Meskipun sudah cukup lama dibicarakan, dekolonisasi—sebagai ide, konsep dan
pemikiran, sekarang ini mulai mendapatkan perhatian kembali. Mulai banyak
diskusi, seminar, penelitian dan tulisan yang mengangkat soal ini. Patut untuk
turut bergembira dengan ini karena kekuatannya mendorong dan memantik perbincangan
di berbagai platform media, luring maupun daring.
Kalau kita perhatikan dalam dekolonisasi itu sendiri kuat terasa adanya
upaya untuk, yang pertama, melakukan transformasi. Ini muncul dari
kegelisahan terhadap situasi terkungkung dalam nalar sekuler yang membuat
praktik hidup masyarakat bekas jajahan, seperti Indonesia, tidak pernah
berhasil keluar dari cara melihat yang memisahkan dengan tegas antara di satu
sisi agama atau kepercayaan, dengan di sisi lain politik. Situasi ini harus
diakhiri dengan semacam upaya desekularisasi.
Kenapa demikian karena dosa besar kolonialisme, jika boleh dibilang begitu,
adalah sekularisasi. Pemisahan ini sendiri juga dilihat sebagai cara
mengkolonisasi sehingga penjajahan bisa berlangsung lewat upaya melepaskan
masyarakat dari kepercayaannya sendiri dan menggantinya dengan kepercayaan lain
yang bukan merupakan kepercayaan aslinya.
Meskipun tidak selalu dengan tegas diakui tapi ini sebetulnya merupakan
perdebatan lama yang memperhadapkan agama dan sains. Cara ini digunakan untuk
mempromosikan upaya mengintegrasikan, mengkoneksikan atau mendialogkan agama
dan sains. Sehingga hubungan keduanya jadi kritis bukan subjugasi (subjugation).
Semangat kedua dalam dekolonisasi adalah anti dominasi.
Eurosentrisme telah menjadi standar kebenaran global yang membuat siapapun
tunduk padanya. Apa yang dengan sangat mendasar dikritik dari eurosentrisme
adalah kemampuannya menciptakan dunia menurut konstruksinya. Dalam sejarah dan
historiografi misalnya, ilmu eurosentris melumasi kolonialisme
dengan membangun dan menyediakan perspektif.
Wilayah jajahan ditampilkan dalam cara pandang penjajah. Representasi—dalam
pengertian Stuart Hall, ini kemudian hidup sendiri dan menjadi dunia yang
memungkinkan siapapun memahami jajahan dengan sudut pandang penjajah. Bahkan
sampai membuat orang tak bisa memahami kalau tidak melalui representasi itu.
Ilmu kartografi, misalnya, yang pada mulanya berkembang dalam kebutuhan
penjelajahan wilayah-wilayah baru dan jalur ekspedisi. Namun, efek tak terduganya justru menciptakan nama bagi wilayah-wilayah baru
tersebut, Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Tengah, Asia
Pasifik dan seterusnya. Pada perkembangan berikutnya justru efek ini yang jauh
lebih menundukkan daripada tujuan awalnya.
Yang ketiga, ada semangat dekonstruksi. Efek yang tak kalah menindas
dari representasi masyarakat terjajah dalam ilmu yang sangat Eropa adalah seolah-olah
identitas wilayah terjajah hanya bisa muncul kalau dibedakan dengan penjajah.
Pendikotomian ini seperti berfungsi untuk mengunci relasi kuasa yang tidak
setara antara penjajah dan terjajah dan hubungan keduanya diadaikan bersifat
tetap. Dalam perkembangan ilmu lalu ada banyak sistem pembedaan yang muncul
misalnya barat-timur, global north-global south, development-under
development, dan sebagainya.
Jika relasi ini tidak diubah, selamanya wilayah bekas jajahan akan
dipandang lemah, tidak maju, terbelakang, dan paling jauh disebut eksotis. Dekonstruksi
adalah upaya membebaskan identitas masyarakat terjajah dari skema pembedaan
yang bias kolonial.
Yang keempat ada semangat counter hegemoni. Ada kesan kuat
dekolonisasi mengasumsikan masyarakat jajahan dikuasai lewat cara halus yang
menyusup dalam ilmu pengetahuan. Dan yang dimaksud ilmu pengetahuan ini terkemas
dalam bahasa.
Sekali kita menggunakan bahasa ilmu pengetahuan, pada saat itu juga proses
hegemoninya sudah berlangsung karena bahasa membawa serta cara pandang pihak
yang menciptakannya.
Untuk bisa keluar dari situ diperlukan counter hegemoni dengan mengadvokasi
bahasa-bahasa lokal dalam proses berilmu pengetahuan. Melalui cara ini
perspektif masyarakat terjajah bisa lebih kuat terangkat ke permukaan.
Yang kelima semangat sosiologi pengetahuan. Tanpa disadari gagasan
dekolonisasi berdiri di atas pijakan asumsi bahwa pengetahuan selalu
merefleksikan kondisi sosial masyarakat.
Dan yang disebut “sosial” di sini dekat dengan konsep mode of production.
Inilah yang membuat masing-masing masyarakat memiliki bangunan pengetahuan yang
berbeda.
Oleh karena cara hidup, cara produksi, cara survive Eropa atau Barat
berbeda dengan Asia atau Timur, pengetahuannya pun berbeda, --memaksa semua berpengetahuan
seperti Eropa bukan hanya tidak tepat
tapi itu juga cara menguasai.
Jika kemudian setuju dengan semangat di balik gagasan dekolonisasi seperti di
atas, dan jika juga dekolonisasi merupakan gerakan keilmuan yang membebaskan, implikasi
epistemologisnya sangat serius.
Yang pertama, dekolonisasi harus siap untuk mengambil presuposisi bahwa
namalah yang membentuk objek dan bukan sebaliknya. Ini berarti cara melihat
nama selama ini, sebagai representasi objek, perlu ditinjau kembali.
Implikasi berikutnya, yang kedua, dekolonisasi harus mulai meyakini bahwa
yang menciptakkan dunia atau realitas adalah bahasa. Bahasa di sini bukan
maksudnya Inggris, Jawa, Arab, Indonesia dan seterusnya, tapi lebih pada langue
atau sistem pembedaan, yang darinya makna muncul.
Ketiga, kalau setuju dengan itu berarti siap untuk memperlakukan proses berpengetahuan
atau berilmu bukan sebagai discovery tapi dekonstruksi. Maksudnya mulai melihat
relasi Barat-Timur dan sejenisnya sebagai saling membentuk, tak dapat
dipastikan hasilnya, dan selalu berubah.
Barat membutuhkan Timur jauh lebih kuat dari yang kita kira, yang ini berarti
sebetulnya Barat tak sesuperior seperti kelihatannya. Demikian juga Timur, tak
seinferior seperti anggapan selama ini.
Keempat, agenda dekolonisasi harus mulai melihat berpengetahuan bukan juga proses
inovasi. Lebih dari itu ia adalah proses transformasi. Kalau didudukkan dalam
dekolonisasi, ukuran pengetahuan bukan pada sejauh mana ia inovatif, tapi
seberapa dia transformatif.
Dekolonisasi perlu juga untuk menyiapkan cara menguji ilmu, karena cara
menguji pengetahuan transformatif berbeda dengan pengetahuan inovatif. Dalam
pengertian ini mengetahui sejajar dengan mentransformasi.
Yang kelima, menjadikan pengetahuan sebagai objek utama pengkajian. Ini
karena dekolonisasi sudah sejak dari awal mengasumsikan pengetahuan dan
kekuasaan sebagai satu koin yang sama. Kalau ini pilihannya maka harus diikuti
dengan sikap percaya bahwa tidak ada subjek di balik pengetahuan. Ini berarti bukan subjek yang menciptakan pengetahuan
tapi sebaliknya subjek dibentuk oleh pengetahuan.
Timur diciptakan oleh pengetahuan tentang Timur. Demikian juga Barat diciptakan oleh
pengetahuan tentang Barat. Untuk bisa mengetahui ini dekolonisasi perlu
mengembangkan metodologi tentang bagaimana pengetahuan muncul, beroperasi dan membentuk
society bahkan hingga memungkinkan resistensi.
Dengan cara ini dekolonisasi bukan agenda satu arah Timur terhadap Barat, tapi
juga Barat terhadap Barat sendiri, dan juga Timur terhadap Timur sendiri. Karena
kolonisasi bukan hanya terjadi dari atau di Barat, tapi juga sangat mungkin berlangsung
di dan dari Timur.
Sudah tentu bukan hanya dalam skema Barat-Timur saja, tapi itu juga berlaku pada skema lainnya seperti agama-sains, firts world-third world, local world-global world dan seterusnya, dan sebagainya.
Sebagai sebuah catatan ini tentu saja masih sangat singkat namun setidaknya
menjadi ikhtiar awal dalam urun rembug dekolonisasi.
Referensi
Abdullah, M.A. (2007) Islamic
Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi: Sebuah Antologi.
Yogyakarta: Suka Press.
Bartlett, R. (1993) The
Making of Europe: Conquest, Colonization, and Cultural Change, 950–1350.
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Foucault, M. (1980) Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings, 1972–1979. Edited by C. Gordon. New
York: Pantheon.
Gramsci, A. (1971) Selections
from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. Edited and translated by Q.
Hoare and G.N. Smith. New York: International Publishers.
Hall, S. (1997)
‘The Work of Representation’, in S. Hall (ed.) Representation: Cultural
Representation and Signifying Practices, pp. 13–58. London: Sage.
Hanafi, H. (2000) Oksidentalisme:
Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Translated by M.N. Buchori. Jakarta:
Paramadina.
Howarth, D. (2000) Discourse.
Buckingham: Open University Press.
Kuntowijoyo. (2007) Islam
sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Mannheim, K. (1991) Ideologi
dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Kanisius.
Said, E.W. (2003) Orientalism.
London: Penguin Modern Classics.

0 Komentar