dg0kK7z4hBqCLDVmtdPEXSsEQoHeMBlGLRgNyHZQ

Cerita Dari Pesisir Tanakeke

Depolitisasi Pemerdayaan vs Repolitisasi Pemberdayaan untuk Demokrasi Radikal

 
Repolitisasi pem(b)erdayaan dalam kerangka proyek hegemoni, deliberasi dan demokasi radikal Dr. Amin Tohari (Direktur Sekolah Riset SATUKATA) Mengapa penting membicarakan (lagi) empowerment? Atau apa yang terjadi dengan empowerment sehingga dia perlu dibicarakan (lagi)? Dan apa pentingnya diskusi tentang empowerment ini untuk memikirkan demokrasi kita? 

Setidaknya ada empat hal yang menurut saya sangat mendasar sehingga kita harus membicarakan (lagi) empowerment. Pertama, empowerment atau pemberdayaan sudah dianggap sebagai sesuatu yang “gitu-gitu aja”, banal. 

Pernyataan ini sebetulnya menyimpan dua asumsi; tidak ada yang salah dengan empowerment dan sudah terlalu banyak kajian empowerment. Kalaupun kita membicarakannya kita tidak akan pergi ke mana-mana. Pemikiran ini kurang lebih mau mengatakan kalau empowerment ini sebetulnya sudah menjadi banalitas. Karena dia sudah banal maka apa pentingnya membicarakan (lagi) soal “mandi dua kali sehari”. Empowerment bahkan kemudian mengalami sedimentasi sebagai “kerjaannya orang-orang LSM”. 

Yang kedua, sebagian dari mereka yang mencoba melihat empowerment secara lebih kritis menyimpulkan hal yang kurang lebih sama bahwa tak ada menariknya membicarakan empowerment. Karena bagi mereka empowerment ini sudah gagal. Ada sekian banyak bukti yang bisa ditunjukkan untuk itu. Ada sekian ratus intervensi penanggulangan kemiskinan, sekian triliun APBN dialokasikan untuk memerangi kemiskinan, tapi kemiskinan itu tidak pernah sirna, malahan bertambah. Tidak terlalu salah mengatakan bahwa intervensi yang dilakukan kurang maksimal. 

Jawaban yang kedua justru lebih menarik, sepertinya memang kemiskinan ini dipelihara. Yang tidak disadari dari intervensi memerangi kemiskinan apapun, sebetulnya program-program seperti sedang memproduksi kemiskinan. 

Ketiga, oleh karena sudah sedemikan itu kondisinya, empowerment dianggap tidak lagi punya elan politik dalam dirinya, ter-depolitisasi. Empowerment sudah bukan lagi politik karenanya tidak lagi menarik meletakkannya sebagai isu politik. 

Dengan kata lain, empowerment sudah terdepolitisasi dalam dua hal; yang pertama ia sudah menjadi rutinitas berisi tata kerja, target-terget keluar, laporan-laporan hasil, penyerapan anggaran dan seterusnya. Yang kedua dia dianggap tidak lagi mengemban misi transformasi struktur kekuasaan. Orang-orang yang dulu memperjuangkan empowerment, kini dijerat oleh kekuasaan dan menjadi bagian dari struktur yang dulu dilawannya. Empopwerment sudah menjadi kata yang tidak ada maknanya, semua bisa mengatasnamakan empowerment untuk melancarkan kepentingannya. 

Yang keempat, empowerment tidak lagi relevan dibicarakan sebagai isu politik, yang memungkinkan kelompok-kelompok lemah dalam masyarakat dapat mengambil kontrol pada isu-isu publik. Empowerment sudah dimodifikasi sedemikian rupa oleh lembaga-lembaga donor internasional untuk menundukkan masyarakat kecil dunia ketiga, dengan memasukkannya ke dalam skema sirkulasi pasar dan modal internasional, melalui skema community driven development. 

Menggunakan empowerment sebagai skema politik rakyat sama halnya dengan masuk ke dalam jebakan batman. Jika demikian itu keadaannya, apakah peluang melakukan repolitisasi empowerment masih terbuka? Kalau masih terbuka, bagaimana kemungkinannya bisa terlihat lebih jelas?
Related Posts

Related Posts

Posting Komentar