Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

Man Ana Laulakum: Trans7, Senggot dan Robert Dahl



photo by canva 

sekolah riset satukata,-

 

Amin Tohari 

 

Belum lama ini, sebuah stasiun televisi nasional diprotes sejumlah kelompok yang tidak terima dengan tayangannya. Tayangan itu dinilai melecehkan tokoh kharismatik, seorang guru agama yang sangat dihormati di dalam komunitas tersebut.

Sebagai bentuk protes kolektif, dinding media sosial facebook, instagram, twitter dan lain-lain dipenuhi tagar “boikot”. Ungkapan kemarahan dan kekesalan menyebar luas. Sebagian besar ungkapan itu mengatakan, “kalian telah salah memahami kami”. Setelah diprotes, beberapa saat kemudian direktur produksi televisi tersebut meminta maaf.  

Dalam tayangan tersebut, stasiun televisi nasional itu menampilkan beberapa scene yang dianggap mengandung framing tendensius untuk merendahkan. Dalam salah satu scene diperlihatkan seorang guru agama yang dituakan menerima selipatan kertas putih dari para tamunya lalu dimasukkan ke dalam kantong bajunya.

Pada scene yang lain kamera menyorot gestur barisan murid agama yang antri salaman. Mereka meraih tangan gurunya, mengecupnya, sambil sedikit menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan. Di scene yang lain lagi diperlihatkan para murid berjalan sambil jongkok dan membungkuk di hadapan gurunya.

Frame Kekuasaan

Kita tidak akan membahas soal ini terlalu jauh. Sudah ada banyak analisis, tulisan dan status media sosial, yang mengulasnya. Di sini kita hanya akan menggunakannnya atau bagaimana kalau fenomena tersebut kita lihat sebagai fenomena kekuasaan.

Dengan meletakkannya sebagai fenomena kekuasaan, mungkin kita akan bisa memahaminya lebih baik kenapa komunitas tersebut marah dan melayangkan protes. Sehingga kita tidak terjebak melakukan justifikasi yang tidak perlu, dengan misalnya menganggap ndeso atau kolot.

Entah disadari atau tidak cara bagaimana stasiun televisi tersebut memproduksi tayangannya sebetulnya didasari oleh frame tentang kekuasaan yang spesifik. Bukan hanya stasiun televisi itu saja yang melihat kekuasaan dengan cara ini, tapi ada banyak orang juga yang cara mempersepsinya kurang lebih sama.

Kalau kita perhatikan lagi, scene-scene yang ditampilkan dalam tayangan tersebut seperti hendak mengatakan bahwa komunitas pesantren penuh dengan praktik penguasaan, sehingga murid-murid akan melakukan apapun yang diminta oleh gurunya meskipun ia sebetulnya tidak menginginkannya. Atau, sebetulnya mereka tidak tahu kenapa harus juga melakukannya. Suka atau tidak suka semuanya harus patuh kepada otoritas yang lebih tinggi, guru.

Kekuasaan yang Dahlian

Dalam studi tentang kekuasaan, cara melihat yang seperti ini diciptakan oleh kelompok peneliti beraliran liberal, yang sangat terobsesi dengan freedom. Bagi mereka kekuasaan adalah apa saja yang menghambat dan menindas freedom.

Salah satu yang paling terkenal dari eksponen ini adalah Robert Dahl, seorang dosen di departemen ilmu politik Universitas Yale. Dalam sebuah tulisan yang terbit tahun 1957, berjudul The Concept of Power, Dahl membuat rumusan kekuasaan sebagai, “A has power over B to the extent that he can get B to do something that B would not otherwise do”. Jadi, menurutnya kekuasaan itu, “A punya kekuasan terhadap B, yang membuat B melakukan sesuatu yang diminta oleh A, meskipun B tidak menginginkannya”. Begitulah kira-kira.

Kalau kita kembali ke cerita di atas, ketika scene-scene yang dipilih untuk menggambarkan komunitas pendidikan agama itu ditangkap oleh yang cara menalar kekuasaannya ala Dahlian ini, mereka akan dengan cepat melihatnya sebagai, yang pertama, dalam komunitas itu guru agama lebih berkuasa atas muridnya.

Kedua, murid harus melakukan apa yang diminta oleh guru. Ketiga, murid tidak boleh membantah guru. Keempat, dalam komunitas itu yang ada hanya paksaan. Kelima, relasi ini membuat satu pihak terus berkuasa, dan pihak lain berada dalam penguasaan. Keenam, orang akan dengan mudah lagi menggunakan kata feodal untuk menamai semua itu.

Dalam studi politik sendiri rumusan kekuasaan Pak Dahl itu banyak mendapat kritik sebetulnya. Pertama, definisi itu seperti mengatakan bahwa kekuasaan itu buruk, dan kondisi dikuasai juga buruk. Yang kedua, kekuasaan itu selalu memaksa, dan memaksa juga buruk. Yang ketiga, kekuasaan menciptakan kepatuhan, dan patuh juga buruk. Kenapa demikian karena kepatuhan membuat orang tidak bisa rasional. Sulit menjadi rasional kalau orang berada di bawah paksaan.

Kalau cara melihat kekuasaan seperti ini yang digunakan, sudah pasti komunitas pendidikan agama tersebut—juga kelompok masyarakat lain yang punya kebiasaan serupa—jadi buruk, tidak rasional, tidak egaliter, tidak demokratis dan seterusnya. Dan akan dengan mudah orang melihatnya tidak modern dan susah diajak maju.

Di tengah masyarakat yang sebagian besar cara melihat kekuasaan masih dominan Dahlian, tentu saja hal ini bisa berbahaya. Tidak sedikit orang masih melihat pengajaran agama pesantren kental dengan praktik perbudakan.

Cara Lain Memahami

Pertanyaannya, adakah cara lain melihat kekuasaan di luar Dahlian itu? Sudah tentu ada banyak. Meskipun di level permukaan yang muncul adalah bahwa semua yang dilakukan murid terhadap guru dalam komunitas tersebut terlihat seperti berlebihan. Tapi hal itu bagi komunitas ini, merupakan pengejawantahan dari prinsip “adab lebih utama dari pada ilmu”.

Tapi, dalam konteks debat kekuasaan ini, apa sebetulnya yang dimaksudkan? Protes yang disampaikan mau mengatakan “bisakah anda melihat kami tidak dengan cara Dahlian itu”. Bagaimana kalau anda mulai melihat kekuasaan lebih positif, tidak buruk, dan produktif bukan menghambat, kekuasaan sebagai sesuatu yang enabling. Cara ini dekat  dengan tradisi post-struktural khususnya Foucault.

Dalam tradisi ini kekuasaan itu membentuk subjek, identitas, dan menciptakan masyarakat. Dan kalau meminjam Saussure-Derrida, relasi guru-murid bukan relasi penundukkan tetapi relasi konstitutif. Keduanya saling membentuk dan dari sini identitasnya terbentuk.

Identitas guru tidak ada kalau tidak ada murid, begitu juga sebaliknya, identitas guru tidak muncul kalau tidak ada murid. Kalau melihatnya dengan cara ini, siapa yang lebih berkuasa atas siapa, tidak ada, karena saling membentuk dan egaliter meskipun kelihatannya munduk-munduk.

Memang perlu untuk diakui ada wilayah di mana cara beroperasi kekuasaannya cenderung  Dahlian. Sehingga di wilayah ini kalau seseorang menggunakan cara lain bisa dianggap aneh. Tapi kalau semua dilihat dengan cara Dahlian juga bisa problematis. Sementara di wilayah yang cara beroperasi kekuasaannya tidak bisa Dahlian, berperilaku dengan cara lain bisa dianggap su’ul adab juga (tidak beretika).

Kalau pernah mendengar syair lagu “man ana, man ana, laulakum”, kata “ana” dan “kum” di situ maknanya jangan dikunci ke relasi guru-murid atau santri-kyai saja, perlu diperluas ke wilayah lain, bisa suami dan istri, atau laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak, bisa juga antara pemimpin dan pengikutnya, dan seterusnya. Cuma sayangnya kadang tanpa sadar ia dilihat dengan cara Dahlian juga, sehingga relasinya kelihatan hirarkis daripada egaliter.

Bagaimanapun, siapa saja tidak boleh melarang orang berpikir kekuasaan dengan cara Dahlian ini, juga tak mungkin menghilangkan orang yang memahaminya seperti itu. Namun, tetap penting menunjukkan kepada pihak luar untuk tidak hanya dengan cara itu saja memahaminya meskipun, bukan tidak boleh, tapi ini terkesan membela diri. Tampaknya literasi tentang kekuasaan semakin penting untuk terus dilakukan.

Kalau kita setuju bahwa program expose uncensored yang diprotes itu dilandasi oleh cara spesifik dalam melihat kekuasaan, mungkin saja stasiun televisi itu telah salah, tapi bukankan hal itu bisa terjadi karena masyarakat kita memang lumayan liberal dan Dahlian kalau melihat kekuasaan, dan stasiun televisi itu sedang berusaha melayaninya.

Lain kali mereka mungkin perlu disuruh nimba pakai senggot biar tahu rasanya udah mandi tapi keringetan lagi. Apa itu senggot silahkan cari tahu dari santri Lirboyo kaifa hal.

 

Referensi

Dahl, R. A. (1957). "The Concept of Power." Behavioral Science, 2(3), 201–215.

Agussalim, D. (1998). "Menelusuri Perdebatan Mengenai Konsep Kekuasaan." Jurnal Sosial Politik, 1(3), 11–29.

Lukes, S. (1974). Power: A Radical View. London: Macmillan.

Hindess, B. (2012). "Foucaultian Analysis of Power, Government, Politics." In E. Amenta, K. Nash, & A. Scott (eds.), The Wiley-Blackwell Companion to Political Sociology (pp. 36-46). Oxford: Blackwell Publishing Ltd.

Newman, S. (2005). Power and Politics in Poststructuralist Thought: New Theories of the Political. London: Routledge.

 

0 Komentar