Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

Dekolonisasi: Catatan Awal Pengembangan Metodologi


Ilustrasi by Canva



Amin Tohari 

Meskipun sudah cukup lama dibicarakan, dekolonisasi—sebagai ide, konsep dan pemikiran, sekarang ini mulai mendapatkan perhatian kembali. Mulai banyak diskusi, seminar, penelitian dan tulisan yang mengangkat soal ini. Patut untuk turut bergembira dengan ini karena kekuatannya mendorong dan memantik perbincangan di berbagai platform media, luring maupun daring.

Kalau kita perhatikan dalam dekolonisasi itu sendiri kuat terasa adanya upaya untuk, yang pertama, melakukan transformasi. Ini muncul dari kegelisahan terhadap situasi terkungkung dalam nalar sekuler yang membuat praktik hidup masyarakat bekas jajahan, seperti Indonesia, tidak pernah berhasil keluar dari cara melihat yang memisahkan dengan tegas antara di satu sisi agama atau kepercayaan, dengan di sisi lain politik. Situasi ini harus diakhiri dengan semacam upaya desekularisasi.

Kenapa demikian karena dosa besar kolonialisme, jika boleh dibilang begitu, adalah sekularisasi. Pemisahan ini sendiri juga dilihat sebagai cara mengkolonisasi sehingga penjajahan bisa berlangsung lewat upaya melepaskan masyarakat dari kepercayaannya sendiri dan menggantinya dengan kepercayaan lain yang bukan merupakan kepercayaan aslinya.

Meskipun tidak selalu dengan tegas diakui tapi ini sebetulnya merupakan perdebatan lama yang memperhadapkan agama dan sains. Cara ini digunakan untuk mempromosikan upaya mengintegrasikan, mengkoneksikan atau mendialogkan agama dan sains. Sehingga hubungan keduanya jadi kritis bukan subjugasi (subjugation).

Semangat kedua dalam dekolonisasi adalah anti dominasi. Eurosentrisme telah menjadi standar kebenaran global yang membuat siapapun tunduk padanya. Apa yang dengan sangat mendasar dikritik dari eurosentrisme adalah kemampuannya menciptakan dunia menurut konstruksinya. Dalam sejarah dan historiografi misalnya, ilmu eurosentris melumasi kolonialisme dengan membangun dan menyediakan perspektif.

Wilayah jajahan ditampilkan dalam cara pandang penjajah. Representasi—dalam pengertian Stuart Hall, ini kemudian hidup sendiri dan menjadi dunia yang memungkinkan siapapun memahami jajahan dengan sudut pandang penjajah. Bahkan sampai membuat orang tak bisa memahami kalau tidak melalui representasi itu.

Ilmu kartografi, misalnya, yang pada mulanya berkembang dalam kebutuhan penjelajahan wilayah-wilayah baru dan jalur ekspedisi. Namun, efek tak terduganya justru menciptakan nama bagi wilayah-wilayah baru tersebut, Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Tengah, Asia Pasifik dan seterusnya. Pada perkembangan berikutnya justru efek ini yang jauh lebih menundukkan daripada tujuan awalnya.  

Yang ketiga, ada semangat dekonstruksi. Efek yang tak kalah menindas dari representasi masyarakat terjajah dalam ilmu yang sangat Eropa adalah seolah-olah identitas wilayah terjajah hanya bisa muncul kalau dibedakan dengan penjajah.

Pendikotomian ini seperti berfungsi untuk mengunci relasi kuasa yang tidak setara antara penjajah dan terjajah dan hubungan keduanya diadaikan bersifat tetap. Dalam perkembangan ilmu lalu ada banyak sistem pembedaan yang muncul misalnya barat-timur, global north-global south, development-under development, dan sebagainya.

Jika relasi ini tidak diubah, selamanya wilayah bekas jajahan akan dipandang lemah, tidak maju, terbelakang, dan paling jauh disebut eksotis. Dekonstruksi adalah upaya membebaskan identitas masyarakat terjajah dari skema pembedaan yang bias kolonial.  

Yang keempat ada semangat counter hegemoni. Ada kesan kuat dekolonisasi mengasumsikan masyarakat jajahan dikuasai lewat cara halus yang menyusup dalam ilmu pengetahuan. Dan yang dimaksud ilmu pengetahuan ini terkemas dalam bahasa.

Sekali kita menggunakan bahasa ilmu pengetahuan, pada saat itu juga proses hegemoninya sudah berlangsung karena bahasa membawa serta cara pandang pihak yang menciptakannya.

Untuk bisa keluar dari situ diperlukan counter hegemoni dengan mengadvokasi bahasa-bahasa lokal dalam proses berilmu pengetahuan. Melalui cara ini perspektif masyarakat terjajah bisa lebih kuat terangkat ke permukaan.

Yang kelima semangat sosiologi pengetahuan. Tanpa disadari gagasan dekolonisasi berdiri di atas pijakan asumsi bahwa pengetahuan selalu merefleksikan kondisi sosial masyarakat.

Dan yang disebut “sosial” di sini dekat dengan konsep mode of production. Inilah yang membuat masing-masing masyarakat memiliki bangunan pengetahuan yang berbeda.

Oleh karena cara hidup, cara produksi, cara survive Eropa atau Barat berbeda dengan Asia atau Timur, pengetahuannya pun berbeda, --memaksa semua berpengetahuan seperti Eropa  bukan hanya tidak tepat tapi itu juga cara menguasai.

Jika kemudian setuju dengan semangat di balik gagasan dekolonisasi seperti di atas, dan jika juga dekolonisasi merupakan gerakan keilmuan yang membebaskan, implikasi epistemologisnya sangat serius.

Yang pertama, dekolonisasi harus siap untuk mengambil presuposisi bahwa namalah yang membentuk objek dan bukan sebaliknya. Ini berarti cara melihat nama selama ini, sebagai representasi objek, perlu ditinjau kembali.

Implikasi berikutnya, yang kedua, dekolonisasi harus mulai meyakini bahwa yang menciptakkan dunia atau realitas adalah bahasa. Bahasa di sini bukan maksudnya Inggris, Jawa, Arab, Indonesia dan seterusnya, tapi lebih pada langue atau sistem pembedaan, yang darinya makna muncul.

Ketiga, kalau setuju dengan itu berarti siap untuk memperlakukan proses berpengetahuan atau berilmu bukan sebagai discovery tapi dekonstruksi. Maksudnya mulai melihat relasi Barat-Timur dan sejenisnya sebagai saling membentuk, tak dapat dipastikan hasilnya, dan selalu berubah.

Barat membutuhkan Timur jauh lebih kuat dari yang kita kira, yang ini berarti sebetulnya Barat tak sesuperior seperti kelihatannya. Demikian juga Timur, tak seinferior seperti anggapan selama ini.

Keempat, agenda dekolonisasi harus mulai melihat berpengetahuan bukan juga proses inovasi. Lebih dari itu ia adalah proses transformasi. Kalau didudukkan dalam dekolonisasi, ukuran pengetahuan bukan pada sejauh mana ia inovatif, tapi seberapa dia transformatif.

Dekolonisasi perlu juga untuk menyiapkan cara menguji ilmu, karena cara menguji pengetahuan transformatif berbeda dengan pengetahuan inovatif. Dalam pengertian ini mengetahui sejajar dengan mentransformasi.

Yang kelima, menjadikan pengetahuan sebagai objek utama pengkajian. Ini karena dekolonisasi sudah sejak dari awal mengasumsikan pengetahuan dan kekuasaan sebagai satu koin yang sama. Kalau ini pilihannya maka harus diikuti dengan sikap percaya bahwa tidak ada subjek di balik pengetahuan. Ini berarti bukan subjek yang menciptakan pengetahuan tapi sebaliknya subjek dibentuk oleh pengetahuan.

Timur diciptakan oleh pengetahuan tentang Timur. Demikian juga Barat diciptakan oleh pengetahuan tentang Barat. Untuk bisa mengetahui ini dekolonisasi perlu mengembangkan metodologi tentang bagaimana pengetahuan muncul, beroperasi dan membentuk society bahkan hingga memungkinkan resistensi.

Dengan cara ini dekolonisasi bukan agenda satu arah Timur terhadap Barat, tapi juga Barat terhadap Barat sendiri, dan juga Timur terhadap Timur sendiri. Karena kolonisasi bukan hanya terjadi dari atau di Barat, tapi juga sangat mungkin berlangsung di dan dari Timur.

Sudah tentu bukan hanya dalam skema Barat-Timur saja, tapi itu juga berlaku pada skema lainnya seperti agama-sains, firts world-third world, local world-global world dan seterusnya, dan sebagainya. 

Sebagai sebuah catatan ini tentu saja masih sangat singkat namun setidaknya menjadi ikhtiar awal dalam urun rembug dekolonisasi.

 

Referensi

Abdullah, M.A. (2007) Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi: Sebuah Antologi. Yogyakarta: Suka Press.

Bartlett, R. (1993) The Making of Europe: Conquest, Colonization, and Cultural Change, 950–1350. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Foucault, M. (1980) Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1979. Edited by C. Gordon. New York: Pantheon.

Gramsci, A. (1971) Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. Edited and translated by Q. Hoare and G.N. Smith. New York: International Publishers.

Hall, S. (1997) ‘The Work of Representation’, in S. Hall (ed.) Representation: Cultural Representation and Signifying Practices, pp. 13–58. London: Sage.

Hanafi, H. (2000) Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Translated by M.N. Buchori. Jakarta: Paramadina.

Howarth, D. (2000) Discourse. Buckingham: Open University Press.

Kuntowijoyo. (2007) Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mannheim, K. (1991) Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Kanisius.

Said, E.W. (2003) Orientalism. London: Penguin Modern Classics.


0 Komentar