Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

Kapasitas Produksi Ruang dan Politik Pemulihan Bencana

Illustration by Canva

sekolah riset satukata,-

Amin Tohari

Sampai sekitar dua puluh tiga hari setelah banjir bandang Sumatera, dan saat tulisan ini sedang disusun, di media sosial pembicaraan masih didominasi oleh isu tentang status bencana. Pemerintah daerah dan sebagian masyarakat mendesak pemerintah pusat menaikkan statusnya menjadi bencana nasional. Di pihak yang lain, presiden, sebagai representasi pemerintah nasional masih belum bergeming dari sikap awalnya. Banjir tiga wilayah itu belum bisa diberi status sebagai bencana nasional.

Pembicaraan lain yang juga cukup ramai adalah terkait dengan bantuan dari luar negeri. Pemerintah nasional tetap berpendirian untuk tidak membuka pintu bantuan asing. Pemerintah daerah terutama Aceh dan kelompok-kelompok masyarakat tertentu bersikap sebaliknya. Bantuan asing sudah harus dipanggil untuk mengatasi bencana tersebut.  

Di luar dua isu itu ada banyak perbincangan lainnya juga misalnya siapa yang paling peduli dan siapa yang cuma omong kosong. Ada juga yang berusaha untuk menyorotkan angel kamera ke heroisme TNI, kecepatannya bergerak, dan aksi nyatanya, dibanding kelompok masyarakat sipil lainnya.

Sesuatu yang mengesankan kompetisi kedermawanan dan kepedulian juga masih menjadi bahan omongan. Misalnya, siapa saja yang menyumbang, berapa besaran angka sumbangannya, bagaimana cepatnya sumbangan itu dikumpulkan, dan seterusnya.   

Peran para selebgram juga menjadi perhatian untuk memperlihatkan bahwa mereka lebih efektif, punya pengaruh lebih kuat, dalam hal memobilisasi sumber daya daripada misalnya institusi-institusi formal pemerintah. Mereka juga lebih cepat membantu, lebih duluan sampai di lokasi yang terdampak paling parah.

Di tengah hiruk pikuk penanganan, muncul juga himbauan untuk tidak mempolitisasi bencana. Memang maksudnya agar tidak memanfaatkan bencana untuk tebar-tebar pesona, untuk sekedar mencari momen pencitraan semata seperti dilakukan oleh seorang menteri yang memanggul karung beras. Kita bisa setuju dengan himbauan ini bahwa yang dikedepankan haruslah rasa kemanusiaan.

Tapi kalau kita perhatikan dengan baik sebetulnya semua perbincangan yang beredar di media digital maupun konvensional hampir tidak ada yang tidak politis. Semua pembicaraan itu adalah pembicaraan politis, mulai dari soal apakah ini bencana lokal atau nasional. Perlukah memobilisasi bantuan asing, bagaimana sistem koordinasi lokal-nasional dalam penanganan bencana, juga keterlibatan TNI dalam proses evakuasi dan seterusnya.

Jadi rasa-rasanya bencana apapun, termasuk banjir bandang, sebetulnya adalah fenomena politik. Dan sejak awal ia tidak bisa menghindar dari politisasi. Kenapa demikian karena kalau tidak dipolitisasi ia tidak bisa ditangani. Kalau setuju dengan ini maka kita seharusnya punya politik yang bagus dalam menangani bencana apa saja termasuk banjir bandang bukan malah menghindarinya.

Untuk punya politik yang bagus itu pertama-tama yang harus dilakukan adalah menjelaskannya dengan cara politik. Lalu pertanyaan berikutnya apa penjelasan yang bisa membantu melihatnya dengan cara politik dan membuat kita bisa punya politik yang bagus dalam menangani bencana.

Sudah tentu ada banyak penjelasan namun kali ini kita akan membicarakannya dalam kerangka politik ruang. Kenapa ini lebih tepat karena, yang pertama, hampir semua pembicaraan tentang banjir, tanpa disadari, adalah pembicaraan tentang ruang. Itu berarti dalam bencana, juga dalam hal lainnya, cara berpikir ruang inilah yang menonjol.

Yang kedua, kenapa banjir bandang Sumatera 2025 disebut bencana? Sama seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, gunung meletus, yang disebut bencana sebetulnya adalah peritiwa kehancuran ruang. Ketika itu terjadi, pengetahuan, konsep dan imajinasi ruang yang sebelumnya ada sudah sama sekali tak berfungsi.

Ketiga, ketika bencana terjadi, saat semua rata dengan tanah, bangunan dan batas-batas hilang, kita seperti harus memproduksi ruang baru. Ini tak bisa dihindari karena kalau tidak maka kita tidak bisa menanganinya. Kita tidak bisa hidup dengan normal tanpa adanya pengetahuan ruang.

Dunia yang kita tinggali ini bisa kita hidupi karena kita memproduksi ruang itu setiap hari. Ketika ruang yang kita bangun terganggu, hidup seperti berada dalam kekacauan. Apalagi kalau kehancurannya terjadi secara massif, tingkat kekacauannya jelas akan semakin tinggi.   

Keempat, tapi kenapa setiap kali terjadi bencana atau kehancuran ruang, kita selalu bisa mengatasinya? Menurut Henry Lefebvre itu bisa terjadi karena kita ini memang punya kapasitas memproduksi ruang. Artinya kalau kita tidak punya kapasitas ini sulit dibayangkan kita bisa pulih dari bencana. Kalau kita bisa mengetahui bagaimana kapasitas produksi ruang itu beroperasi mungkin kita bisa cepat pulih.

Persis di situlah proyek penelitian Henry Lefebvre yaitu memahami dan mengungkap bagaimana kapasitas produksi ruang itu beroperasi. Dari penelitiannya yang panjang, ia menemukan beberapa hal menarik. Pertama, ia melihat bahwa ruang tidak bisa diproduksi secara individual. Produksi ruang selalu berada dalam sosial. Dan yang dimaksudkan dengan sosial di sini adalah proses memproduksi ruang itu sendiri.

Kedua, ternyata cara bagaimana yang sosial itu memproduksi ruang melibatkan tiga proses yaitu spatial space, yaitu aktivitas hidup misalnya makan, sekolah, kerja, ibadah, piknik dan sebagainya. Kemudian ada proses konseptualisasi ruang (representations of space atau conceived space) misalnya membuat denah ruang, peta ruang, partisi ruang, tata ruang. Proses yang lainnya adalah ruang yang hadir dalam imajinasi, dalam memori, dalam sejarah kolektif (representational spaces).

Yang ketiga, tidak hanya sampai di situ saja, ternyata Lefebvre memperhatikan bahwa ketiga cara produksi ruang itu saling berkontestasi satu sama lain. Perhatikan bencana banjir di atas, sebagian kelompok memproduksi banjir sebagai fenomena alam dengan menampilkan gambar gelombang air, rumah yang hanyut, jembatan runtuh, jumlah korban meninggal, jumlah korban terdampak, situasi menyedihkan pasca banjir. Ruang ini disebut dengan spatial space atau percieved space.

Kelompok lain memobilisasi pengetahuan profesional dari ilmu banjir, ilmu hidrologi, ilmu tata ruang, ilmu lingkungan, ilmu cuaca, ilmu tata pemulihan bencana dan seterusnya. Melalui ilmu peta diperlihatkan area tutupan hutan yang sudah gundul di beberapa titik untuk menunjukkan penyebab banjir. Inilah ruangnya para ahli yang disebut concieved space.

Kelompok yang lain memproduksi ruang bencana itu dengan memperlihatkan aksi kedermawanan, mereka memobilisasi bantuan, menggalang dana, mendorong solidaritas kolektif, memperkuat empati terhadap para korban, menghimbau untuk tidak mempolitisasi, dan seterusnya. Ada juga yang menangis dengan mengasosiasikan banjir dengan tsunami Aceh. Lefebvre menyebut ruang ini dengan lived space atau representational spaces.

Dalam setiap bencana, ketiga ruang itu, masing-masing seperti saling mengokupasi. Di banjir bandang tersebut ketiganya juga kelihatan saling tumpang tindih dan kita seperti bingung menyaksikannya karena diajak dan ditarik untuk berpindah-pindah produksi ruang. Kita bisa berada di lebih dari satu ruang secara sekaligus. Inilah maksud dari bahwa produksi ruang tidak pernah terjadi di luar politik.

Tapi pertanyaannya, kalau kita sudah tahu hal itu, terus apa? Menurut Lefebvre produksi ruang ini pada akhirnya didominasi oleh ruangnya para profesional, urban planner. Mereka menyusun master plan, mengukur, mempartisi, menentukan fungsi, membatasi, membuat regulasi ruang dan sebagainya.

Perhatikan saja setelah bencana ini diatasi, akan ada yang mengecek sungai, berapa dalamnya, berapa lebarnya, bagaimana perubahan fungsinya. Juga ada yang mempelajari pola aliran banjirnya, dari mana datangnya, mana saja areal yang dilaluinya, kemana perginya. Ada juga yang mengecek tutupan hutan, mana yang kritis, mana yang masih bagus, siapa pelakunya. Dari mana datangnya kayu-kayu gelondongan, siapa menebangnya. Semua jawaban ini akan menentukan bagaimana ruang berikutnya ditata.

Lefebvre kemudian melanjutkan, meskipun produksi ruang para profesional ini menang, tetapi ia terus disubversi oleh spatial space dan lived space. Dalam kasus erupsi Merapi di Yogyakarta, kengerian itu malahan menjadi atraksi wisata baru padahal para profesional sudah membuat zonasi wilayah bahaya. Itu juga yang menjelaskan kenapa di kota-kota tertentu jalan raya yang dibuat untuk memperlancar transportasi malah jadi tempat demonstrasi.    

Cara yang biasa digunakan oleh concieved space para profesional dalam mengambil alih penataan ruang adalah dengan mengatakan bahwa yang mereka lakukan itu objektif dan terukur, didasarkan pada pengamatan yang teliti, dan dilegitimasi pengalaman dari banyak tempat yang sudah teruji.

Tapi Lefebvre lebih jauh mengamati bahwa concieved space ini selalu mengalami subversi. Ini karena ia menciptakan yang namanya abstract space atau ruang yang tidak punya jiwa, kaku, berisi ukuran, geometris, ruang yang nggak asyik. Tapi ironisnya abstract space ini malah melahirkan ruang lain yang disebutnya dengan differential space yang berfungsi mentransformasinya. Itulah yang menjelaskan kenapa di urban space akan selalu ada mural, pengamen di lampu merah, pedagang kaki lima di trotoar.

Kalau kita bawa ini ke dalam banjir bandang ceritanya akan menjadi, tata ruang dirancang oleh profesional dalam mode produksi concieved space. Setelah dikunci dalam regulasi perda tata ruang, ia menjadi abstract space. Pembalakan liar, konversi lahan, tambang ilegal muncul sebagai differential space. Keduanya lalu memicu banjir parah yang menciptakan krisis ruang. Banjir ini kemudian memanggil produksi ruang baru berikutnya dengan menciptakan abstract space dan differential space yang lainnya. Begitu seterusnya, karena kita tidak bisa hidup kalau tidak memproduksi ruang, dan prosesnya berlangsung dengan sangat politis.

 

Referensi

Goonewardena, K., Kipfer, S., Milgrom, R. and Schmid, C. (eds.) (2008) Space, Difference, Everyday Life: Reading Henri Lefebvre. London: Routledge.

Lefebvre, H. (1984) Everyday Life in the Modern World. New York: Routledge.

Lefebvre, H. (1991) The Production of Space. Translated by D. Nicholson-Smith. Cambridge, MA: Blackwell.

Lefebvre, H. (2004) Rhythmanalysis: Space, Time and Everyday Life. New York: Bloomsbury Academic.

0 Komentar