Pada
sebuah pertemuan antara pengurus sekolah dan komite terjadi diskusi yang
menarik tentang MBG. Diskusi itu berawal dari pertanyaan salah satu orang tua,
“bagaimana sikap sekolah terhadap MBG?”
Secara
jauh sebelumnya anak-anak sudah selalu disediakan makan siang di sekolah
melalui iuran bulanan, dan orang tua tidak keberatan dengan ini. Bahkan makan
siang di sekolah ini ditata untuk mendidik anak-anak berbudaya antri, mengambil
secukupnya agar yang lain tetap kebagian, dan mandiri mencuci alat makannya
sendiri, lalu menyimpannya di tempat yang benar. Sesekali sekolah berdialog
dengan anak-anak dan orang tua tentang menu makanan apa yang mereka inginkan.
Terkait
dengan soal MBG, pihak sekolah menyampaikan situasi dilematis yang dihadapinya.
Kalau diterima, orang tua akan mempertanyakan bagaimana dengan iuran makan
siang anak-anak sebelumnya. Situasi ini bisa menimbulkan kesan double budget
tapi kalau iuran makan siang yang sebelumnya ditiadakan, implikasinya ada dua. Sekolah
akan kehilangan pemasukan, dan Mak Jirah, tukang masak, kehilangan pekerjaan. Ini
menyedihkan karena hanya itu pekerjaan yang bisa ia dapatkan.
Apa
Mereka Penting?
Pertanyaannya
adalah apa yang bisa dikatakan dari cerita dilema MBG di sebuah sekolah swasta
kecil itu?
Sebagian
dari kita mungkin beranggapan, “Itu kan hanya sebuah sekolah kecil saja. Ada
lebih banyak sekolah lain yang tidak mempermasalahkannya kok. Ia tidak bisa dijadikan
representasi dari semua sekolah yang ada”.
Pandangan
seperti ini tidak salah, tentu saja, karena ia berangkat dari cara berpikir
sampel dan populasi untuk generalisasi. Kalaupun misalnya ada banyak sekolah
lain yang menghadapi persoalan sama semua akan ditimbang dengan rumus sampel
dan populasi ini. Kalau jumlahnya tidak terlalu dominan ia tidak bisa dijadikan
patokan untuk menilai semua. Dan itu artinya mereka dianggap tidak terlalu
penting.
Tapi kita coba lihat dari sisi lain sehingga bisa memahaminya lebih komprehensif. Tidak terjebak pada memperlakukan cerita kecil itu sebagai anomali saja.
Anak
Bodoh Kurang Makan
Setiap
kali mendengar tentang MBG apa yang sering dimunculkan ke publik adalah
soal-soal di sekitar, anak Indonesia harus makan makanan bergizi supaya cerdas
dan pintar. Ini artinya, yang pertama, menganggap kecerdasan dan
kepintaran itu hubungannya adalah dengan makanan. Mungkin tidak terlalu salah.
Tapi
tanpa disadari ini seperti mengatakan bahwa sebagian besar yang cerdas dan
pintar adalah anak yang cukup makan dan cukup gizi. Kita segera tahu kemudian
bahwa anak-anak yang seperti ini sudah pasti dari golongan kelas mampu.
Dari
sini saja sudah bisa ditangkap betapa MBG ini sebetulnya bias kelas mampu. Dan
kebijakan ini sendiri menjadi semacam upaya agar anak-anak kelas bawah berperilaku
makan seperti anak kelas atas, dari waktunya hingga menunya.
Saat
mendapati kasus keracunan di beberapa lokasi, para pejabat elit persis merespon
dengan cara kelas atas ini, “perutnya kaget belum terbiasa, jangan
dibesar-besarkan”.
Yang
kedua, pandangan ini tidak bisa masuk akal tanpa sebelumnya menganggap
anak-anak Indonesia bodoh karena kurang makan. Kita sudah dengan cepat bisa
membaca kebijakan yang asumsinya seperti itu hanya bisa keluar dari mulut kelompok
sosial atas, yang merasa cerdas karena cukup makan.
Meskipun
di beberapa daerah muncul penolakan atas argumen itu dengan mengatakan bahwa cerdas
dan pintar bukan soal makanan tapi akses pendidikan, pemerintah tetap tak
menggubrisnya.
Tampak
jelas sekarang bagi kita kelemahan mendasar apa yang ada dalam kebijakan ini. Pertama,
sudah pasti kebijakan itu bias kelas yang secara tak langsung mengatakan mereka
yang bukan kelas atas selalu kurang makan, kalau makan pasti makanannya tidak
bergizi, dan tidak gratis. Semua tahu bahwa presiden yang menginisiasi
kebijakan ini lahir memang dari anak gedongan.
Kedua, kebijakan itu tidak cukup memiliki
argumen yang benar-benar kuat, misalnya, kalau MBG jawabannya, lalu
pertanyaannya apa sebenarnya. Publik seperti langsung disodori jawaban tanpa
diberi ruang mempersoalkan pertanyaannya dulu.
Ketiga, kebijakan itu terkesan otoriter karena tidak memberi ruang bagi sekolah untuk menolaknya. Semua sekolah harus menerima persis seperti sekolah kecil di atas. Tidak pernah ada dialog yang benar-benar terjadi secara rasional dan komunikatif dengan pihak sekolah, dan lebih-lebih lagi dengan anak-anak. Ini artinya kebijakan itu tidak demokratis sejak dari awalnya.
Politik
Ransum Prajurit
Seorang
peneliti dari Perancis, Pierre Bourdieu mengatakan cara orang berpikir dan
bertindak tergantung pada habitus yang membentuknya. Bukan itu saja, habitus
ini bahkan juga membentuk selera makan, musik, fashion dan sebagainya.
Kalau
kita bawa ini ke dalam cerita MBG, hal yang mungkin jarang disadari adalah
habitus dunia militer yang membentuk presiden. MBG kurang lebih merupakan
bentuk eksternalisasi dari habitus ini.
Habitus
dunia militer yang paling dekat dengan kebijakan MBG ini adalah ransum prajurit.
Ransum ini diberikan saat prajurit sedang menjalankan penugasan di lapangan.
Kebutuhan dan jumlah ransum disesuaikan dengan durasi tugas untuk memastikan
prajurit mendapat pasokan makanan kaya protein dan nutrisi.
Habitus
seorang komandan batalion adalah berusaha memastikan prajuritnya kuat bertempur
dan staminanya prima karena itu asupan ransumnnya harus bergizi, dan ransum ini
juga harus gratis.
Prajurit
tidak boleh komplain pada ransum yang diberikan. Apapun menunya harus dimakan. Ia
harus menyesuaikan diri dengan rasa dan isi ransum, bukan ransum yang
menyesuaikan selera makannya. Jadi, kalau terjadi sesuatu setelah makan ransum,
itu tanda tubuh dan lambungnya yang kaget belum terbiasa.
Habitus
ransum prajurit ini semacam mengalami ekstrapolasi dalam MBG. Ransum diganti
dengan “makan”, kaya nutrisi dan protein diganti “bergizi”, diberikan secara
“gratis”. Dan harus dimakan, tidak boleh komplain. Jadi, habitus dunia militer
membuat presiden melihat rakyatnya, --terutama anak-anak seperti prajurit yang
sedang bertempur di medan perang, harus kuat dan cukup makan.
Tapi,
bagaimanapun, sekolah bukan barak tentara.
Habitus
Populis
Meskipun
habitus prajurit kuat mempengaruhi, tapi demokrasi menuntut siapapun untuk
tampil merakyat. Konkretisasi dari yang disebut “merakyat” itu muncul dalam
“makan siang gratis”. Memang setelah tahu besarnya beban anggaran untuk Makan
Siang Gratis (MSG), janji populis ini mengalami reduksi menjadi Makan Bergizi
Gratis (MBG).
Tapi
kenapa walaupun MBG juga menyedot anggaran sangat besar, rezim ini sepertinya
tetap tak ingin bergeming?
Kalau
kita lihat dua habitus sebelumnya, anak gedongan dan prajurit, memang hanya MBG
ini yang paling bisa mengkatrol sisi “merakyat”-nya. Ini dipertahankan karena merupakan
titik ikat demokrasi paling kuat sekarang ini. Tanpa itu yang akan terlihat darinya
hanya elitismenya.
Kalau
tidak lagi ada dimensi populisme dalam kepemimpinannya, ia akan menghadapi
guncangan sangat keras karena memperlebar jurang antara kaum elit dan rakyat.
Demonstrasi
besar di bulan Agustus lalu sudah memperingatkannya lebih awal. [ATI]
1 Komentar
Pakah kebijakan yg diuandangkan bisa dihetikan? Dikarnakan kekagalan didepan mata tidak mau menghentikan haya karna kebijakan politik atau ego semata, andai kebijakan politik disesuaukan kebutuhan rakyat setempat mungkin akan lbh baik
BalasHapus