Vitality, Ibu Bumi dan the Real: Bagaimana Psikoanalisa Membantu Memahami Politik Lingkungan Lebih Baik



Master class politik ekologi kritis sudah hampir berakhir, tapi para peserta masih merasa justru ada semakin banyak hal yang musti dibicarakan lagi secara lebih mendalam. Salah satunya adalah terkait pendekatan psikoanalisis. Meskipun sudah mulai ada yang menggunakannya tapi, khususnya di Indonesia, pendekatan ini belum begitu familiar dipakai misalnya untuk menjelaskan tentang politik lingkungan, dibanding misalnya pendekatan mainstream seperti politik ekologi yang kuat dipengaruhi ekonomi politik Marxist. 

Tentu saja tidak ada satu pendekatan yang lebih hebat dibanding lainnya. Setiap pendekatan memiliki keunikan, kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Memahami fenomena lingkungan dengan berbagai pendekatan membuat kita bisa menyelami sisi-sisi yang mungkin tak tersentuh oleh hanya satu pendekatan saja.

Salah satu kontribusi penting, jika boleh dikatakan demikian, dari pendekatan psikoanalisis adalah ia membantu kita mengerti mengapa meskipun orang tahu bahwa tindakan yang dilakukannya membahayakan lingkungan namun ia tetap saja melakukannya. Mengapa meskipun orang tahu bahwa penggunaan air conditioner secara besar-besaran dapat meningkatkan suhu bumi tapi tetap saja rumah, sekolah, gedung-gedung perkantoran semua melakukannya. Pemerintah bukannya tidak tahu menambang nikel besar-besaran di Sulawesi Tenggara dan Maluku merusak lingkungan, tapi kenapa tetap saja dilakukan. Kita bukannya tidak tahu bahwa listrik yang kita gunakan membuat kita harus menambang minyak dan batu bara lebih banyak, tapi kenapa kita tidak berhenti memakai listrik. Kita bukannya tidak tahu bahwa pembangunan yang kita lakukan berdampak buruk bagi lingkungan, tapi entah kenapa kita tidak pernah bisa berhenti melakukannya.

Kalau misalnya kita ditanya apakah kita serius tentang transisi energi, jawabannya pasti serius.  Apakah kita serius tentang mitigasi perubahan iklim, jawabannya juga pasti sama. Tapi kenapa seserius itu pula kita melakukan hal-hal yang berkebalikan dengannya. Jangan-jangan semua proyek tentang lingkungan itu hanya selubung ideologis untuk menyembunyikan hasrat kita yang memang maunya mengeksploitasi alam. Mungkin bisa salah tapi kalau kita perhatikan respon yang muncul sangat developmentalis, misalnya terang saja karena ada uang besar di situ, ada akumulasi profit, ada keuntungan material, ada kapital yang diburu.

Penjelasan yang hampir menjadi common sense seperti itu masih oke, tapi psikoanalisis tidak melihatnya dengan cara demikian. Psikoanalisis akan mengatakan betul bahwa ini ada kaitannya dengan manipulasi ideologi tapi bisa nggak kita memahami kalau manipulasi itu tidak terjadi di wilayah knowlegde atau reason karena toh nyatanya pengetahuan yang banyak soal lingkungan tidak mampu menghentikan orang, negara, pemerintah, perusahaan, organisasi masyarakat sipil dan sebagainya merusak lingkungan bahkan dengan skala yang jauh lebih massif dari sebelumnya dan dijustifikasi dengan menggunakan moral, etika bahkan juga dalam rangka menyejahterakan.

Lalu kalau manipulasi ideologi itu tidak lewat pengetahuan atau reason, terus dia masuk lewat mana? Bagi psikoanalisis ideologi itu masuknya lewat belief atau keyakinan. Kenapa demikian karena kalau orang sudah yakin pada sesuatu atau seseorang maka apapun keadaannya ia akan tetap mencintainya. Para pendukung Soekarno bukan tidak tahu kalau Soekarno mempunyai sisi-sisi gelap tapi toh mereka tetap mencintainya. Begitu juga yang dilakukan pada pendukung presiden Gus Dur, SBY, Jokowi dan seterusnya. Meskipun mereka tahu junjungannya kadang aneh dan mungkin ngawur tapi tetap saja mereka mencintainya.

Ideologi yang masuk lewat belief itu jauh lebih cepat dan lebih permanen dalam menciptakan doing atau kelakuan. Dengan ini psikoanalisis kira-kira mengajak kita untuk kalau mau lihat apakah orang betul-betul membela lingkungan atau tidak jangan lihat dari knowledgenya tapi perhatikan bagaimana kelakuannya. Bahkan sebetulnya ia akan menciptakan berbagai macam simbolisasi agar kelakuannya tetap bisa diterima. Itu yang menjelaskan kenapa sekarang kita banyak menjumpai istilah-istilah yang seperti berpihak pada lingkungan padahal maksudnya supaya kelakuan berpembangunan yang dilakukan selama ini tidak terus disalahkan-salahkan.

Misalnya, siapa yang tidak tahu bahwa pratik berpembangunan kita selama ini memproduksi sampah. Lalu pada soal sampah ini kita melakukan yang namanya fetishistic disavowal, ini semacam cara untuk menghilangkan sampah dengan tidak lagi menyebutnya dengan sampah. Dengan menyebutnya secara demikian kita menginginkan semua mengubah perilaku nyampahnya. Bukan mau mengatakan bahwa semua upaya tersebut tidak berguna, tapi coba perhatikan bukankah semua itu adalah upaya yang dilakukan untuk tetap nyampah tapi dengan cara lain. Hal yang sama dengan ini juga bisa kita lihat pada misalnya market environmentalism, green job, green business dan green-green lainnya lagi.

Setiap terjadi krisis sebetulnya yang sedang krisis itu adalah fantasi kita sendiri, lalu untuk mengatasinya kita perlu membuat fantasi baru. Demikian juga pada krisis lingkungan. Lalu apa yang harus dilakukan? Psikoanalisis mengajak kita untuk melakukan yang namanya traversing fantacy. Dalam cerita tentang lingkungan traversing fantacy ini adalah dengan menempatkan alam sebagai the Real, sebagai yang tak terprediksi, sebagai sesuatu di luar manusia. Yang kita butuhkan mungkin keluar dari fantasi alam sebagai vitality, dan alam sebagai mother nature, dua fantasi inilah yang selama ini sangat dominan menguasai cara kita berkelakukan.

Tapi ini semua baru sekelumit cerita tentang psikoanalisa dan lingkungan, tapi kelasnya sudah mau berakhir, mungkin kita butuh satu kelas panjang untuk membahasnya lebih komprehensif. [AT]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memori Kolektif

Sigmund Freud ; Psikoanalisis Dalam Kejiwaan Manusia

Etika dalam Disrupsi