Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

Kenapa Pahlawan Penting? Dari Perang Dunia Shinobi Hingga Politik Aliran

 

ilustrasi by canva

sekolah riset satukata,-

Amin Tohari

Menjelang Perang Dunia Shinobi yang keempat, dilakukan upaya untuk memanggil kembali para pahlawan desa (hokage) yang sudah mati untuk menambah kekuatan pasukan ninja menghadapi serangan kelompok Akatsuki pimpinan Uchiha Obito.

Jurus ini diciptakan oleh kepala desa yang kedua. Ia menciptakan jutsu ini dengan tujuan agar saat ketika sudah meninggal, jika klan Uchiha kembali menyerang desa, ia bisa dibangkitkan. Jutsu ini terlarang dan kontroversial karena melawan kodrat hukum alam dan etika.

Singkat cerita Orochimaru dan muridnya Kabuto Yakushi berhasil menggunakan teknik edo tensei yang diinspirasi teori reinkarnasi murni untuk memanggil empat pahlawan utama desa, yaitu Hashirama Senju, Tobirama Senju, Hiruzen Sarutobi dan Minato Namikaze.

Selain menambah kekuatan, kembalinya para pahlawan itu cukup bisa mengurai banyak kekusutan politik desa. Mereka, terutama, memberi jawaban dari pertanyaan Uchiha Sasuke, tentang faksi-faksi politik yang membuat klan keluarganya mengalami pembasmian justru oleh seseorang yang paling disayanginya, Uchiha Ithaci. Dia adalah tokoh paling misterius yang tak mempan di-edo tensei.

Politik Aliran

Seolah tak pernah ingin berhenti membuat kontroversi, pemerintah, melalui Kementerian Kebudayaan lagi, tengah berusaha meloloskan penganugerahan gelar pahlawan. Agar tak kelihatan berat sebelah, upaya mempahlawankan jendral Soeharto dilakukan dengan juga mempahlawankan Marsinah, dan presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid.

Rezim yang sedang berusaha merehabilitasi nama baik jenderal Soeharto dan Orde Baru ini tahu betul bahwa ia sendiri tak begitu kuat atau tingkat problematisnya akan tinggi kalau hanya mengusungnya sendirian. Dibutuhkan legitimasi dari yang lain agar bisa menambah kekuatan penerimaan publik terhadap usulan itu.

Dengan membuatnya sebagai satu paket, ketidaksetujuan pada kebijakan itu bisa dibingkai sebagai melawan kelompok yang merepresentasikan nama-nama tersebut. Abdurrahman Wahid merepresentasikan kelompok masyarakat pro demokrasi, pluralisme dan multikultural atau kelas menengah muslim tradisional. Sedangkan Marsinah dianggap simbol perlawanan perempuan kelas pekerja abangan.

Dengan melihatnya demikian, tanpa disadari, pengusul yang dalam hal ini pemerintah sendiri, seperti menempatkan Soeharto sebagai kelompok lain yang berbeda dari dua yang pertama. Kalau kita menengok studi tentang politik aliran di Indonesia tidak terlalu sulit menemukan di kelompok mana ia berdiri. Ia berada di kelompok yang merepresentasikan kalangan yang sering disebut priyayi.

Dari sini kita mendapati satu hal penting dalam usulan gelar pahlawan itu yaitu digunakannya strategi politik aliran dalam upaya meloloskan nama jenderal Soeharto. Itu yang pertama. Yang kedua, meskipun banyak kritik dilontarkan pada penelitian Geertz (1960) dalam menjelaskan struktur kelas yang sebetulnya bias Jawa itu, namun tampaknya, untuk kasus Indonesia, ia masih merupakan kategori politik yang kuat. Sehingga, yang ketiga, siapapun yang berkuasa sulit untuk tidak berpikir politik aliran juga dalam mengelola kekuasaan.

Tapi pertanyaan yang lain adalah kenapa untuk merehabilitasi Orde Baru pemerintah merasa perlu menggelari jenderal Soeharto sebagai pahlawan nasional? Atau kenapa pahlawan penting sekali dalam politik Indonesia? Ada dua jawaban.

Perspektif Elit

Jawaban yang pertama disediakan oleh peneliti politik Indonesia Herbert Feith (1962). Ia menemukan bahwa memang politik Indonesia itu elitis. Maksudnya, Indonesia itu digerakkan oleh kaum elit, dan orang seperti tak bisa menjadi bagian dari negara tanpa menjadi elit lebih dulu, atau menjadi bagian dari negara penting agar bisa menjadi elit.

Perspektif elit dalam teori politik Indonesia menekankan pada peran tokoh-tokoh, pemimpin dan kaum elite karena masyarakat Indonesia punya kecenderungan percaya pada elitnya atau pemimpinnya. Entah disadari atau tidak, cara pandang ini membuat kalau belajar sejarah yang dipelajari selalu adalah peristiwa dan para pahlawannya.

Penelitian Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (1952) turut berpengaruh pada perspektif ini.  Salah satu kelompok elit yang paling penting adalah pahlawan karena entah bagaimana ia seperti mengandung konotasi sebagai pejuang kemerdekaan. Begitu seseorang masuk ke dalam status pahlawan, dengan cara yang ajaib, semua perilaku dan kesalahannya di masa lalu seolah sirna dan dimaafkan atau diringankan karena dia telah mengorbankan dirinya untuk kita semua.  

Pada giliran selanjutnya, kepahlawanan lalu seperti membuat seseorang, entah keluarga atau pendukung fanatiknya, memiliki semacam entitlement untuk terlibat dalam politik dan kekuasaan. Dan negara seperti “harus” memberinya kedudukan tertentu sebagai semacam penghargaan atau kompensasi atas kepejuangannya itu. Ini tampak misalnya dari banyak kelompok yang berlomba menunjukkan diri sebagai yang paling berjasa terhadap bangsa ini.   

Pak Herb juga mencatat bahwa tidak sebagaimana di negara lain, di Indonesia pahlawan atau elit punya posisi sangat penting. Kalau di Eropa orang bisa menjadi elit kalau dia memang keturunan elit atau dia menguasai tanah yang luas. Di Indonesia terbalik, seseorang harus menjadi elit dulu baru bisa punya apa-apa.

Itulah kenapa mempahlawankan seseorang yang dianggap simbol gerbong kelompok menjadi agenda politik yang penting untuk mempertahankan elitisme ini. Tindakan itu bisa menghasilkan surplus politik yang cukup lumayan, terutama untuk membalik stigma buruk yang lama dilekatkan kepadanya, dan rezim ini sadar betul untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

Simbolisasi the Real    

Yang kedua, untuk lebih punya pengaruh kuat seseorang harus dihadirkan sebagai “yang simbolik” agar situasi the real-nya berakhir meski sementara.

Ini diinspirasi dari tradisi psikoanalisa yang terutama diambil dari skema triad Lacanian the real-imaginary-symbolic (Fink, 1995). Singkat cerita dunia the real harus disimbolisasikan agar bisa dikendalikan dan dengan ini daya turbulensinya mereda. Simbolisasi ini fungsinya adalah membuat the real tadi tampil dalam wajah yang lebih bisa diterima.

Cara berpikir ini pernah digunakan peneliti politik, Ernesto Laclau (2005), saat menjelaskan fenomena gerakan Peronisme di Argentina dan Revolusi Islam Iran. Pertanyaan yang diajukannya adalah kenapa pengaruh Juan Peron dan Ayotullah Ali Khameini justru menguat ketika sedang tidak ada di tempat (diasingkan)?

Ia kemudian sampai pada simpulan yang menarik. Ketika mereka diasingkan dan dari tempat pengasingan itu mengirim pesan-pesan politik, mereka hadir sebagai “yang simbolik”. Saat simbolisasinya beroperasi yang terjadi malah makin banyak faksi-faksi yang bisa mengacunya tanpa harus takut merasa sebagai bukan yang dimaksudkan oleh Peron atau Khameini. Lalu ini membuat semua merasa menjadi bagian dari perjuangan Peron atau Khameini.

Dalam banyak kasus ada banyak hal yang serupa dengan itu. Fisik asli orangnya sudah tidak ada tapi ia dihadirkan sebagai simbol untuk mengeratkan rajutan solidaritas dan menjaga peoplesnya tetap ada dan terus bertahan. Situasi ini kadang dibahasakan dengan “masyarakat butuh keteladanan”, semacam referensi yang bisa diacu dalam bertindak dan menjadi pengikat rasa sebagai satu kelompok.

Tatanan simbolik tersebut juga punya kemampuan membuat si tokoh hadir dalam seribu wajah, dalam sejarah, dalam sastra, dalam seni, dalam lukisan, dalam nyanyian, dalam puja-pujian, dalam museum dan prasasti, termasuk juga dalam artikel jurnal. Dan pada saat inilah ia justru lebih berpengaruh ketimbang saat masih berada dalam dunia the real.

Mungkin kita sedikit merasa berkerut dahi dengan cerita edo tensei no jutsu di bagian awal tulisan ini. Tapi bukankan itu mirip dengan upaya memasukkan seseorang dalam dunia simbolik supaya bisa membuatnya tetap hadir di dunia ini dalam tampilan yang lebih berpengaruh, lebih diterima dan menambah kekuatan kelompok yang dinaunginya dalam menghadapi politik (perang).

Tentu saja pertanyaan setuju atau tidak setuju terhadap penganugerahan gelar pahlawan tetap penting, tapi juga perlu untuk bertanya kenapa kita butuh pahlawan atau apakah kita benar-benar butuh pahlawan? Pahlawan seperti apa yang paling kita butuhkan sekarang ?

Kencederungan plebisitian membuat pemerintah seringnya selalu datang dengan sepaket jawaban dan meminta publik meresponnya, kalau setuju berarti jalan dan kalau tidak setuju ditunda dulu. Masalahnya publik tidak diberitahu apa pertanyaanya, sehingga bahkan acara pemberian gelar pahlawan jadi terkesan sekadar program kerja kementerian. Bukan hanya rezim sekarang, yang dulu-dulu juga sama.

 

Referensi

Feith, H. (1962) The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Feith, H. (1995) Pemikiran Politik Indonesia 1945–1965. 2nd edn. Jakarta: LP3ES.

Fink, B. (1995) The Lacanian Subject: Between Language and Jouissance. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Geertz, C. (1960) The Religion of Java. New York: The Free Press.

Laclau, E. (2005) On Populist Reason. London: Verso Books.

Kahin, G, M. (2013). Nasionalisme & Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.

 

 

 

 

  

 


0 Komentar