Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

Apakah Selama Ini Kebalik? Inilah Perbedaan Menulis Tesis dan Disertasi di Indonesia


 ilustrasi by canva

sekolah riset satukata,-


Pada suatu hari seorang mahasiswa level doktoral tahap akhir datang menemui promotornya. Wajahnya cerah, langkahnya tegap, dan sinar matanya penuh keyakinan. Ia merasa percaya diri naskah setebal kira-kira 400 halaman yang ditentengnya dalam tas akan mendapat repson baik dari promotornya. Bayang-bayang kelulusan dan keluar dari penderitaan sudah tergambar jelas di dalam pikirannya.

Sang promotor, dengan wajah dan senyum ramah, menyambutnya. Setelah bercerita seperlunya, ia kemudian menyodorkan naskah itu. Saat melihat naskah tersebut, promotornya merespon dengan singkat, “Wah, disertasinya sangat berbobot, mas”.

Mendengar respon itu, si mahasiswa tadi senang dan merasa sangat diapresiasi. Singkat cerita, sang promotor meminta waktu untuk membacanya. Beberapa hari kemudian mahasiswa tadi menerima catatan. Dari sekian catatan, satu yang paling menarik perhatian bunyinya, “mohon untuk dikurangi kira-kira 100-150an halaman”. Selang kira-kira satu bulan si mahasiswa tadi datang dan dia benar-benar melenyapkan sekitar 100an halaman saja tanpa melakukan penulisan ulang atas argumennya menjadi lebih concise.

Apa yang menarik dari hal itu adalah, bagi mahasiswa tersebut, berbobot sama dengan kalau jumlah halamannya banyak. Dan banyaknya jumlah halaman mencerminkan kemampuan mengurai persoalan serinci mungkin. Sementara bagi pembimbingnya bukan itu. Berbobot bukan perkara tebal tipis tapi terkait dengan seberapa kuat argumentasinya. Pada akhirnya nanti yang akan diuji bukan jumlah halaman tapi kekuatan argumentasi.

Cerita di atas sebetulnya mencerminkan realitas dunia penulisan tugas akhir di Indonesia. Kalau dicermati lagi, dalam cerita di atas, baik pembimbing maupun mahasiswanya tidak salah. Kenapa demikian? Karena si mahasiswa tanpa ia sadari sedang merujuk pada arti sesungguhnya dari disertasi itu sendiri. Sementara pembimbing memaksudkan disertasi sebagai tesis.   

Untuk membuatnya lebih jelas kita perlu menengok dulu apa sebetulnya perbedaan tesis dan disertasi. Tentu saja ada banyak cara membedakannya dan boleh saja untuk, misalnya, setuju pada pendapat yang mengatakan skripsi itu hanya sampai pada menggambarkan objek saja. Sedangkan, yang dikatakan tesis kalau sudah melakukan uji dan menemukan tesa atas objek yang diteliti. Sementara itu, disertasi urusannya menguji tesanya lebih dalam lagi.

Tidak terlalu meleset, karena itulah pandangan yang umumnya dipahami selama ini, setidaknya di dalam tradisi akademik Indonesia yang dominan positivistik. Mungkin karena seperti itu cara melihatnya jadi terbentuk anggapan kalau disertasi harus lebih tebal dari tesis, dan tesis lebih tebal dari skripsi. Harus diakui, pada praktiknya, sebagian besar memang yang terjadi kurang lebih seperti itu. Juga tidak sedikit yang menganggap bahwa tingkatan itu sekaligus menandai level kesulitan yang berbeda dalam penulisannya.

Namun sebetulnya, sebagai perbandingan, tradisi akademik beberapa tempat di luar negeri tidak melihatnya seperti itu. Kalau di Indonesia, disertasi dianggap lebih sulit dari tesis, di sana justru tesis lebih sulit dari disertasi. Karena istilah disertasi seringnya dipakai untuk menyebut semua jenis karya ilmiah hasil riset. Termasuk dalam pengertian ini adalah laporan penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif, sepanjang ditulis dengan kaidah ilmiah, ia disebut disertasi.

Disertasi bisa menjadi tesis kalau ia ditambah dengan analisis yang lebih mendalam, ditambah juga dengan elaborasi teoritis, ditambah lagi dengan konseptualisasi dan abstraksi yang lebih padat. Oleh sebab itu, tidak bisa dipungkiri biasanya tesis memang lebih tebal jumlah halamannya. Hal ini jadi wajar di beberapa tempat di luar negeri, ketika menyebut disertasi, yang dimaksudkan sebetulnya adalah apa yang di sini biasa dibilang skripsi.

Di level skripsi, mahasiswa memang tidak diminta untuk melakukan eloborasi teoritik, juga tidak diharuskan membuat konseptualisasi dan abstraksi yang rumit, meskipun juga tidak dilarang kalau mau melakukannya. Kita jadi tahu sekarang mahasiswa di atas mungkin memaksudkan naskahnya sebagai disertasi, dan pembimbing bertanya soal memperkuat tesisnya. Halaman yang tebal belum tentu sudah ada tesisnya atau tesis malah bisa jadi kabur kalau terlalu tebal. Ia mungkin berbobot dari aspek berat timbangannya saja, tidak isinya.

Tapi apakah ini berarti tebal itu tidak boleh? Bukan begitu maksudnya. Pada sekitar bulan April 2025, wakil menteri pendidikan Indonesia pernah menyinggung soal ini. Ia mengkritik praktik bertugas akhir di Indonesia yang tebal-tebal tapi tak ada isinya. Baginya, seperti yang ia lihat di tempat-tempat lain di dunia, terutama di kampus di mana ia mengajar dan bersekolah, yang terpenting adalah subtansi dan dampak, bukan ketebalan.

Sayangnya kritik itu tidak dilanjutkan dengan melihat sesuatu yang lebih mendalam, jadi kesannya hanya mempermasalahkan tebal dan tipis saja. Sehingga orang bisa saja kemudian punya pandangan bahwa yang bagus itu tipis. Padahal soal yang sesungguhnya bukan di situ tapi urusan menghasilkan tesis dan argumentasi ini tidak pernah diurus dengan serius. Tidak dalam maksud mengatakan semuanya tidak serius, tapi kalau mau jujur sebetulnya ia sudah jatuh menjadi urusan yang dominan administratif dan sangat prosedural untuk memenuhi syarat kelulusan.  

Apalagi di tengah industrialisasi pendidikan tinggi yang kompetisinya sudah tak karu-karuan sekarang ini, soal menghasilkan pengetahuan bukan lagi prioritas. Karena institusi pendidikan tinggi makin lama dibuat untuk tidak melihat masalahnya ada pada menghasilkan ilmu tapi berapa banyak mahasiswa yang bisa direkrut. Mungkin terdengar menyakitkan tapi itulah kenyataanya. Bahkan berserius dalam menghasilkan ilmu mungkin dianggap usang dan ketinggalan jaman.

Oleh karena situasi ini terus berlangsung tanpa henti, kelompok yang sangat terobsesi dengan orientasi kerja, menjadikannya dalih untuk menghapuskan tugas akhir seperti skripsi, tesis atau disertasi. Lalu mereka menggantinya dengan semacam produk atau proyek tertentu yang dianggap lebih kelihatan wujudnya dan langsung bisa dirasakan manfaatnya ketimbang menumpuk ribuan bundel kertas di rak-rak perpustakaan yang makin lama makin penuh. Argumentasi ini pernah sangat kuat dan menjadi kebijakan publik kementerian pendidikan tinggi saat dikepalai oleh seorang CEO perusahaan transportasi online.

Tapi bahkan mungkin di luar kesadaran masyarakat akademik sendiri, cara pandang yang demikian itu mengesampingkan perbedaan mendasar antara menghasilkan pengetahuan dan memproduksi barang siap jual. Niat awalnya mungkin ingin memperpendek jarak antara kampus dan dunia industri tapi tanpa sadar justru mencerabut dunia keilmuan dari fondasi dasarnya sebagai kritik. Secara perlahan-lahan pengerjaan tesis, skripsi dan disertasi dibuat mirip dengan membuat kerajinan tangan. Keadaannya makin tak tertolong dengan hadirnya berbagai macam alat pintar seperti AI dan sejenisnya. Inilah yang membuat kenapa di luar sana layanan mengerjakan kerajinan tangan tersebut laris manis dan makin menjamur.

Kembali ke soal perbedaan tesis dan disertasi di atas, mungkin memang kita sudah terlanjur kaprah selama ini dalam memperlakukannya, juga sepertinya tidak begitu signifikan kalau hanya mengubah istilah tanpa menyegarkan sistem dan tradisi berpengetahuannya. Atau juga bisa untuk tetap membuat kilah dengan mengatakan Indonesia ya Indonesia, luar negeri ya luar negeri, -- kita punya tradisi sendiri, buat apa mengekor negara lain. Mungkin ini bisa sedikit menenangkan dan memperlihatkan semacam sikap merdeka kalau bukan malah upaya menutupi kenyataan yang sesungguhnya.   

Entah di tempat lain, tapi memang di Indonesia ini, yang namanya tugas akhir, entah tesis, skripsi atau disertasi itu menyebalkan posisinya. Bisa dibilang penting nggak penting. Ia harus dikerjakan sungguh-sungguh, berbulan-bulan bahkan sampai bergadang, tapi begitu selesai harus dibuang. Pada akhirnya, yang ditanya adalah gelar anda apa, dari kampus mana, atau berapa lama punya pengalaman, dan belakangan hal-hal itu juga makin tidak penting, karena pertanyaannya berubah jadi anda bisa apa di dunia digital ini. Terkadang malah yang dipersolakan adalah se-good looking apa penampilan anda.

Pertanyaan itu sendiri tidak salah karena memang meminta untuk berpikir laiknya seorang pekerja. Yang salah adalah kalau kemudian menganggap bahwa berpikir yang menghasilkan ilmu tadi tidak relevan dan harus diganti dengan berpikir proyek. Juga menjadi kurang tepat kalau karena itu lalu proses berilmu harus dibelokkan ke arah yang sangat vokasional sifatnya.[minto]   

 

 

Referensi

Lunenburg, F.C. & Irby, B.J. (2008) Writing a Successful Thesis or Dissertation: Tips and Strategies for Students in the Social and Behavioral Sciences. 1st ed. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications.

Creswell, J.W. & Creswell, J.D. (2018) Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. 5th ed. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications.

Blaikie, N. (2000) Designing Social Research. Cambridge: Polity Press.

Adu, P. & Miles, D.A. (2023) Dissertation Research Methods: a Step-By-Step Guide to Writing Up Your Research in the Social Sciences. 1st ed. New York: Routledge.


0 Komentar