sekolah riset satukata,-
Amin Tohari
Direncanakan, pada minggu kedua bulan Desember yang akan
datang, Sekolah Riset Satukata bakal menghelat Seriestiga-9. Kelas ini
difokuskan untuk membahas metodologi Positivisme sampai ke akar-akarnya, mulai
dari asal-usulnya, teorinya, praktiknya dan bagaimana strategi penelitiannya.
Secara perkembangan metodologi sebetulnya ia menempati
urutan pertama namun dengan pertimbangan tertentu penyelenggaraan kelasnya diletakkan
di bagian paling belakang. Tiga metodologi sebelumnya sebetulnya merupakan
respon terhadap Positivisme ini. Hal ini menunjukkan pada dasarnya Positivisme
masih menduduki posisi dominan dan mainstream dalam dunia produksi
ilmu-ilmu modern. Itulah salah satu alasan kenapa mempelajari Positivisme wajib
dilakukan.
Alasan lainnya adalah agar para penstudi dapat keluar dari
kesan seperti “membenci” Positivisme, sebagai sesuatu yang seolah harus
ditinggalkan. Jelas tidak dalam tujuan itu, dengan menaruhnya di belakang
setelah metodologi lainnya, mempelajarinya jadi berlangsung dalam kesadaran
kritis bukan naif. Dengan cara ini pula kita lalu bisa melihatnya sebagai hanya
salah satu cara bukan satu-satunya cara dalam memahami dunia atau menghasilkan
ilmu.
Pertanyaannya adalah apa yang dilakukan Positivisme
sampai berhasil menguasai dunia dan membuat kita harus mempelajarinya? Bahkan
di luar kesadaran, kitapun harus sudah berpikir dengan cara positivis ini hampir
dalam segala hal. Lebih terutama lagi kalau itu berhubungan dengan dunia
akademik, birokrasi dan korporasi. Bahkan dalam derajat tertentu agamapun
berusaha dipositivismekan.
Yang pertama dilakukan Positivisme adalah berjanji
membawa umat manusia keluar dari abad kegelapan menuju abad pencerahan. Proyek
peradaban ini sering disebut dengan istilah enlightment, atau gerakan
pencerahan. Gerakan ini menempatkan akal budi, nalar, dan metode ilmiah sebagai
fokus utama untuk memahami dunia, menggantikan dogma agama dan tradisi.
Kedua, ketika orang setuju dengan argumentasi itu, Positivisme
lalu menyodorkan syarat yang berikutnya, yaitu orang harus menanggalkan semua
bentuk spekulasi, klaim-klaim tidak berdasar dan membuang jauh-jauh apa saja
yang berbau mitos, legenda dan cerita-cerita takhayul.
Setelah hal itu berhasil, ketiga, yang selanjutnya dilakukan
Positivisme adalah membawa manusia ke dalam bentuk kesadaran baru tentang
dunia. Kalau ada dua dunia, yang satu dunia yang tidak bisa dilihat, dan
satunya lagi dunia yang bisa dilihat, Positivisme menekankan yang kedua. Fokus
saja pada dunia yang bisa dilihat, yang tidak bisa dilihat nggak usah dipikir.
Yang keempat, Positivisme kemudian mengajak untuk
menjadikan dunia yang bisa dilihat itu sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Maksudnya adalah omongan apa saja, klaim apapun, bisa diterima sejauh ada
justifikasinya dalam dunia yang kelihatan itu. Intervensi apapun terhadap dunia
yang kelihatan itu, dalam konteks ilmiah, tidak dibenarkan.
Pada tahap berikutnya, kelima, Positivisme lalu
semacam mendedahkan manifesto yang diamini seluruh dunia bahwa tugas ilmu adalah
menjelaskan (explaining the nature). Alam semesta, termasuk dunia
manusia, beroperasi dalam pola, mekanisme dan hukum-hukum tertentu. Tugas ilmu
adalah menjelaskan hubungan sebab akibatnya. Itu saja.
Keenam, untuk bisa memastikan bahwa hubungan itu
benar-benar terjadi di alam, di luar diri manusia, bisa dibuktikan dan bukan
rekaan peneliti, Positivisme lalu menciptakan rupa-rupa alat ukur yang disebut
dengan macam-macam istilah misalnya verifikasi, uji validasi, uji reliabilitas
dan sebagainya.
Pelan namun pasti, ketujuh, Positivisme berhasil menanamkan
kepercayaan bahwa tugas sains adalah discovery bukan yang lain-lain.
Itulah mengapa kalau belajar sains, anak-anak selalu diajak untuk mengenal para
penemu, mulai dari penemu listrik, penemu telepon, penemu gravitasi dan
seterusnya. Bahkan kadang dibuat gurauan sampai para penemu tempe, tahu,
rendang jengkol dan sebagainya. Ini bukan guyonan, ini sangat serius, bahkan penganugerahan
hadiah nobel didasarkan pada cara berpikir discovery ini. Lalu tanpa
disadari, dalam pikiran kita, tertancap semacam pandangan bahwa yang disebut
ilmuwan itu sama dengan penemu.
Tapi, kedelapan, yang disebut penemuan itu tidak bisa
sembarangan. Lebih tepatnya ia tidak boleh mengulang temuan sebelumnya. Asas
ini menjadi dasar kepercayaan bahwa ilmu harus menghasilkan sesuatu yang baru. Pekerjaan
menghasilkan sesuatu yang baru ini lalu disebut dengan istilah yang dipakai di
mana-mana, inovasi. Kita jadi memahami sekarang kenapa dan dalam rangka apa lembaga
yang dulu namanya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) diubah jadi BRIN
(Badan Riset dan Inovasi Nasional).
Dan dalam rangka inovasi ini, yang kesembilan, semua
pengajaran ilmu dan juga kegiatan berilmu yang disebut riset diarahkan untuk
menghasilkan tindakan baru dalam mengatasi masalah. Belakangan yang disebut
inovasi itu bukan asal baru tetapi kebaruan yang punya daya mengatasi
persoalan. Dengan cara yang sangat halus, Positivisme mulai menyamakan aktivitas
berilmu dengan upaya problem solver. Dengan bahasa yang lain tapi maksudnya
sama, semua karya penelitian ujungnya adalah melahirkan rekomendasi kebijakan atau
rekomendasi tindakan.
Kesepuluh, agar cara berpikir ini bisa diterima
seluas mungkin, Positivisme melakukan intervensi di wilayah pendidikan dan
pengajaran ilmu pengetahuan. Praktik pendidikan, mulai dari level paling rendah
sampai paling tinggi, pertama-tama dan paling utama diarahkan pada kepala, pada
rasio, pada otak, pada intelligence quotient (IQ). Meskipun tetap ada
perhatian pada dimensi-dimensi lain seperti afeksi, moral dan spiritual tapi
semuanya dalam rangka memperkuat rasio dan IQ.
Dalam rangka melengkapi semua yang di atas, kesebelas,
Positivisme kemudian menyiapkan bahkan menentukan cara bagaimana sistematika penulisan
analisis ilmiah dilakukan. Kalau kita perhatikan, di seluruh dunia, yang
namanya penulisan ilmiah, baik jurnal maupun tesis, polanya sama dan pasti
berisi 4 komponen saja yaitu introduction, method, result, discussion
(IMRD). Dan entah bagaimana, biasanya, dari keempat hal itu, yang paling utama
dan ditekankan adalah method-nya. Mungkin itu didasarkan pada anggapan bahwa
kebaruan result tergantung pada kebaruan method.
Yang terakhir, keduabelas, setelah sekitar 4 abad lamanya
sejak publikasi karya-karya Rene Descastes (1637) dan Isaac Newton (1687), Positivisme
berhasil menempatkan dirinya dalam tahta tertinggi sains. Sehingga kalau orang
bicara sains, hampir selalu bisa dipastikan, yang keluar dari mulutnya adalah
konsep dan istilah Positivisme. Bahkan sampai menganggap bahwa Positivisme dan sains
adalah dua hal yang identik. Kalau kemudian ada yang mengaku berpikir ilmiah tapi
di luar Positivisme, seketika akan dianggap tidak ilmiah, over-thinking,
genit, dan sebagainya.
Pusat-pusat ilmu pengetahuan di dunia ini mulai dari
kampus-kampus top di Amerika, Inggris, Jerman, Prancis hingga kampus kecil di
pelosok Kalimantan atau Papua berpikir dengan cara yang kurang lebih sama saja.
Jadi, dunia kita hari ini adalah dunia Positivisme, dan kita hidup di abad yang
positivistik.
Dengan cara yang canggih Positivisme memilah dunia menjadi
dua bagian. Dunia Pertama, Eropa dan Amerika, adalah dunia yang tingkat Positivismenya
sangat tinggi. Sedangkan Dunia Ketiga level Positivismenya rendah. Implikasinya,
Dunia Ketiga harus belajar Positivisme kepada Dunia Pertama. Itulah kenapa
skema alokasi beasiswa sebagian besar diarahkan untuk membiayai anak-anak dunia
ketiga belajar Positivisme sekaffah-kaffahnya di kampus-kampus top
dunia. Dan salah satu syarat untuk bisa belajar Positivisme adalah anda harus
menguasai bahasa Inggris. Titik.
Itulah 12 alasan kenapa kita harus mempelajari Positivisme
dengan sungguh-sungguh. Di kelas Seriestiga-9 ini kita akan membedahnya dari
awal sampai akhir, dari hulu hingga hilir Kuy.
Referensi
Feichtinger, J., Fillafer, F.L. & Surman, J.
(eds.) (2018) The Worlds of Positivism: A Global Intellectual
History, 1770–1930. Cham: Palgrave Macmillan.
Fuller, S. (2001) ‘Positivism, History of’, in
Wright, J.D. (ed.) International Encyclopedia of the Social & Behavioral
Sciences (Second Edition). Elsevier, pp. 619–624.
Jackson, P.T. (2011) The
Conduct of Inquiry in International Relations: Philosophy of Science and Its
Implications for The Study of World Politics. London: Routledge.
Steinmetz, G. (ed.) (2005) The
Politics of Method in the Human Sciences: Positivism and Its Epistemological
Others. Durham: Duke University Press.

0 Komentar