Sekularisasi Politik dan Kekuasaan Pra-Modern: Kita yang Mana?
sekolah riset satukata,-
Melihat perkembangan situasi sekarang
ini siapapun tak bisa melarang orang untuk punya kekhawatiran akan kembalinya
otoritarianisme. Meskipun pemerintah dan para pendukungnya terus berusaha
meyakinkan publik bahwa mereka akan menjamin kekhawatiran itu tidak terjadi. Apalagi
memang banyak studi yang mengungkapkan bahwa kita punya kecenderungan
otoritarian yang cukup besar dan demokrasi yang sejauh ini kita jalankan masih
belum berhasil sepenuhnya memukul mundur otoritarianisme. Studi-studi tentang
politik Indonesia itu menyebutkan bahwa otoritarianisme berakar dari sejarah, dari
budaya dan dari cara bagaimana kita, orang Indonesia ini, melihat kekuasaan. Jadi,
sekali pintunya dibuka, kesempatannya bisa meluas ke mana-mana.
Ada dua tesis dalam melihat hal
ini. Tesis yang pertama akan
cenderung berpendapat bahwa hilang dan tidaknya otoritarianisme akan tergantung
pada sejauh mana sekularisasi politik berhasil menjadi kesadaran kolektif. Sedangkan
cara pandang yang kedua melihat
otoritarianisme tidak akan hilang karena dia bersifat embeded dalam
politik Indonesia itu sendiri.
Baik tesis yang pertama maupun
kedua sama-sama berakar dari cara bagaimana melihat kekuasaan. Tesis yang
pertama memperlakukan kekuasaan sebagai sesuatu yang humanis dan karena itu
disebut sekular. Sedangkan yang kedua melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang ada
sebelum manusia sehingga kekuasaan inilah yang membentuk manusia dan bukan
sebaliknya. Cara melihat kekuasaan yang seperti ini kadang disebut dengan
istilah kekuasaan pra-modern meskipun sebutan itu sebetulnya bernada miring dan
bias tesis sekularisasi politik.
Dalam sekularisasi politik,
kekuasaan dipandang bersifat instrumental dan fungsional sehingga ia harus bisa
dievaluasi, seberapa berguna dan berperan penting bagi manusia. Kekuasaan harus
berada di bawah genggaman manusia. Ia harus bisa dikontrol manusia karena manusia
adalah pusatnya. Ketika kekuasaan malah membuat manusia menjadi sengsara dan tertindas,
kekuasaan yang seperti itu harus diganti.
Cara melihat kekuasaan yang
seperti ini sudah merasuk sangat dalam, sehingga di luar kesadaran kita sebetulnya
ketika orang belajar politik, yang dipelajarinya adalah kekuasasn sekuler ini. Ketika
orang bicara politik, kekuasaan yang sekular ini pula yang muncul dalam kata-katanya.
Bahkan oleh karena begitu kuatnya kekuasaan sekular ini, kalau misalnya ada orang
melihat dengan cara lain bisa dianggap ngawur, tidak paham politik atau bodoh.
Salah satu prinsip utama dalam
sekularisasi politik ini adalah agar tidak menindas manusia maka, yang pertama, kekuasaan itu harus tersebar
dan tidak boleh menumpuk atau terkonsentrasi di satu tempat. Yang kedua, supaya tidak menumpuk di satu
tempat, sumber kekuasaan ini harus berasal dari berbagai arah. Artinya kekuasaan
tidak boleh berasal hanya dari satu sumber saja. Yang ketiga, kekuasaan harus bisa berpindah-pindah sehingga siapapun
tanpa keistimewaan tertentu bisa mengaksesnya. Dari sini kita lalu mengenal
istilah suksesi kepemimpinan, pergantian kekuasaan.
Kalau kita perhatikan sebetulnya
ciri kekuasaan yang seperti itu adalah kekuasaan yang biasanya dipahami dalam masyarakat
barat. Dan cara memperlakukan kekuasaan tersebut sangat khas seperti yang dikenal
dalam birokrasi modern. Sekularisasi kekuasaan sangat percaya bahwa hanya
dengan cara itu otoritarianisme bisa dihapuskan. Kekuasaan seperti ini pula
yang sebetulnya menjiwai gerakan demokrasi di seluruh dunia. Dalam sekularisasi
politik tidak lagi ada kompromi, intinya, demokrasi harus ditegakkan dan
otoritarianisme harus ditumbangkan.
Tapi kalau argumen sekularisasi
politik itu kita ikuti, kita akan mendapati sesuatu yang sebetulnya agak tidak
menyenangkan. Sebab kalau demikian adanya maka selamanya masyarakat barat akan
lebih demokratis dibanding kita yang di dunia ketiga ini karena kita punya cara
melihat kekuasaan yang berbeda. Meskipun toh misalnya dunia ketiga seperti kita
ini mencoba menginstitusionalisasi kelembagaan demokrasi tetap saja cara bagaimana
kelembagaan itu dikelola masih lewat cara-cara yang tidak demokratis. Perhatikan
saja tesis-tesis tentang kemunduran demokrasi hampir semuanya mau mengatakan bahwa
yang menghambat demokratisasi Indonesia adalah sisa-sisa otoriarianisme yang
masih bertahan (patronage dan clientelism).
Kalau kita memang punya kecenderungan
otoritarian yang cukup kuat apakah lantas tidak bisa demokratis. Sekarang kita
coba melihat bagaimana tesis yang kedua merespon persoalan ini?
Bagi tesis kedua, kekuasaan itu sifatnya
tunggal, berasal dari sumber yang sama tapi dia bisa mengejawantah dalam bentuk
yang beragam. Jadi, kalau kita membawanya dalam cerita tentang demokrasi dan otoritarianisme,
keduanya bukan sesuatu yang saling bertentangan melainkan perwujudan kekuasaan
dalam rupa yang berbeda saja. Sehingga kekuasaan kadang mewujud dalam bentuk
yang demokratis dan kadang otoritarian, keduanya punya konteks dan fungsi yang berbeda
saja.
Kekuasaan, dalam pandangan ini,
tidak bisa digenggam oleh manusia. Dia ada lebih dulu sebelum manusia dan punya
kekuatan membentuk manusia. Sehingga manusia, di sini, hanya menjadi wadak
tempat ia menjelma saja. Kalau dilihat dengan cara ini, kita seperti melihatnya
sangat otoritarian. Betul sekali. Hanya saja, meskipun demikian hal ini tidak
menutup kemungkinan ia muncul dan mewujud dalam bentuk yang demokratis.
Jadi, meskipun dia terkonsentrasi
dan berasal dari sumber yang sama namun untuk bisa menjadi center dari semuanya
ia tidak bisa hanya berpusat pada dirinya sendiri melainkan harus memiliki
kemampuan untuk menjadi wadah bagi semuanya. Dari aspek ini ketika kekuasaan
ini tidak mampu menjadi rujukan bagi semuanya, ia sudah dengan sendiri
mengalami krisis. Dengan kata lain meskipun kekuasaan ini bersifat tunggal,
terkonsentrasi dan menjadi rujukan bagi semua, tetapi keberadaannya sangat
tergantung pada sedemokratis apa dia mampu memerankan diri. Kelihatan sangat
kokoh tapi sebetulnya ia rapuh, tapi justru pada kerapuahnnya itulah sumber
dari kekuatannya.
Kalau kita ikuti cara
berpikir tentang kekuasaan dalam tesis yang kedua, kesimpulannya sedikit aneh. Mungkin
kita memang punya kecenderungan otoritarian tapi itu tidak kemudian membuat
kita tidak bisa demokratis. Kekuasaan yang bersifat otoritarian, dalam
pengertian pra-modern, bisa terbentuk dan bertahan sejauh ia mampu membuat
dirinya menjadi rujukan bagi semua.
Tapi memang di dalam masyarakat
kita juga masih kuat kepercayaan bahwa pemimpin itu harus orang yang kuat,
tegas, ditakuti dan bisa mengendalikan situasi. Tapi, paradoknya, kalau seorang
pemimpin terus menggunakan cara dominasi seperti itu, entah kenapa dalam
sejarah ia justru malah bisa tumbang sendiri. [ATI]
Komentar
Posting Komentar