Amin Tohari
Menjelang Perang Dunia Shinobi yang keempat, dilakukan upaya untuk
memanggil kembali para pahlawan desa (hokage) yang sudah mati untuk
menambah kekuatan pasukan ninja menghadapi serangan kelompok Akatsuki pimpinan
Uchiha Obito.
Jurus ini diciptakan oleh kepala desa yang kedua. Ia menciptakan jutsu
ini dengan tujuan agar saat ketika sudah meninggal, jika klan Uchiha kembali menyerang
desa, ia bisa dibangkitkan. Jutsu ini terlarang dan kontroversial karena
melawan kodrat hukum alam dan etika.
Singkat cerita Orochimaru dan muridnya Kabuto Yakushi berhasil menggunakan
teknik edo tensei yang diinspirasi teori reinkarnasi murni untuk
memanggil empat pahlawan utama desa, yaitu Hashirama Senju, Tobirama Senju, Hiruzen
Sarutobi dan Minato Namikaze.
Selain menambah kekuatan, kembalinya para pahlawan itu cukup bisa mengurai
banyak kekusutan politik desa. Mereka, terutama, memberi jawaban dari pertanyaan Uchiha Sasuke, tentang faksi-faksi politik
yang membuat klan keluarganya mengalami pembasmian justru oleh seseorang yang
paling disayanginya, Uchiha Ithaci. Dia adalah tokoh
paling misterius yang tak mempan di-edo tensei.
Politik Aliran
Seolah tak pernah ingin berhenti membuat kontroversi, pemerintah, melalui Kementerian
Kebudayaan lagi, tengah berusaha meloloskan penganugerahan gelar pahlawan. Agar
tak kelihatan berat sebelah, upaya mempahlawankan jendral Soeharto dilakukan
dengan juga mempahlawankan Marsinah, dan presiden keempat Indonesia, Abdurrahman
Wahid.
Rezim yang sedang berusaha merehabilitasi nama baik jenderal Soeharto dan
Orde Baru ini tahu betul bahwa ia sendiri tak begitu kuat atau tingkat problematisnya
akan tinggi kalau hanya mengusungnya sendirian. Dibutuhkan legitimasi dari yang
lain agar bisa menambah kekuatan penerimaan publik terhadap usulan itu.
Dengan membuatnya sebagai satu paket, ketidaksetujuan pada kebijakan itu
bisa dibingkai sebagai melawan kelompok yang merepresentasikan nama-nama
tersebut. Abdurrahman Wahid merepresentasikan kelompok masyarakat pro demokrasi,
pluralisme dan multikultural atau kelas menengah muslim tradisional. Sedangkan
Marsinah dianggap simbol perlawanan perempuan kelas pekerja abangan.
Dengan melihatnya demikian, tanpa disadari, pengusul yang dalam hal ini
pemerintah sendiri, seperti menempatkan Soeharto sebagai kelompok lain yang
berbeda dari dua yang pertama. Kalau kita menengok studi tentang politik aliran
di Indonesia tidak terlalu sulit menemukan di kelompok mana ia berdiri. Ia
berada di kelompok yang merepresentasikan kalangan yang sering disebut priyayi.
Dari sini kita mendapati satu hal penting dalam usulan gelar pahlawan itu yaitu
digunakannya strategi politik aliran dalam upaya meloloskan nama jenderal Soeharto.
Itu yang pertama. Yang kedua, meskipun banyak kritik dilontarkan
pada penelitian Geertz (1960) dalam menjelaskan struktur kelas yang sebetulnya
bias Jawa itu, namun tampaknya, untuk kasus Indonesia, ia masih merupakan
kategori politik yang kuat. Sehingga, yang ketiga, siapapun yang berkuasa
sulit untuk tidak berpikir politik aliran juga dalam mengelola kekuasaan.
Tapi pertanyaan yang lain adalah kenapa untuk merehabilitasi Orde Baru pemerintah
merasa perlu menggelari jenderal Soeharto sebagai pahlawan nasional? Atau
kenapa pahlawan penting sekali dalam politik Indonesia? Ada dua jawaban.
Perspektif Elit
Jawaban yang pertama disediakan oleh peneliti politik Indonesia
Herbert Feith (1962). Ia menemukan bahwa memang politik Indonesia itu elitis. Maksudnya,
Indonesia itu digerakkan oleh kaum elit, dan orang seperti tak bisa menjadi
bagian dari negara tanpa menjadi elit lebih dulu, atau menjadi bagian dari
negara penting agar bisa menjadi elit.
Perspektif elit dalam teori politik Indonesia menekankan pada peran
tokoh-tokoh, pemimpin dan kaum elite karena masyarakat Indonesia punya
kecenderungan percaya pada elitnya atau pemimpinnya. Entah disadari atau tidak,
cara pandang ini membuat kalau belajar sejarah yang dipelajari selalu adalah
peristiwa dan para pahlawannya.
Penelitian Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (1952)
turut berpengaruh pada perspektif ini. Salah
satu kelompok elit yang paling penting adalah pahlawan karena entah bagaimana
ia seperti mengandung konotasi sebagai pejuang kemerdekaan. Begitu seseorang
masuk ke dalam status pahlawan, dengan cara yang ajaib, semua perilaku dan
kesalahannya di masa lalu seolah sirna dan dimaafkan atau diringankan karena
dia telah mengorbankan dirinya untuk kita semua.
Pada giliran selanjutnya, kepahlawanan lalu seperti membuat seseorang,
entah keluarga atau pendukung fanatiknya, memiliki semacam entitlement untuk
terlibat dalam politik dan kekuasaan. Dan negara seperti “harus” memberinya kedudukan
tertentu sebagai semacam penghargaan atau kompensasi atas kepejuangannya itu.
Ini tampak misalnya dari banyak kelompok yang berlomba menunjukkan diri sebagai
yang paling berjasa terhadap bangsa ini.
Pak Herb juga mencatat bahwa tidak sebagaimana di negara lain, di Indonesia
pahlawan atau elit punya posisi sangat penting. Kalau di Eropa orang bisa
menjadi elit kalau dia memang keturunan elit atau dia menguasai tanah yang
luas. Di Indonesia terbalik, seseorang harus menjadi elit dulu baru bisa punya
apa-apa.
Itulah kenapa mempahlawankan seseorang yang dianggap simbol gerbong kelompok
menjadi agenda politik yang penting untuk mempertahankan elitisme ini. Tindakan
itu bisa menghasilkan surplus politik yang cukup lumayan, terutama untuk
membalik stigma buruk yang lama dilekatkan kepadanya, dan rezim ini sadar betul
untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Simbolisasi the Real
Yang kedua, untuk lebih punya pengaruh kuat seseorang harus dihadirkan
sebagai “yang simbolik” agar situasi the real-nya berakhir meski
sementara.
Ini diinspirasi dari tradisi psikoanalisa yang terutama diambil dari skema triad
Lacanian the real-imaginary-symbolic (Fink, 1995). Singkat
cerita dunia the real harus disimbolisasikan agar bisa dikendalikan dan
dengan ini daya turbulensinya mereda. Simbolisasi ini fungsinya adalah membuat the
real tadi tampil dalam wajah yang lebih bisa diterima.
Cara berpikir ini pernah digunakan peneliti politik, Ernesto Laclau (2005),
saat menjelaskan fenomena gerakan Peronisme di Argentina dan Revolusi Islam
Iran. Pertanyaan yang diajukannya adalah kenapa pengaruh Juan Peron dan
Ayotullah Ali Khameini justru menguat ketika sedang tidak ada di tempat (diasingkan)?
Ia kemudian sampai pada simpulan yang menarik. Ketika mereka diasingkan dan
dari tempat pengasingan itu mengirim pesan-pesan politik, mereka hadir sebagai
“yang simbolik”. Saat simbolisasinya beroperasi yang terjadi malah makin banyak
faksi-faksi yang bisa mengacunya tanpa harus takut merasa sebagai bukan yang
dimaksudkan oleh Peron atau Khameini. Lalu ini membuat semua merasa menjadi
bagian dari perjuangan Peron atau Khameini.
Dalam banyak kasus ada banyak hal yang serupa dengan itu. Fisik asli orangnya
sudah tidak ada tapi ia dihadirkan sebagai simbol untuk mengeratkan rajutan
solidaritas dan menjaga peoplesnya tetap ada dan terus bertahan. Situasi
ini kadang dibahasakan dengan “masyarakat butuh keteladanan”, semacam referensi
yang bisa diacu dalam bertindak dan menjadi pengikat rasa sebagai satu kelompok.
Tatanan simbolik tersebut juga punya kemampuan membuat si tokoh hadir dalam
seribu wajah, dalam sejarah, dalam sastra, dalam seni, dalam lukisan, dalam
nyanyian, dalam puja-pujian, dalam museum dan prasasti, termasuk juga dalam
artikel jurnal. Dan pada saat inilah ia justru lebih berpengaruh ketimbang saat
masih berada dalam dunia the real.
Mungkin kita sedikit merasa berkerut dahi dengan cerita edo tensei no
jutsu di bagian awal tulisan ini. Tapi bukankan itu mirip dengan upaya
memasukkan seseorang dalam dunia simbolik supaya bisa membuatnya tetap hadir di
dunia ini dalam tampilan yang lebih berpengaruh, lebih diterima dan menambah
kekuatan kelompok yang dinaunginya dalam menghadapi politik (perang).
Tentu saja pertanyaan setuju atau tidak setuju terhadap penganugerahan
gelar pahlawan tetap penting, tapi juga perlu untuk bertanya kenapa kita butuh
pahlawan atau apakah kita benar-benar butuh pahlawan? Pahlawan seperti apa yang paling kita butuhkan sekarang ?
Kencederungan plebisitian membuat pemerintah seringnya selalu datang dengan
sepaket jawaban dan meminta publik meresponnya, kalau setuju berarti jalan dan
kalau tidak setuju ditunda dulu. Masalahnya publik tidak diberitahu apa
pertanyaanya, sehingga bahkan acara pemberian gelar pahlawan jadi terkesan sekadar
program kerja kementerian. Bukan hanya rezim sekarang, yang dulu-dulu juga
sama.
Referensi
Feith, H.
(1962) The Decline of Constitutional
Democracy in Indonesia. Ithaca, NY:
Cornell University Press.
Feith, H.
(1995) Pemikiran Politik Indonesia
1945–1965. 2nd edn. Jakarta: LP3ES.
Fink, B.
(1995) The Lacanian Subject: Between
Language and Jouissance. Princeton,
NJ: Princeton University Press.
Geertz, C.
(1960) The Religion of Java. New York: The Free Press.
Laclau, E.
(2005) On Populist Reason. London: Verso Books.
Kahin, G, M.
(2013). Nasionalisme & Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas
Bambu.

0 Komentar