Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

Dua Belas Alasan Menguasai Positivisme: Ibu Metodologi Ilmu-ilmu Inovasi


 sekolah riset satukata,-

Amin Tohari


Direncanakan, pada minggu kedua bulan Desember yang akan datang, Sekolah Riset Satukata bakal menghelat Seriestiga-9. Kelas ini difokuskan untuk membahas metodologi Positivisme sampai ke akar-akarnya, mulai dari asal-usulnya, teorinya, praktiknya dan bagaimana strategi penelitiannya.

Secara perkembangan metodologi sebetulnya ia menempati urutan pertama namun dengan pertimbangan tertentu penyelenggaraan kelasnya diletakkan di bagian paling belakang. Tiga metodologi sebelumnya sebetulnya merupakan respon terhadap Positivisme ini. Hal ini menunjukkan pada dasarnya Positivisme masih menduduki posisi dominan dan mainstream dalam dunia produksi ilmu-ilmu modern. Itulah salah satu alasan kenapa mempelajari Positivisme wajib dilakukan.

Alasan lainnya adalah agar para penstudi dapat keluar dari kesan seperti “membenci” Positivisme, sebagai sesuatu yang seolah harus ditinggalkan. Jelas tidak dalam tujuan itu, dengan menaruhnya di belakang setelah metodologi lainnya, mempelajarinya jadi berlangsung dalam kesadaran kritis bukan naif. Dengan cara ini pula kita lalu bisa melihatnya sebagai hanya salah satu cara bukan satu-satunya cara dalam memahami dunia atau menghasilkan ilmu.

Pertanyaannya adalah apa yang dilakukan Positivisme sampai berhasil menguasai dunia dan membuat kita harus mempelajarinya? Bahkan di luar kesadaran, kitapun harus sudah berpikir dengan cara positivis ini hampir dalam segala hal. Lebih terutama lagi kalau itu berhubungan dengan dunia akademik, birokrasi dan korporasi. Bahkan dalam derajat tertentu agamapun berusaha dipositivismekan.

Yang pertama dilakukan Positivisme adalah berjanji membawa umat manusia keluar dari abad kegelapan menuju abad pencerahan. Proyek peradaban ini sering disebut dengan istilah enlightment, atau gerakan pencerahan. Gerakan ini menempatkan akal budi, nalar, dan metode ilmiah sebagai fokus utama untuk memahami dunia, menggantikan dogma agama dan tradisi.  

Kedua, ketika orang setuju dengan argumentasi itu, Positivisme lalu menyodorkan syarat yang berikutnya, yaitu orang harus menanggalkan semua bentuk spekulasi, klaim-klaim tidak berdasar dan membuang jauh-jauh apa saja yang berbau mitos, legenda dan cerita-cerita takhayul.   

Setelah hal itu berhasil, ketiga, yang selanjutnya dilakukan Positivisme adalah membawa manusia ke dalam bentuk kesadaran baru tentang dunia. Kalau ada dua dunia, yang satu dunia yang tidak bisa dilihat, dan satunya lagi dunia yang bisa dilihat, Positivisme menekankan yang kedua. Fokus saja pada dunia yang bisa dilihat, yang tidak bisa dilihat nggak usah dipikir.

Yang keempat, Positivisme kemudian mengajak untuk menjadikan dunia yang bisa dilihat itu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Maksudnya adalah omongan apa saja, klaim apapun, bisa diterima sejauh ada justifikasinya dalam dunia yang kelihatan itu. Intervensi apapun terhadap dunia yang kelihatan itu, dalam konteks ilmiah, tidak dibenarkan.

Pada tahap berikutnya, kelima, Positivisme lalu semacam mendedahkan manifesto yang diamini seluruh dunia bahwa tugas ilmu adalah menjelaskan (explaining the nature). Alam semesta, termasuk dunia manusia, beroperasi dalam pola, mekanisme dan hukum-hukum tertentu. Tugas ilmu adalah menjelaskan hubungan sebab akibatnya. Itu saja.  

Keenam, untuk bisa memastikan bahwa hubungan itu benar-benar terjadi di alam, di luar diri manusia, bisa dibuktikan dan bukan rekaan peneliti, Positivisme lalu menciptakan rupa-rupa alat ukur yang disebut dengan macam-macam istilah misalnya verifikasi, uji validasi, uji reliabilitas dan sebagainya.

Pelan namun pasti, ketujuh, Positivisme berhasil menanamkan kepercayaan bahwa tugas sains adalah discovery bukan yang lain-lain. Itulah mengapa kalau belajar sains, anak-anak selalu diajak untuk mengenal para penemu, mulai dari penemu listrik, penemu telepon, penemu gravitasi dan seterusnya. Bahkan kadang dibuat gurauan sampai para penemu tempe, tahu, rendang jengkol dan sebagainya. Ini bukan guyonan, ini sangat serius, bahkan penganugerahan hadiah nobel didasarkan pada cara berpikir discovery ini. Lalu tanpa disadari, dalam pikiran kita, tertancap semacam pandangan bahwa yang disebut ilmuwan itu sama dengan penemu.  

Tapi, kedelapan, yang disebut penemuan itu tidak bisa sembarangan. Lebih tepatnya ia tidak boleh mengulang temuan sebelumnya. Asas ini menjadi dasar kepercayaan bahwa ilmu harus menghasilkan sesuatu yang baru. Pekerjaan menghasilkan sesuatu yang baru ini lalu disebut dengan istilah yang dipakai di mana-mana, inovasi. Kita jadi memahami sekarang kenapa dan dalam rangka apa lembaga yang dulu namanya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) diubah jadi BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional).  

Dan dalam rangka inovasi ini, yang kesembilan, semua pengajaran ilmu dan juga kegiatan berilmu yang disebut riset diarahkan untuk menghasilkan tindakan baru dalam mengatasi masalah. Belakangan yang disebut inovasi itu bukan asal baru tetapi kebaruan yang punya daya mengatasi persoalan. Dengan cara yang sangat halus, Positivisme mulai menyamakan aktivitas berilmu dengan upaya problem solver. Dengan bahasa yang lain tapi maksudnya sama, semua karya penelitian ujungnya adalah melahirkan rekomendasi kebijakan atau rekomendasi tindakan.

Kesepuluh, agar cara berpikir ini bisa diterima seluas mungkin, Positivisme melakukan intervensi di wilayah pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan. Praktik pendidikan, mulai dari level paling rendah sampai paling tinggi, pertama-tama dan paling utama diarahkan pada kepala, pada rasio, pada otak, pada intelligence quotient (IQ). Meskipun tetap ada perhatian pada dimensi-dimensi lain seperti afeksi, moral dan spiritual tapi semuanya dalam rangka memperkuat rasio dan IQ.

Dalam rangka melengkapi semua yang di atas, kesebelas, Positivisme kemudian menyiapkan bahkan menentukan cara bagaimana sistematika penulisan analisis ilmiah dilakukan. Kalau kita perhatikan, di seluruh dunia, yang namanya penulisan ilmiah, baik jurnal maupun tesis, polanya sama dan pasti berisi 4 komponen saja yaitu introduction, method, result, discussion (IMRD). Dan entah bagaimana, biasanya, dari keempat hal itu, yang paling utama dan ditekankan adalah method-nya. Mungkin itu didasarkan pada anggapan bahwa kebaruan result tergantung pada kebaruan method.

Yang terakhir, keduabelas, setelah sekitar 4 abad lamanya sejak publikasi karya-karya Rene Descastes (1637) dan Isaac Newton (1687), Positivisme berhasil menempatkan dirinya dalam tahta tertinggi sains. Sehingga kalau orang bicara sains, hampir selalu bisa dipastikan, yang keluar dari mulutnya adalah konsep dan istilah Positivisme. Bahkan sampai menganggap bahwa Positivisme dan sains adalah dua hal yang identik. Kalau kemudian ada yang mengaku berpikir ilmiah tapi di luar Positivisme, seketika akan dianggap tidak ilmiah, over-thinking, genit, dan sebagainya.

Pusat-pusat ilmu pengetahuan di dunia ini mulai dari kampus-kampus top di Amerika, Inggris, Jerman, Prancis hingga kampus kecil di pelosok Kalimantan atau Papua berpikir dengan cara yang kurang lebih sama saja. Jadi, dunia kita hari ini adalah dunia Positivisme, dan kita hidup di abad yang positivistik.

Dengan cara yang canggih Positivisme memilah dunia menjadi dua bagian. Dunia Pertama, Eropa dan Amerika, adalah dunia yang tingkat Positivismenya sangat tinggi. Sedangkan Dunia Ketiga level Positivismenya rendah. Implikasinya, Dunia Ketiga harus belajar Positivisme kepada Dunia Pertama. Itulah kenapa skema alokasi beasiswa sebagian besar diarahkan untuk membiayai anak-anak dunia ketiga belajar Positivisme sekaffah-kaffahnya di kampus-kampus top dunia. Dan salah satu syarat untuk bisa belajar Positivisme adalah anda harus menguasai bahasa Inggris. Titik.

Itulah 12 alasan kenapa kita harus mempelajari Positivisme dengan sungguh-sungguh. Di kelas Seriestiga-9 ini kita akan membedahnya dari awal sampai akhir, dari hulu hingga hilir Kuy.   

 

Referensi

Feichtinger, J., Fillafer, F.L. & Surman, J. (eds.) (2018) The Worlds of Positivism: A Global Intellectual History, 1770–1930. Cham: Palgrave Macmillan.

Fuller, S. (2001) ‘Positivism, History of’, in Wright, J.D. (ed.) International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (Second Edition). Elsevier, pp. 619–624.

Jackson, P.T. (2011) The Conduct of Inquiry in International Relations: Philosophy of Science and Its Implications for The Study of World Politics. London: Routledge.

Steinmetz, G. (ed.) (2005) The Politics of Method in the Human Sciences: Positivism and Its Epistemological Others. Durham: Duke University Press.

 

 

  

 

 

 


0 Komentar