Amin Tohari
Tak pernah ada yang mengira banjir yang menerjang Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat pada 7 Desember lalu akan sedahsyat itu. Air datang meluncur dari balik bukit-bukit membawa ribuan kubik kayu gelondongan menghantam pemukiman.
Rumah, jalan, jembatan, bangunan, sekolah, tertimbun, hancur, roboh, hanyut ditelan arus. Pemerintah tak mau disalahkan dengan mengatakan banjir itu karena tingginya curah hujan akibat siklon tropis senyar.
Tapi kayu-kayu gelondongan yang hanyut menyangkalnya. Ia bukti yang bicara sendiri bahwa ada
praktik penebangan hutan yang diam-diam dibiarkan, ada izin konsesi yang
diobral secara ugal-ugalan.
Pendekatan krisis sosial-ekologi juga membantahnya. Bahwa pada banjir itu kita tidak sedang melihat air dan kayu tapi kita sedang menyaksikan krisis.
Sebab krisis yang terjadi di wilayah sosial langsung
terkoneksi dengan krisis ekologi. Sebaliknya, ketika kita melihat ekologi yang krisis
atau terdegradasi, kita sedang menyaksikan sosial yang krisis.
Krisis di wilayah sosial
bentuknya aneka rupa eksploitasi tenaga kerja yang semakin brutal atas nama investasi. Sementara krisis di wilayah ekologi bentuknya adalah praktik ekstraktivisme
yang edan-edanan. Keduanya melayani hal yang sama, kapital.
Para ahli kapitalisme pinggiran juga
melihat bahwa wilayah frontier selalu mengalami proses perampasan yang
dilakukan dengan cara pembersihan, penyingkiran dan pemagaran (accumulation by dispossesion). Wilayah pinggiran
diperas karena ia paling jauh dari jangkauan kekuasaan dan membuatnya tak
terlihat.
Apa yang hendak ditegaskan oleh
baik cara pandang krisis sosial-ekologi maupun kapitalisme pinggiran itu adalah
ya, memang betul, ada faktor curah hujan; ya, memang betul, ada urusan
perubahan iklim dan sebagainya, tapi setiap bencana dan krisis sesungguhnya
sedang menguak struktur relasi kuasa yang timpang.
Itulah yang membuat penting untuk bertanya proses sosial politik apa yang beroperasi di balik krisis tersebut? Melengkapi dua cara pandang di atas, kita coba letakkan ini dalam telaah tentang politik ruang.
Sehingga pertanyaan kita adalah politik ruang seperti apa yang menciptakan krisis ruang sosial-ekologis itu? Sehingga dengan cara ini ketika melihat bencana seperti banjir (galodo) Sumatera sebetulnya yang sedang kita lihat adalah ruang yang sedang krisis.
Ini berlaku bukan hanya pada fenomena
banjir, tapi juga pada fenomena krisis yang lainnya.
Tapi bagaimana memahami ruang yang mengalami krisis itu? Untuk menjawab ini kita perlu menguak dulu bagaimana ruang diproduksi, dan bagaimana ruang diorganisasikan.
Politik ruang
memproduksi krisis dan krisis memungkinkan terbentukya politik ruang baru. Jadi,
bencana apapapun, pada dasarnya terkait erat dengan urusan ruang, lebih tepatnya
bencana itu soal pengaturan ruang.
Perhatikan misalnya gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir bandang. Setiap setelah bencana terjadi selalu ada upaya untuk membuat master plan perencanaan penataan ruang baru.
Mungkin
kelihatan terlalu buru-buru, tapi dalam banjir Aceh misalnya, belum lagi korban
terdampak selesai dievakuasi, salah seorang bupati sudah membayangkan ruang
baru untuk menanam sawit di lokasi banjir.
Kalau memang bencana ini soal
politik ruang, lalu bagaimana ruang diciptakan? Ada
banyak jawaban yang bisa menjelaskannya tentu saja, namun dalam kesempatan ini kita
akan pinjam seorang peneliti geografi kritis, profesor David Harvey.
Penjelasannya tentang penciptaan ruang sangat menarik. Ia mengatakan ruang diciptakan bukan oleh alam atau manusia tapi kapital. Jadi kalau kita melihat ruang terbentuk, berubah atau berkembang, yang sedang kita saksikan sebetulnya adalah arus kapital yang sedang bergerak.
Tidak
ada orang, subjek atau sosok di balik kapital itu sebab yang menggerakkan semuanya
adalah kapital itu sendiri.
Harvey memperhatikan bahwa ternyata kapital ini menciptakan ruang dengan beberapa cara. Cara yang pertama, ia lebih dulu melakukan konsentrasi. Sejak revolusi industri konsentrasi kapital menciptakan wilayah urban, kota-kota besar, di seluruh dunia.
Konsentrasi
kapital ini juga kadang disebut pusat pertumbuhan, ibu kota, kabupaten baru,
provinsi baru, pusat pemerintahan dan sebagainya. Di Indonesia, kapital
mendorong pemekaran wilayah untuk menciptakan ruang konsentrasi yang lebih banyak
dan tersebar.
Yang kedua, konsentrasi itu bisa terjadi kalau si kapital ini melakukan akumulasi. Caranya mengakumulasi adalah dengan menciptakan profit. Ada dua cara profit ini dikumpulkan yaitu dengan mengubah barang menjadi komoditi agar bisa dijual, dan mengubah manusia jadi buruh agar tenaganya bisa dibeli.
Kita jadi mengeri kenapa untuk itu hutan harus
ditebang, batu bara harus ditambang, sawit harus ditanam, dan buruh harus dikerahkan. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua prosesnya sama, hutan ditebang dulu, sawit ditanam, lalu batu bara ditambang.
Sebagai implikasi dari konsentrasi itu, yang ketiga, kapital tadi kemudian menciptakan dua ruang atau wilayah yaitu wilayah pusat dan wilayah pinggiran. Fungsi wilayah pinggiran adalah menyuplai kapital ke pusat. Yang dimaksud pusat ini bukan selalu harus Jakarta tapi juga bisa ibu kota provinsi atau kabupaten.
Bisa ditandai bahwa ketika terjadi
konsentrasi kapital, pasti ada tenpat yang disebut pinggiran dan ada yang
disebut pusat. Penggundulan hutan, pengerukan tambang, pembukaan perkebunan
pasti terjadi di wilayah pinggiran ini.
Ternyata selain menyuplai pusat, yang keempat, wilayah pinggiran ini juga berfungsi untuk melokalisir krisis sehingga kalau terjadi bencana, yang terkena langsung adalah wilayah pinggir.
Ini
supaya wilayah pusat konsentrasi kapital tidak terganggu. Ini juga merupakan
cara memitigasi krisis agar tidak terjadi sangat mendalam dan menghancurkan
semuanya.
Kelima, kapital memproduksi ruang juga dengan menyiapkan aturan izin penguasaan kawasan (public goods privatization), aturan tenaga kerja dalam bentuk undang-udang Omnibus Law misalnya, termasuk menetapkan UMR, dan kapital juga melakukan pembagian kerja yang spesifik.
Siapa yang jadi dokter, siapa yang jadi polisi, guru, sopir,
bankir, politisi, wartawan, pilot dan seterusnya. Semuanya diarahkan untuk
melipatgandakan profit dan memastikan akumulasi kapital bisa berjalan dengan
mulus.
Agar semua itu beroperasi, keenam, kapital kemudian menata ruang pendukung sekitarnya (built environment) misalnya dengan pembentukan daerah-daerah urban baru. Ini adalah wilayah yang ditata dengan master plan ruang tertentu.
Di situ harus ada sekolah, rumah
sakit, daerah pemukiman, pasar, jalan raya, tempat olah raga, wilayah
pertanian, destinasi wisata, pusat pemerintahan dan sebagainya. Implikasinya, ruang yang
dulunya hutan harus ditebang, yang dulunya sawah harus dikonversi, yang dulunya
pemukiman harus digusur.
Yang ketujuh, kapital sendiri ternyata menyadari bahwa sewaktu-waktu ia bisa krisis. Agar krisis tidak terjadi dia melakukan yang namanya temporal fix, atau membeli masa depan, dengan mencari sumber-sumber pendanaan berupa kredit, obligasi, investasi dan sebagainya.
Itulah sebabnya pemerintah selalu
sibuk dengan urusan investasi dan investasi.
Selain mengkompresi waktu, kapital juga memanipulasi ruang (spacial fix). Ini dilakukan agar ketika terjadi kemandegan putaran kapital di satu tempat, ia bisa dipindahkan ke lain tempat dengan mudah.
Fiksasi ruang ini bisa berjalan kalau juga ada pemerintah yang dibentuk pada tingkat lokal untuk memuluskan perpindahannya. Inilah penjelasannya kenapa dibentuk kabupaten atau provinsi baru, termasuk kecamatan dan desa-desa baru.
Masuk akal bukan jika sekarang kita punya 38 provinsi, 93 kota,
415 kabupaten, 24 Kawasan Ekonomi Khusus. Dan akan terus bertambah di masa depan.
Cara Harvey menjelaskan ini membantu kita mengerti bahwa galodo Sumatera adalah kulminasi dari krisis politik ruang yang sebelumnya terjadi secara brutal.
Inilah arti dari bahwa banjir, longsor, kabut asap, kebakaran dan sebagainya mengungkap proses akumulasi kapital yang sebenarnya.
Krisis itu sendiri memang inheren di dalam
proses akumulasi kapital. Maksudnya, produksi ruang memang akhirnya melahirkan
krisis. Tapi ironisnya krisis ini dibutuhkan untuk memproduksi ruang yang baru.
Tampak sekarang bahwa apa yang sedang kita saksikan adalah politik ruang kapital di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, mungkin juga daerah-daerah lainnya, telah menciptakan krisis ekologis.
Dan kalau kita setuju dengan perspektif geografi kapital ini, maka bencana banjir tersebut hanya bisa diatasi atau dipulihkan juga dengan mereorganisasi akumulasi kapital baru.
Operasinya terjadi lewat skema-skema kekinian, misalnya transisi energi,
perdagangan karbon, sustainable development, patungan membeli hutan,
mitigasi perubahan iklim dan lain sebagainya.
Tanpa adanya mobilisasi kapital sulit bagi daerah-daerah yang luluh lantak tersebut kembali pulih. Yang terkandung dalam rekonstruksi pasca bencana di mana-mana seluruhnya adalah rencana penataan ruang yang baru, yang artinya juga mengorganisasi akumulasi kapital baru.
Politik ruang memang melahirkan krisis, tapi ia juga yang membuat krisis itu diatasi.
Kita selalu sibuk mencari dan menangkap pelaku pembalakan liar, tapi kita tidak pernah menghukum kapital yang menciptakan ruang dan melahirkan bencana.
Referensi
Andresen,
S.A. (2020) ‘Contesting Scale: A Space of the Political in a Post-Disaster
Context’, Political Geography, Elsevier.
Harvey, D.
(2000) Spaces of Hope. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Harvey, D.
(2001) Spaces of Capital: Towards a
Critical Geography. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Harvey, D.
(2007) The Limits to Capital. Updated ed. London: Verso.
Harvey, D.
(2010) The Enigma of Capital and the
Crises of Capitalism. Oxford:
Oxford University Press.
Satukata
Research School (2024) Political
Space: Ruang, Kekuasaan dan Politik. Pertemuan VI—Geografi Ruang dan Kapital.
0 Komentar