Pada suatu hari seorang mahasiswa
level doktoral tahap akhir datang menemui promotornya. Wajahnya cerah,
langkahnya tegap, dan sinar matanya penuh keyakinan. Ia merasa percaya diri
naskah setebal kira-kira 400 halaman yang ditentengnya dalam tas akan mendapat
repson baik dari promotornya. Bayang-bayang kelulusan dan keluar dari
penderitaan sudah tergambar jelas di dalam pikirannya.
Sang promotor, dengan wajah dan
senyum ramah, menyambutnya. Setelah bercerita seperlunya, ia kemudian
menyodorkan naskah itu. Saat melihat naskah tersebut, promotornya merespon
dengan singkat, “Wah, disertasinya sangat berbobot, mas”.
Mendengar respon itu, si
mahasiswa tadi senang dan merasa sangat diapresiasi. Singkat cerita, sang
promotor meminta waktu untuk membacanya. Beberapa hari kemudian mahasiswa tadi
menerima catatan. Dari sekian catatan, satu yang paling menarik perhatian
bunyinya, “mohon untuk dikurangi kira-kira 100-150an halaman”. Selang kira-kira
satu bulan si mahasiswa tadi datang dan dia benar-benar melenyapkan sekitar
100an halaman saja tanpa melakukan penulisan ulang atas argumennya menjadi
lebih concise.
Apa yang menarik dari hal itu
adalah, bagi mahasiswa tersebut, berbobot sama dengan kalau jumlah halamannya
banyak. Dan banyaknya jumlah halaman mencerminkan kemampuan mengurai persoalan
serinci mungkin. Sementara bagi pembimbingnya bukan itu. Berbobot bukan perkara
tebal tipis tapi terkait dengan seberapa kuat argumentasinya. Pada akhirnya
nanti yang akan diuji bukan jumlah halaman tapi kekuatan argumentasi.
Cerita di atas sebetulnya
mencerminkan realitas dunia penulisan tugas akhir di Indonesia. Kalau dicermati
lagi, dalam cerita di atas, baik pembimbing maupun mahasiswanya tidak salah. Kenapa
demikian? Karena si mahasiswa tanpa ia sadari sedang merujuk pada arti sesungguhnya
dari disertasi itu sendiri. Sementara pembimbing memaksudkan disertasi sebagai tesis.
Untuk membuatnya lebih jelas kita
perlu menengok dulu apa sebetulnya perbedaan tesis dan disertasi. Tentu saja
ada banyak cara membedakannya dan boleh saja untuk, misalnya, setuju pada pendapat
yang mengatakan skripsi itu hanya sampai pada menggambarkan objek saja.
Sedangkan, yang dikatakan tesis kalau sudah melakukan uji dan menemukan tesa
atas objek yang diteliti. Sementara itu, disertasi urusannya menguji tesanya
lebih dalam lagi.
Tidak terlalu meleset, karena
itulah pandangan yang umumnya dipahami selama ini, setidaknya di dalam tradisi
akademik Indonesia yang dominan positivistik. Mungkin karena seperti itu cara
melihatnya jadi terbentuk anggapan kalau disertasi harus lebih tebal dari
tesis, dan tesis lebih tebal dari skripsi. Harus diakui, pada praktiknya, sebagian
besar memang yang terjadi kurang lebih seperti itu. Juga tidak sedikit yang
menganggap bahwa tingkatan itu sekaligus menandai level kesulitan yang berbeda
dalam penulisannya.
Namun sebetulnya, sebagai
perbandingan, tradisi akademik beberapa tempat di luar negeri tidak melihatnya
seperti itu. Kalau di Indonesia, disertasi dianggap lebih sulit dari tesis, di
sana justru tesis lebih sulit dari disertasi. Karena istilah disertasi seringnya
dipakai untuk menyebut semua jenis karya ilmiah hasil riset. Termasuk dalam
pengertian ini adalah laporan penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif, sepanjang
ditulis dengan kaidah ilmiah, ia disebut disertasi.
Disertasi bisa menjadi tesis
kalau ia ditambah dengan analisis yang lebih mendalam, ditambah juga dengan
elaborasi teoritis, ditambah lagi dengan konseptualisasi dan abstraksi yang
lebih padat. Oleh sebab itu, tidak bisa dipungkiri biasanya tesis memang lebih
tebal jumlah halamannya. Hal ini jadi wajar di beberapa tempat di luar negeri, ketika
menyebut disertasi, yang dimaksudkan sebetulnya adalah apa yang di sini biasa
dibilang skripsi.
Di level skripsi, mahasiswa memang
tidak diminta untuk melakukan eloborasi teoritik, juga tidak diharuskan membuat
konseptualisasi dan abstraksi yang rumit, meskipun juga tidak dilarang kalau
mau melakukannya. Kita jadi tahu sekarang mahasiswa di atas mungkin memaksudkan
naskahnya sebagai disertasi, dan pembimbing bertanya soal memperkuat tesisnya. Halaman
yang tebal belum tentu sudah ada tesisnya atau tesis malah bisa jadi kabur kalau
terlalu tebal. Ia mungkin berbobot dari aspek berat timbangannya saja, tidak
isinya.
Tapi apakah ini berarti tebal itu
tidak boleh? Bukan begitu maksudnya. Pada sekitar bulan April 2025, wakil
menteri pendidikan Indonesia pernah menyinggung soal ini. Ia mengkritik praktik
bertugas akhir di Indonesia yang tebal-tebal tapi tak ada isinya. Baginya,
seperti yang ia lihat di tempat-tempat lain di dunia, terutama di kampus di
mana ia mengajar dan bersekolah, yang terpenting adalah subtansi dan dampak,
bukan ketebalan.
Sayangnya kritik itu tidak dilanjutkan
dengan melihat sesuatu yang lebih mendalam, jadi kesannya hanya mempermasalahkan
tebal dan tipis saja. Sehingga orang bisa saja kemudian punya pandangan bahwa
yang bagus itu tipis. Padahal soal yang sesungguhnya bukan di situ tapi urusan
menghasilkan tesis dan argumentasi ini tidak pernah diurus dengan serius. Tidak
dalam maksud mengatakan semuanya tidak serius, tapi kalau mau jujur sebetulnya
ia sudah jatuh menjadi urusan yang dominan administratif dan sangat prosedural
untuk memenuhi syarat kelulusan.
Apalagi di tengah industrialisasi
pendidikan tinggi yang kompetisinya sudah tak karu-karuan sekarang ini, soal
menghasilkan pengetahuan bukan lagi prioritas. Karena institusi pendidikan
tinggi makin lama dibuat untuk tidak melihat masalahnya ada pada menghasilkan
ilmu tapi berapa banyak mahasiswa yang bisa direkrut. Mungkin terdengar
menyakitkan tapi itulah kenyataanya. Bahkan berserius dalam menghasilkan ilmu
mungkin dianggap usang dan ketinggalan jaman.
Oleh karena situasi ini terus
berlangsung tanpa henti, kelompok yang sangat terobsesi dengan orientasi kerja,
menjadikannya dalih untuk menghapuskan tugas akhir seperti skripsi, tesis atau
disertasi. Lalu mereka menggantinya dengan semacam produk atau proyek tertentu
yang dianggap lebih kelihatan wujudnya dan langsung bisa dirasakan manfaatnya
ketimbang menumpuk ribuan bundel kertas di rak-rak perpustakaan yang makin lama
makin penuh. Argumentasi ini pernah sangat kuat dan menjadi kebijakan publik
kementerian pendidikan tinggi saat dikepalai oleh seorang CEO perusahaan
transportasi online.
Tapi bahkan mungkin di luar
kesadaran masyarakat akademik sendiri, cara pandang yang demikian itu
mengesampingkan perbedaan mendasar antara menghasilkan pengetahuan dan memproduksi
barang siap jual. Niat awalnya mungkin ingin memperpendek jarak antara kampus
dan dunia industri tapi tanpa sadar justru mencerabut dunia keilmuan dari
fondasi dasarnya sebagai kritik. Secara perlahan-lahan pengerjaan tesis,
skripsi dan disertasi dibuat mirip dengan membuat kerajinan tangan. Keadaannya
makin tak tertolong dengan hadirnya berbagai macam alat pintar seperti AI dan
sejenisnya. Inilah yang membuat kenapa di luar sana layanan mengerjakan
kerajinan tangan tersebut laris manis dan makin menjamur.
Kembali ke soal perbedaan tesis
dan disertasi di atas, mungkin memang kita sudah terlanjur kaprah selama ini
dalam memperlakukannya, juga sepertinya tidak begitu signifikan kalau hanya
mengubah istilah tanpa menyegarkan sistem dan tradisi berpengetahuannya. Atau
juga bisa untuk tetap membuat kilah dengan mengatakan Indonesia ya Indonesia,
luar negeri ya luar negeri, -- kita punya tradisi sendiri, buat apa mengekor
negara lain. Mungkin ini bisa sedikit menenangkan dan memperlihatkan semacam
sikap merdeka kalau bukan malah upaya menutupi kenyataan yang sesungguhnya.
Entah di tempat lain, tapi memang
di Indonesia ini, yang namanya tugas akhir, entah tesis, skripsi atau disertasi
itu menyebalkan posisinya. Bisa dibilang penting nggak penting. Ia harus
dikerjakan sungguh-sungguh, berbulan-bulan bahkan sampai bergadang, tapi begitu
selesai harus dibuang. Pada akhirnya, yang ditanya adalah gelar anda apa, dari
kampus mana, atau berapa lama punya pengalaman, dan belakangan hal-hal itu juga
makin tidak penting, karena pertanyaannya berubah jadi anda bisa apa di dunia
digital ini. Terkadang malah yang dipersolakan adalah se-good looking
apa penampilan anda.
Pertanyaan itu sendiri tidak
salah karena memang meminta untuk berpikir laiknya seorang pekerja. Yang salah
adalah kalau kemudian menganggap bahwa berpikir yang menghasilkan ilmu tadi
tidak relevan dan harus diganti dengan berpikir proyek. Juga menjadi kurang
tepat kalau karena itu lalu proses berilmu harus dibelokkan ke arah yang sangat
vokasional sifatnya.[minto]
Referensi
Lunenburg,
F.C. & Irby, B.J. (2008) Writing a
Successful Thesis or Dissertation: Tips and Strategies for Students in the
Social and Behavioral Sciences. 1st ed.
Thousand Oaks, CA: SAGE Publications.
Creswell,
J.W. & Creswell, J.D. (2018) Research
Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. 5th ed. Thousand Oaks, CA: SAGE
Publications.
Blaikie, N.
(2000) Designing Social Research. Cambridge: Polity Press.
Adu, P.
& Miles, D.A. (2023) Dissertation
Research Methods: a Step-By-Step Guide to Writing Up Your Research in the Social
Sciences. 1st ed. New York: Routledge.

0 Komentar