Photo by Canva
Amin Tohari
Dalam dunia ilmu, seorang peneliti tidak hanya dituntut cakap dalam hal memproduksi pengetahuan, tapi juga harus bisa menyajikan hasil risetnya agar bisa dikonsumsi publik, mempunyai dampak dan berkontribusi pada kemajuan masyarakat.
Ada banyak ide-ide cerdas dan
pikiran-pikiran tajam tapi tak pernah jadi apa-apa dan berhenti hanya sebatas lamunan
atau mandeg dalam diskusi warung kopi. Kegagalan sebuah ide cerdas menjadi
terobosan peradaban salah satunya karena tidak tahu bagaimana ia dituliskan,
dan bagaimana disampaikan kepada khalayak luas.
Hal ini sebetulnya merupakan soal
yang sangat serius tapi jarang diperhatikan. Ambil contoh misalnya, dalam era
perjurnalan sekarang ini, yang awalnya diniatkan untuk mendorong para peneliti
dan dosen menulis karya ilmiah, ia bisa berubah membuat orang memahami bahwa
jurnal adalah satu-satunya cara bagaimana hasil riset dipublikasikan.
Ini bukan sesuatu yang salah tapi
tanpa sadar membuat hasil riset hanya untuk dikonsumsi oleh kalangan ilmuan dan
akademisi saja. Apa yang disebut dengan science to science ini semakin
menjauhkan ilmuan, akademisi, atau peneliti dari masyarakatnya. Dan entah
kenapa elitisasi ilmu ini berlangsung tanpa koreksi yang mendasar dan dibuat
seolah memenuhi standar keilmiahan dunia maju.
Supaya hasil riset tidak hanya
bisa dipahami oleh peneliti sendiri, diperlukan keterampilan untuk membuat
sistematika penulisan. Entah bagaimana selama ini kalau bicara sistematika
penulisan, biasanya hanya dikaitkan dengan semacam template yang berisi
urut-urutan pembahasan, mulai dari pendahuluan hingga kesimpulan. Ini tidak
terlalu meleset dan boleh-boleh saja, selama tidak plagiasi dan hanya sebatas
inspirasi.
Bahkan yang umumnya ditangkap dari
soal ini hanyalah sesuatu yang biasa disebut daftar isi atau outline.
Sehingga kadang-kadang para penstudi mencari contoh daftar isi dari tempat lain lalu menyalin, atau menyesuaikannya untuk
diterapkan dalam karya tulisnya. Cara ini juga tidak terlalu salah tapi mungkin
inilah yang membuat karya tulis antara satu angkatan dengan angkatan lainnya dalam
satu disiplin ilmu tidak jauh berbeda.
Tapi yang gagal ditangkap biasanya
adalah sebetulnya sesuatu di balik daftar isi atau sesuatu yang menjadi alasan
kenapa daftar isi harus disusun dengan cara tertentu dan bukan cara yang lain. Kalau
mau dirunut, di balik daftar isi sebetulnya ada sistematika analisis atau
kadang juga disebut urutan logis pembahasan. Di balik sistematika analisis ini
ada kerangka analisis dan di balik kerangka analisis ada argumen pokok. Kalau
dilanjutkan lagi, argumen pokok bisa tercipta kalau lebih dulu melakukan perkaitan
antara claim, reasoning dan evidence.
Argumentasi tidak muncul secara polos
dan tiba-tiba. Ia biasanya akan sangat berhubungan dengan asumsi tertentu dalam
menghasilkan pengetahuan ilmiah. Inilah kenapa urusan metodologi menjadi sangat
penting untuk dikuasai. Kelompok yang metodologinya realisme kritis, misalnya,
akan punya cara tersendiri dalam menjelaskan sesuatu. Berbeda dengan yang
positivisme, konstruksionisme ataupun refleksivisme (lihat tulisan lainnya di www.sekolahrisetsatukata.id)
Dalam praktik, sepertinya
ketidakhirauan pada urusan metodologi ini, berkaitan dengan disamakannya cara
menulis skripsi, tesis dan disertasi dalam satu model tertentu, yang
sangat bias positivisme. Akibatnya para penstudi memahami hanya itulah cara
dalam menuliskan tugas akhirnya. Bahkan sampai-sampai dibuat sistem untuk menilai
kalau tidak seperti itu cara menulisnya otomatis salah.
Yang perlu untuk diketahui
sebagai wawasan penting adalah sebetulnya tradisi penulisan ilmiah itu tidak
hanya satu saja. Ada yang lainnya juga dan semua sah untuk digunakan asalkan
kita tahu alasan metodologis di baliknya.
Yang pertama, atau tradisi
yang paling tua, atau yang paling mainstream adalah model penulisan yang
disebut IMRD (introduction, method, result, discussion).
Dalam model ini, bagian introduction biasanya tidak terlalu panjang
berisi konteks dan masalah yang hendak dicari jawabnya (pertanyaan). Bagian result
(hasil) berisi cerita empiriknya, atau gambaran konkret dan rinci objek yang
diteliti. Sedangkan bagian discussion (pembahasan) menjelaskan apakah
hipotesa terbukti atau tidak. Abstraksi diletakkan di bagian kesimpulan. Betul
memang model IMRD ini bias induktif dan empirisis.
Yang kedua adalah model
seperti menulis buku. Model ini kurang populer karena biasanya tidak diperbolehkan
dengan alasan karya ilmiah punya aturan sendiri, dan yang dimaksud adalah model
yang pertama. Model kedua ini disebut topic-based dissertation. Penulis
membahas topik-topik tertentu untuk menjelaskan argumen besarnya.
Sekilas kelihatannya lebih
gampang tapi sebetulnya setiap satu topik berisi satu argumen, atau satu reasoning.
Hal yang tidak cukup mudah di model ini adalah abstraksi tidak ditulis di belakang,
tapi ia dibangun saat menyusun sistematika penulisan. Model ini punya empat
bagian yang meliputi pendahuluan, konteks, isi dan penutup.
Yang ketiga adalah model
yang tidak banyak dianjurkan karena memang cukup rumit. Cara yang ketiga ini
mirip cara kedua cuma skalanya lebih mendalam. Kalau dibayangkan, isi disertasi
atau tesis bukan kumpulan topik seperti dalam cara kedua, tapi setiap bab
merupakan satu kajian tersendiri yang terpisah dari bagian lainnya (studies-based).
Tidak berhenti di situ saja,
setelah melakukan penulisan pada setiap bab, tugas berikutnya adalah menjahit
semua kajian-kajian tersebut menjadi satu penjelasan yang utuh dan padu. Setiap
satu kajian sebetulnya merupakan satu disiplin ilmu. Berapa banyak disiplin
ilmu yang digunakan dalam menulis disertasi, sebanyak itulah isi pembahasannya.
Cara ini sekarang sudah tidak
banyak digunakan, tapi ada masa di mana ada anggapan bahwa kalau menulis
disertasi setidaknya melibatkan lebih dari satu disiplin ilmu, sebab seharusnya
di level ini sudah multidisiplin atau interdisiplin, bukan lagi monodisiplin.
Untuk aturan masa studi doktoral yang makin diperpendek, cara ini memang
dianggap tidak logis, dan akhirnya seperti lenyap dan tak pernah ada. Lalu cara
pertama dianggap lebih cepat.
Yang keempat, ini biasanya
diterapkan dalam tradisi Amerika di mana modelnya seperti orang menulis tapi
dengan cara menyicil (article-based). Cara ini mengandaikan bahwa
sepanjang studi doktoral orang menulis terus, dan setiap tulisannya harus
diterbitkan di jurnal. Soal berapa jumlah tulisannya, setiap tempat punya
aturannya sendiri. Lalu yang disebut disertasi adalah kumpulan dari
tulisan-tulisan yang diterbitkan itu. Tentu saja tidak di sembarang jurnal.
Untuk ini biasanya setiap universitas punya standar jurnal apa yang diakuinya.
Sampai di sini sekarang kita jadi
tahu bahwa tradisi penulisan ilmiah bukan hanya satu model saja. Masing-masing
model penulisan punya tantangannya sendiri. Memang betul bahwa selama ini,
setidaknya di Indonesia, tradisi pertama adalah yang paling dominan, sehingga
tradisi-tradisi lainnya kelihatan seperti tidak dianjurkan, bahkan juga tidak
dikasih tahu kalau ada.
Kita jadi tahu juga bahwa untuk
satu tradisi saja sudah cukup lumayan menghabiskan waktu dan energi dalam
menulisnya. Bisa saja kalau mau menggabungkan dua tradisi penulisan asalkan
siap menanggung semua syarat dan ketentuannya.
Demi untuk memajukan pendidikan tinggi dan meningkatkan kualitasnya, Indonesia memang selalu unik dengan menggabungkan tiga tradisi sekaligus. Sudah disuruh menulis disertasi, diminta pula menulis jurnal, lalu diharuskan untuk kuliah rutin selama satu atau dua semester. Luar biasa.
Referensi
Hemmer, M.C.
& Fröhlich, T. (eds.) (2023) The Art
of Thesis Writing: A Comprehensive Guide to Authoring Academic Theses with
Foundations of Research. Unchained
Intellect Press.
Juma Mugan,
J. & Welwel, M.B. (2024) Dissertation
and Thesis Writing for Social Science Research: A Practical Guide. Journal
of Social Science and Human Research Bulletin.
Murray, R.
(2002) How to Write a Thesis. Buckingham: Open University Press.
Stephan, F., Mark, M. & Smith, I. (2019) A Practical Guide to Dissertation and Thesis Writing. Cambridge: Cambridge Scholars Publishing.

0 Komentar