Selamat Datang di Sekolah Riset Satukata, Untuk informasi Kelas Riset dapat langsung menghubungi 082223235503

“Perutnya Kaget”: Keracunan MBG, Politik Ransum Prajurit dan Kebijakan Populis

 

Photo by Canva

sekolah riset satukata,-

Pada sebuah pertemuan antara pengurus sekolah dan komite terjadi diskusi yang menarik tentang MBG. Diskusi itu berawal dari pertanyaan salah satu orang tua, “bagaimana sikap sekolah terhadap MBG?”

Secara jauh sebelumnya anak-anak sudah selalu disediakan makan siang di sekolah melalui iuran bulanan, dan orang tua tidak keberatan dengan ini. Bahkan makan siang di sekolah ini ditata untuk mendidik anak-anak berbudaya antri, mengambil secukupnya agar yang lain tetap kebagian, dan mandiri mencuci alat makannya sendiri, lalu menyimpannya di tempat yang benar. Sesekali sekolah berdialog dengan anak-anak dan orang tua tentang menu makanan apa yang mereka inginkan.

Terkait dengan soal MBG, pihak sekolah menyampaikan situasi dilematis yang dihadapinya. Kalau diterima, orang tua akan mempertanyakan bagaimana dengan iuran makan siang anak-anak sebelumnya. Situasi ini bisa menimbulkan kesan double budget tapi kalau iuran makan siang yang sebelumnya ditiadakan, implikasinya ada dua. Sekolah akan kehilangan pemasukan, dan Mak Jirah, tukang masak, kehilangan pekerjaan. Ini menyedihkan karena hanya itu pekerjaan yang bisa ia dapatkan.

Apa Mereka Penting?

Pertanyaannya adalah apa yang bisa dikatakan dari cerita dilema MBG di sebuah sekolah swasta kecil itu?

Sebagian dari kita mungkin beranggapan, “Itu kan hanya sebuah sekolah kecil saja. Ada lebih banyak sekolah lain yang tidak mempermasalahkannya kok. Ia tidak bisa dijadikan representasi dari semua sekolah yang ada”.

Pandangan seperti ini tidak salah, tentu saja, karena ia berangkat dari cara berpikir sampel dan populasi untuk generalisasi. Kalaupun misalnya ada banyak sekolah lain yang menghadapi persoalan sama semua akan ditimbang dengan rumus sampel dan populasi ini. Kalau jumlahnya tidak terlalu dominan ia tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai semua. Dan itu artinya mereka dianggap tidak terlalu penting.

Tapi kita coba lihat dari sisi lain sehingga bisa memahaminya lebih komprehensif. Tidak terjebak pada memperlakukan cerita kecil itu sebagai anomali saja.

Anak Bodoh Kurang Makan

Setiap kali mendengar tentang MBG apa yang sering dimunculkan ke publik adalah soal-soal di sekitar, anak Indonesia harus makan makanan bergizi supaya cerdas dan pintar. Ini artinya, yang pertama, menganggap kecerdasan dan kepintaran itu hubungannya adalah dengan makanan. Mungkin tidak terlalu salah.

Tapi tanpa disadari ini seperti mengatakan bahwa sebagian besar yang cerdas dan pintar adalah anak yang cukup makan dan cukup gizi. Kita segera tahu kemudian bahwa anak-anak yang seperti ini sudah pasti dari golongan kelas mampu.

Dari sini saja sudah bisa ditangkap betapa MBG ini sebetulnya bias kelas mampu. Dan kebijakan ini sendiri menjadi semacam upaya agar anak-anak kelas bawah berperilaku makan seperti anak kelas atas, dari waktunya hingga menunya.

Saat mendapati kasus keracunan di beberapa lokasi, para pejabat elit persis merespon dengan cara kelas atas ini, “perutnya kaget belum terbiasa, jangan dibesar-besarkan”.  

Yang kedua, pandangan ini tidak bisa masuk akal tanpa sebelumnya menganggap anak-anak Indonesia bodoh karena kurang makan. Kita sudah dengan cepat bisa membaca kebijakan yang asumsinya seperti itu hanya bisa keluar dari mulut kelompok sosial atas, yang merasa cerdas karena cukup makan.

Meskipun di beberapa daerah muncul penolakan atas argumen itu dengan mengatakan bahwa cerdas dan pintar bukan soal makanan tapi akses pendidikan, pemerintah tetap tak menggubrisnya.

Tampak jelas sekarang bagi kita kelemahan mendasar apa yang ada dalam kebijakan ini. Pertama, sudah pasti kebijakan itu bias kelas yang secara tak langsung mengatakan mereka yang bukan kelas atas selalu kurang makan, kalau makan pasti makanannya tidak bergizi, dan tidak gratis. Semua tahu bahwa presiden yang menginisiasi kebijakan ini lahir memang dari anak gedongan.

Kedua, kebijakan itu tidak cukup memiliki argumen yang benar-benar kuat, misalnya, kalau MBG jawabannya, lalu pertanyaannya apa sebenarnya. Publik seperti langsung disodori jawaban tanpa diberi ruang mempersoalkan pertanyaannya dulu.

Ketiga, kebijakan itu terkesan otoriter karena tidak memberi ruang bagi sekolah untuk menolaknya. Semua sekolah harus menerima persis seperti sekolah kecil di atas. Tidak pernah ada dialog yang benar-benar terjadi secara rasional dan komunikatif dengan pihak sekolah, dan lebih-lebih lagi dengan anak-anak. Ini artinya kebijakan itu tidak demokratis sejak dari awalnya.

Politik Ransum Prajurit

Seorang peneliti dari Perancis, Pierre Bourdieu mengatakan cara orang berpikir dan bertindak tergantung pada habitus yang membentuknya. Bukan itu saja, habitus ini bahkan juga membentuk selera makan, musik, fashion dan sebagainya.

Kalau kita bawa ini ke dalam cerita MBG, hal yang mungkin jarang disadari adalah habitus dunia militer yang membentuk presiden. MBG kurang lebih merupakan bentuk eksternalisasi dari habitus ini.

Habitus dunia militer yang paling dekat dengan kebijakan MBG ini adalah ransum prajurit. Ransum ini diberikan saat prajurit sedang menjalankan penugasan di lapangan. Kebutuhan dan jumlah ransum disesuaikan dengan durasi tugas untuk memastikan prajurit mendapat pasokan makanan kaya protein dan nutrisi.

Habitus seorang komandan batalion adalah berusaha memastikan prajuritnya kuat bertempur dan staminanya prima karena itu asupan ransumnnya harus bergizi, dan ransum ini juga harus gratis.

Prajurit tidak boleh komplain pada ransum yang diberikan. Apapun menunya harus dimakan. Ia harus menyesuaikan diri dengan rasa dan isi ransum, bukan ransum yang menyesuaikan selera makannya. Jadi, kalau terjadi sesuatu setelah makan ransum, itu tanda tubuh dan lambungnya yang kaget belum terbiasa.

Habitus ransum prajurit ini semacam mengalami ekstrapolasi dalam MBG. Ransum diganti dengan “makan”, kaya nutrisi dan protein diganti “bergizi”, diberikan secara “gratis”. Dan harus dimakan, tidak boleh komplain. Jadi, habitus dunia militer membuat presiden melihat rakyatnya, --terutama anak-anak seperti prajurit yang sedang bertempur di medan perang, harus kuat dan cukup makan.

Tapi, bagaimanapun, sekolah bukan barak tentara.

Habitus Populis

Meskipun habitus prajurit kuat mempengaruhi, tapi demokrasi menuntut siapapun untuk tampil merakyat. Konkretisasi dari yang disebut “merakyat” itu muncul dalam “makan siang gratis”. Memang setelah tahu besarnya beban anggaran untuk Makan Siang Gratis (MSG), janji populis ini mengalami reduksi menjadi Makan Bergizi Gratis (MBG).

Tapi kenapa walaupun MBG juga menyedot anggaran sangat besar, rezim ini sepertinya tetap tak ingin bergeming?

Kalau kita lihat dua habitus sebelumnya, anak gedongan dan prajurit, memang hanya MBG ini yang paling bisa mengkatrol sisi “merakyat”-nya. Ini dipertahankan karena merupakan titik ikat demokrasi paling kuat sekarang ini. Tanpa itu yang akan terlihat darinya hanya elitismenya.

Kalau tidak lagi ada dimensi populisme dalam kepemimpinannya, ia akan menghadapi guncangan sangat keras karena memperlebar jurang antara kaum elit dan rakyat.

Demonstrasi besar di bulan Agustus lalu sudah memperingatkannya lebih awal. [ATI]

 

 

 

 


1 Komentar

  1. Pakah kebijakan yg diuandangkan bisa dihetikan? Dikarnakan kekagalan didepan mata tidak mau menghentikan haya karna kebijakan politik atau ego semata, andai kebijakan politik disesuaukan kebutuhan rakyat setempat mungkin akan lbh baik

    BalasHapus