi tapi keringetan lagi. Apa itu senggot silahkan cari tahu dari santri Lirboyo kaifa hal.
Referensi
Dahl, R. A.
(1957). "The Concept of Power." Behavioral Science,
2(3), 201–215.
Agussalim, D.
(1998). "Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaan." Jurnal Sosial Politik, 1(3), 11–29.
Lukes, S.
(1974). Power: A Radical View. London: Macmillan.
Hindess, B.
(2012). "Foucaultian Analysis of Power, Government, Politics." In E.
Amenta, K. Nash, & A. Scott (eds.), The Wiley-Blackwell Companion to Political Sociology (pp. 36-46). Oxford:
Blackwell Publishing Ltd.
Newman, S.
(2005). Power and Politics in
Poststructuralist Thought: New Theories of the Political. London: Routledge.
0 Komentar