Apakah Kita Berada dalam Krisis Kapitalisme? Trump, Perang Tarif dan Defisit Profit Global
Kalau kita amati perkembangan ekonomi-politik nasional dan global sekarang ini, kita seperti mendapati kenyataan yang mengkhawatirkan. Daya beli masyarakat turun, korupsi kian menggila, komunikasi politik pemerintah terkesan anti-kritik, proses pembuatan undang-undang bias elite, defisit anggaran negara yang mengejutkan, PHK buruh dan ribuan orang kehilangan pekerjaan, jutaan tenaga kerja muda menganggur, kebijakan pemerintah yang tidak tepat, tidak ada kekuatan oposisi, partai-partai dikunci dalam koalisi, dan masih banyak lagi. Kita masih akan dikagetkan dengan kejadian-kejadian aneh lainnya lagi nanti.
Menarik kalau situasi ini kita dekati dengan perspektif kapitalisme sehingga kita bisa bertanya apakah kita sekarang sudah berada di dalam krisisnya?
Kenapa perspektif ini menarik untuk digunakan? Yang pertama, ia akan membantu kita melihat sebuah fenomena termasuk Indonesia sebagai perkembangan kapitalisme—bukan perkembangan modernisasi. Kedua, ketika melihat krisis politik, perspektif ini akan mencegah kita meletakkannya sebagai peristiwa yang berdiri sendiri—terlepas dari kondisi-kondisi struktural. Ketiga, kita akan dibawa untuk melihat ketika terjadi krisis politik pada dasarnya yang sedang krisis adalah kapitalisme.
Pertanyaanya bagaimana cara kita mengetahui kapitalisme sedang krisis atau belum? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini, tapi kita akan menggunakan penjelasan yang sedikit klasik, yang mengatakan bahwa salah satu cara melihat kapitalisme sudah krisis atau belum adalah dengan memperhatikan class struggle-nya.
Kenapa demikian karena, pertama, kalau class struggle ini bisa diungkap kita akan tahu kelas mana dan kelas mana yang sedang saling berhadap-hadapan. Kedua, dalam setiap babak kapitalisme, kelas borjuasi akan cenderung membangun koalisi besar. Grand coalition ini terbentuk karena merespon kelas rakyat yang juga sedang menguat. Ketiga, pertarungan dua kelas tersebut selain merupakan respon terhadap krisis kapitalisme juga akan mengubah model kapitalisme lama dan memunculkan model kapitalisme baru. Keempat, pertarungan itu pada akhirnya mengubah fomasi negara dan membuat kita harus membentuk jenis negara (tatanan sosial) baru untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan kapitalisme yang paling mutakhir.
Para pengkaji Indonesia, terutama mereka yang menggunakan perspektif Marxisme seperti Richard Robison atau Rex Mortimer punya kesimpulan yang menarik bahwa perubahan Indonesia ditentukan oleh bagaimana krisis kapitalisme terjadi dan partarungan kelas berlangsung. Perspekif ini telah sangat membantu mereka menjelaskan kenapa Indonesia 1945 berbeda dengan Indonesia 1959, berbeda juga dengan Indonesia1967, dan berbeda lagi dengan Indonesia 1998. Peneliti seperti Vedi R Hadiz melihat tidak ada perubahan struktur kelas dan formasi koalisi elite di Indonesia pasca Orde Baru.
Bagi yang belajar ekonomi politik,
secara sederhana ada dua penjelasan tentang krisis kapitalisme. Yang pertama disebut krisis sekular dan yang kedua krisis politik. Krisis yang
pertama biasanya dijelaskan dengan sangat ekonomi, dan krisis yang kedua
penjelasannya lebih dominan politik. Meskipun dalam kenyataan antar keduanya
tidak mudah dipisahkan secara tegas karena saling terkait satu sama lain.
Kalau kita bawa dalam konteks situasi
sekarang, penjelasan yang pertama akan menekankan faktor-faktor ekonomi,
misalnya, apakah keadaan mendekati kondisi dimana pelaku-pelaku ekonomi sudah
kehilangan profit. Situasi kehilangan profit ini biasanya akan muncul dalam
banyak ekspresi seperti efisiensi, inovasi mesin dan teknologi produksi,
perbesar ekonomi digital yang mengandalkan pemasaran (Startup), dan
terjadinya pemutusan hubungan kerja yang bersifat massal. Fenomena ini bukan
hanya terjadi di Indonesia, negara-negara lain juga mengalaminya. Defisit
profit global memaksa negara-negara mengubah kebijakan domestiknya, termasik
melakukan penyesuaian tarif untuk melindungi defisit anggaran. Kalau
diperhatikan apa yang dilakukan Donald Trump persis berada dalam krisis ini.
Sementara krisis politik akan
mengarahkan perhatian pada fenomena meluasnya keresahan sosial yang terekspresi
dalam tuntutan-tuntutan spesifik. Misalnya, naikkan upah, cairkan gaji ke tiga
belas, turunkan tunjangan kinerja, berantas korupsi dan sebagainya. Ekspresi
ini juga bisa muncul dalam bentuk gelombang protes yang semakin luas, dilakukan
oleh kelompok-kelompok masyarakat yang semakin beragam, dan membawa tuntutan-tuntutan
tertentu.
Kedua krisis tersebut memiliki
efek yang luar biasa dalam membentuk atau membentuk ulang formasi negara. Negara
Indonesia 1945 misalnya, ia terbentuk dari kapitalisme perkebunan yang
mengalami krisis, karena wataknya yang ekstraktif dan eksploitatif, sehingga
mendorong kelas yang ditindas bangkit melawan. Indonesia Merdeka kemudian
menjadi kondensasi dari berbagai macam ketidakpuasan dan keresahan masyarakat. Setelah
itu lalu kita punya negara Indonesia pertama yang relatif stabil mulai 1945 sampai
sekitar 1959.
Kapitalisme mengalami krisis
ketika ia tidak lagi bisa mengakumulasi keuntungan. Watak dari keuntungan ini sendiri
ia hanya bisa dihasilkan oleh tenaga kerja produktif, bukan lewat inovasi
teknologi kerja, ataupun oleh tenaga kerja tidak produktif (marketing). Jadi
mungkin kapitalisme bisa melakukan efisiensi, misalnya dengan menambah beban
kerja, menambah waktu kerja, atau memperbarui mesin kerja. Mungkin juga dengan
memperbesar anggaran untuk marketing. Hanya saja ironinya, justru dengan
cara itu kapitalisme meningkatkan level eksploitasinya. Tapi ketika level
eksploitasi ini meningkat terus ia malah sedang menciptakan krisisnya sendiri.
Ketika krisis terjadi, biasanya
kapitalisme akan melakukan dua intervensi. Yang pertama lewat intervensi ekonomi, dan yang kedua intervensi politik. Intervensi ekonomi dilakukan misalnya
dengan menurunkan atau menyesuaikan tarif, kadang juga membuat amnesti pajak,
menurunkan tingkat suku bunga, menjaga keseimbangan nilai tukar mata uang, menstabilkan
harga kebutuhan pokok, atau menaikkan pendapatan dengan misalnya membuat gaji
ke tiga belas, menambah jenis tunjangan kinerja, memperbarui mesin kerja,
termasuk memperbesar ekonomi digital.
Sementara di wilayah politik, upaya
mengatasi krisisnya diarahkan untuk menciptakan konsensus. Ini dilakukan dengan
berbagai macam cara, misalnya, melenyapkan atau melemahkan kelompok oposisi,
mengontrol media massa agar tidak menyuarakan kritik dan mem-blow up berita-berita
protes, mengaktivasi perangkat hukum untuk melemahkan kritik, mengubah cara
komunikasi dan sekuat mungkin membangun kesan bahwa situasi baik-baik saja, tak
perlu ada yang dikhawatirkan, semua hanya dinamika.
Dalam praktiknya kedua jenis
intervensi itu berjalan secara beriringan. Perhatikan misalnya saat nilai tukar
rupiah tembus ke angka 17.000, kelompok dominan mengatakan “tenang saja,
fondasi ekonomi kita lebih kuat”. Saat harga komoditas merangkak naik, kelompok
ini mengatakan “jangan makan terlalu pedas”. Ketika Donald Trump menaikan
tarif, keluar pernyataan “itu biasa saja, itu dinamika, jangan seolah-olah kita
akan hancur”. Terhadap defisit anggaran, dinyatakan “kita defisit, tapi tidak
kekurangan uang”. Ketika disinggung soal rasio utang, pernyataan yang keluar
“rasio utang kita masih dalam tingkat wajar dibandingkan negara-negara lain”.
Upaya menciptakan konsensus ini
bertujuan untuk membungkus atau menyamarkan situasi krisis yang sebenarnya
terus berlangsung di bawah permukaan. Sebetulnya mungkin krisisnya lebih besar
dari yang diperkirakan tapi terus saja berusaha untuk ditekan. “Indonesia
gelap” sebagai suara yang mencoba mengatakan hal lain kemudian dibingkai
sebagai bentuk provokasi untuk memecah belah.
Dengan cara ini mudah sekali kita
bisa membaca misalnya dalam rangka apa kebijakan-kebijakan sosial bernada
populis dilakukan. Selama lebih dari dua puluh tahun ada banyak sekali jenis kebijakan
yang seperti ini, misalnya, BLT (Bantuan Langsung Tunai), lalu diubah menjadi bantuan
sosial (Bansos), juga termasuk Makan Bergizi Gratis. Ribut-ribut soal Tunjangan
Hari Raya juga bentuk dari upaya membuat krisis yang sesungguhnya terjadi tidak
menyeruak ke permukaan.
Kalau kita kembali ke pertanyaan
di awal, apakah kapitalisme sedang krisis, jawabannya bisa bermacam-macam. Yang
jelas kapitalisme tidak mungkin tidak krisis. Dengan kata lain, krisisnya
terjadi terus menerus, hanya upaya menyamarkannya yang berubah-ubah. Kenapa
demikian karena kalau krisis itu betul-betul menyeruak kita semua takkan sanggup
menanggungnya. Cuman kalau ia menyeruak dan membuat situasinya kacau, kita
sebagai masyarakat akan dibuatnya berubah secara fundamental. Apakah kita
betul-betul siap berubah? [ATI]
Komentar
Posting Komentar