Butler dan Kuota Parlemen


Butler dan Kuota Parlemen

Bagi generasi yang lahir pasca tahun 2000 dan tumbuh di masa ketika demokrasi langsung sudah menjadi platform formal pengelolaan politik, mungkin saat mendengar kuota tiga puluh persen perempuan di parlemen akan menganggap itu sudah seperti sesuatu yang natural saja. Sebagaimana umum dipahami kuota tiga puluh persen adalah bentuk perjuangan hak perempuan di wilayah politik agar dapat mempengaruhi proses pengambilan kebijakan publik yang pro perempuan. Tapi dari mana asal-usulnya dan apa kaitannya dengan cerita Judith Butler tentang Gender Trouble?

Ketika Gender Trouble ditulis pada dekade 1980an, dunia gerakan sosial tengah mengalami pergeseran orientasi, jika pada masa-masa sebelumnya dilandaskan pada kelas sosial tertentu, pada masa itu isu utama gerakan sosial bukan lagi pada kelas sosial melainkan pada identitas. Pergeseran ini, dalam studi social movement, disebut dengan gerakan sosial lama untuk yang pertama dan gerakan sosial baru untuk yang kedua.

Gerakan sosial baru ini membawa angin segar bagi perjuangan keadilan dan kesetaraan di seluruh dunia. Bahwa ketertindasan bukan melulu faktor ekonomi sebagaimana hal ini menjadi dasar bagi gerakan-gerakan buruh. Tetapi ketertindasan lebih sering karena identitas. Ada banyak sekali orang yang “disingkirkan” karena dia bukan kulit putih misalnya, atau karena bukan orang asli, bukan laki-laki, bukan mayoritas, bukan bagian dari kelompok dominan dan seterusnya.

Salah satu avant garde gerakan sosial baru paling maju adalah gerakan perempuan atau feminisme. Gerakan ini meyakini bahwa seseorang itu ditindas karena dia perempuan bukan yang lain. Jadi kalau misalnya ada perempuan, miskin, kulit hitam, penganut kepercayaan, masyarakat adat dan tidak pernah sekolah maka pertanyaannya, dia ditindas karena perempuannya kah atau karena miskinnya kah, karena kulit hitamnya kah, karena kepercayaannya kah, karena masyarakat adatnya kah atau karena kebodohannya? 

Sudah tentu boleh saja mengatakan semua itu penting tetapi gerakan perempuan, baik gelombang pertama maupun kedua, akan menekankan bahwa semua ketertindasan itu pertama-tama disebabkan oleh karena perempuannya. Kita sekarang menyaksikan mulai dari badan-badan internasional, donor-donor pembangunan, pemerintah, non-govermental organization, kampus-kampus dan seterusnya mengubah banyak hal untuk mengarusutamakan perempuan, mendengar suara perempuan, menyediakan kuota khusus untuk perempuan dan sebagainya.

Harus diakui bahwa gerakan itu membuat banyak sekali perempuan bisa keluar dari keterbatasannya, menduduki posisi-posisi penting di badan-badan publik, memperjuangkan hak-haknya, sekolah tinggi dan mendapat beasiswa, lebih punya peluang mendapatkan pekerjaan, dan seterusnya.

Judith Butler menyaksikan semua itu. Ia bahkan terlibat dalam banyak kegiatan pengarusutamaan gender. Ia setuju dengan semua itu. Di tengah kuatnya arus perjuangan hak-hak perempuan di seluruh dunia, dia mengajukan pertanyaan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Pertanyaan itu adalah, “ngomong-ngomong yang kita maksud perempuan ini siapa sebetulnya? atau dalam kalimat lain, perempuan itu apa?

Tentu saja ada banyak yang menganggap pertanyaan itu tidak penting, mungkin ada juga yang merasa terganggu, tapi banyak juga yang terpantik untuk berpikir berbeda. Mengapa demikian karena hampir semua gerakan perempuan saat itu membayangkan perempuan sebagai sesuatu yang sudah jadi, tunggal, dan semuanya tertindas. Ketika pertanyaan ini datang ia membuat banyak hal terkait perempuan dan gender menjadi trouble. Kalau dibaca dengan bahasa lain kira-kira akan terdengar, “jadi ribut-ribut soal perempuan ini sebetulnya sedang membicarakan perempuan yang mana?”.

Sebagian mungkin menuduh Butler telah melemahkan perjuangan perempuan. Anggapan itu mungkin tidak salah. Cuma dia seperti sedang mengajak kita bertanya jangan-jangan perempuan sebagai subjek memang selalu berada dalam proses yang belum jadi. Kalau begitu ceritanya maka yang harus diketahui lebih lanjut adalah bagaimana subjek ini terbentuk. Di titik inilah proyek intelektualnya tertuju. (AT)  

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memori Kolektif

Sigmund Freud ; Psikoanalisis Dalam Kejiwaan Manusia

Kuasa Pencitraan