Melihat Ideologi Bangkit Lagi, Master Class on Ideology dan Kemungkinan Perang Nuklir
Mungkin judul “ideologi bangkit lagi” tidak tepat untuk mengatakan bagaimana ideologi punya peran signifikan dalam konflik Iran dan Israel akhir-akhir ini. Karena, seperti nanti akan dibahas panjang lebar di kelas ideologi. Pada dasarnya ideologi tidak pernah mati, juga tidak pernah tertidur. Alih-alih mati dan tertidur sebetulnya ideologi terus aktif bergerak dinamis dan menjadi dasar dari berprosesnya kehidupan ini.
Tapi memang tidak bisa dipungkiri
ada banyak yang percaya bahwa abad kita sekarang ini adalah abad yang sudah
maju, dipimpin oleh teknologi, masyarakat kita semakin rasional, mereka sangat
sadar tentang fakta dan data, sehingga tidak mungkin lagi kita bicara soal
ideologi. Kita sebagai masyarakat sudah sangat melek aksara, jadi sudah tidak
mudah lagi tertipu ideologi. Ideologi hanyalah cerita usang manusia yang hidup
pada abad 19 dan 20, bukan orang-orang seperti kita yang hidup di abad 21 ini.
Cara melihat ideologi yang
seperti ini tidak sepenuhnya salah dan boleh saja, dan karena seperti itu cara
melihatnya, tidak terlalu mengherankan jika kemudian banyak yang beranggapan
abad idelogi sudah berakhir. Salah satu implikasi yang mungkin tidak banyak
disadari, simpulan itu telah membuat ideologi tidak pernah (dianjurkan) dipelajari
lagi, bahkan di dalam ilmu yang sebetulnya dekat sekali denganya, ilmu politik.
Kalau kita mau menelusurinya
lebih jauh, sesungguhnya cara pandang terhadap ideologi yang demikian itu
bersumber dari kepercayaan lama sekali yang mengatakan bahwa ideologi identik
dengan sesuatu yang jauh sekali, berada di awang-awang, dan sulit untuk dicapai.
Sesuatu ini sering dibayangkan sebagai utopia, sebuah angan-angan tentang masa
depan yang agak mustahil diwujudkan.
Oleh karena seperti itu sifatnya
ideologi, sebaiknya kita tidak perlu lagi membahasnya, begitulah kira-kira
kesimpulannya. Lebih baik sekarang menghadapi realitas nyata yang ada di depan
mata, tak perlu harus pusing memikirkan sesuatu yang tak kelihatan mata dan
kepala. Mungkin sekali dua kali kita sering mendengar ungkapan, “saya sih orangnya
realitis saja”, atau agak mirip dengan itu, “kalau saya sih sederhana saja,
nggak muluk-muluk”.
Pernyataan seperti itu sebetulnya
secara tak sadar mau mengatakan kalau ngomong jangan yang muluk-muluk, abstrak
dan bersifat di awang-awang. Secara jelas itu menunjukkan kepercayaan yang
melihat ideologi sebagai utopia sudah tak cocok dengan hidup. Ketika pernyataan
seperti itu datang orang seperti dipatahkan dari berbicara sesuatu yang
rumit-rumit dan ditarik paksa untuk fokus pada menyelesaikan hal-hal teknis
yang lebih bisa terlihat mata.
Ceritanya belum selesai sampai di
situ saja. Dalam masyarakat kita, ideologi ini sering dikonotasikan dengan
sesuatu yang menipu dan mengkamuflase kebenaran. Di sini biasanya, kebenaran
itu diidentikkan dengan fakta-fakta atau data-data. Lalu semua yang bukan fakta
dan bukan data sama dengan bukan kebenaran karena berisi spekulasi pikiran yang
tidak berdasar, dan wilayah ini dianggap bermuatan sesuatu yang bersifat ideologis.
Kalau dirunut ke belakang
sebetulnya cara pandang ini tidak terlalu salah karena Marx sendiri sebagai
yang sering sekali dirujuk kalau orang bicara ideologi juga melihatnya dengan cara
yang sama. Bahkan dengan tegas Marx menyebutnya sebagai kesadaran palsu (false
consciousness) yang menyembunyikan kebenaran praktik eksploitasi oleh kapitalisme.
Jadi sebetulnya dalam hal ideologi ini sebagian besar masyarakat kita sudah
Marxist, dalam arti punya cara berpikir yang sama dengan Karl Marx dalam
melihat ideologi. Tapi anehnya kalau bicara soal ideologi, orang pertama yang
disalah-salahkan juga Karl Marx.
Hal yang juga sering sekali
terjadi dalam masyarakat, bahkan juga tercermin dalam debat-debat intelektual
selebritis di televisi, hingga dalam kajian politik itu sendiri adalah selalu
melawankan ideologi dengan rasionalitas. Orang yang sudah punya pilihan tetap
apapun keadaannya, biasanya dianggap fanatik, dan disebut dengan pemilih
ideologis. Sedangkan orang yang bisa menilai mana program politik yang bagus
dan mana yang tidak disebut pemilih rasional. Di balik pemilahan ini sebetulnya
tersembunyi asumsi bahwa pemilih ideologis/fanatik sudah tidak lagi bisa
berpikir, dan pemilih rasional masih bisa berpikir dan diajak menimbang-nimbang
mana yang lebih untung dan mana yang merugikan. Tapi secara tanpa dikatakan hal
itu mau bilang bahwa pemilih ideologis sudah tidak punya otak untuk
berasionalisasi.
Selain dilawankan dengan
rasionalitas, ideologi juga kerap dilawankan dengan agama. Coba perhatikan
setiap perbincangan dengan tema agama dan ideologi, bisa dipastikan topiknya
akan tidak jauh-jauh dari, yang pertama, agama bukan ideologi. Yang kedua,
agama diciptakan oleh Tuhan, oleh sesuatu yang transendental, karena itu lebih
menjamin keselamatan. Sedangkan ideologi merupakan ciptaan manusia karenanya
punya kemungkinan salah dan berubah-ubah. Yang ketiga, oleh karena
seperti itu maka ideologi lebih dekat dengan kesesatan, dan berpotensi besar
membuat orang jadi ateis.
Masih dekat dengan rasionalitas
tadi, ideologi juga sering dilawankan dengan sains (ilmu pengetahuan). Sains
punya standar kebenaran tertentu, sedangkan ideologi tidak. Sains bersifat
objektif, sedangkan ideologi sangatlah subjektif. Sains punya ukuran yang bisa
berlaku secara general karena sudah dibuktikan, sementara ideologi tidak. Sains
didasarkan pada eksperimentasi ilmiah yang empirik, ideologi hanya berisi
asumsi dan spekulasi.
Perbincangan lain perihal
ideologi bahkan bisa membuat lebih geli lagi tapi suka atau tidak suka justru
perbincangan itu mendapat simpati yang luas. Perbincangan itu terkait dengan
ideologi negara. Sejak dulu dan masih sampai sekarang ideologi biasanya
dikaitkan dengan isme-isme, sehingga apapun yang ada isme-nya berarti itu
ideologi. Dalam perbincangan ini ideologi entah kenapa dikaitkan dengan ekstrimitas,
atau setiap sikap ekstrim biasanya bersumber dari ideologi. Lalu Indonesia
sendiri tidak cocok dengan semua ideologi dunia, dan itulah kenapa negara kita
tidak menganut satupun ideologi dunia itu. Kita harus punya ideologi sendiri
yang sifatnya benchmarking, bukan sosialisme, bukan komunisme, bukan
kapitalisme, dan bukan yang lain-lain, tapi mengambil semua yang baik dari
semua itu, yang masih sesuai dengan jati diri bangsa.
Uraian di atas menunjukkan
beberapa hal menarik dan mungkin juga agak mengagetkan. Yang pertama, semua
melihat ideologi sebagai sesuatu yang negatif. Kedua, ideologi adalah
sesuatu yang sebisa mungkin harus dijauhi. Ketiga, sepertinya tidak
terlalu berguna belajar ideologi, kalaupun masih dipelajari baiknya dianggap
sebagai wawasan saja. Keempat, ideologi
bisa menghambat kemajuan bangsa karena sekarang ini yang diperlukan adalah
menyelesaikan masalah-masalah riil yang dihadapi masyarakat. Kelima, belajar
ideologi bisa menciptakan perang ideologi yang berujung pada ketidakstabilan
politik ekonomi seperti pada masa-masa awal kemerdekaan. Keenam, belajar
ideologi sudah tak relevan karena mengangkat sesuatu yang sudah usang.
Tidak dalam niatan membela nasib
idelogi yang tragis itu tapi kelas ini akan mencoba menempuh rute berbeda dalam
melihat ideologi. Alih-alih mempersepsinya sebagai sesuatu yang sudah berakhir,
bagaimana kalau sebetulnya kita ini bahkan tidak bisa hidup tanpa ideologi. Jangan-jangan
dengan memperlajarinya lagi dengan cara yang berbeda bisa membantu kita
menjelaskan banyak hal di sekitar kita, mulai dari urusan membuang sampah,
memilih tempat makan, cara berbicara, memilih teman dan pasangan, sampai soal partai
politik, pembuatan undang-udang, mengubah nomenklatur kementerian, hingga
sejauh mana cara kita memahami ideologi bisa membantu meramalkan kemungkinan
terjadinya perang nuklir di masa depan.
Silahkan mengunjungi link berikut ini untuk melihat lebih dekat
apa yang akan dipelajari dalam master class seri ideologi ini https://www.youtube.com/watch?v=oNOqPx_dHWw,
dan link ini merujuk ke jadwal kelas dan topik diskusinya https://www.youtube.com/watch?v=-vcGXr_je1A
[ATI]
Komentar
Posting Komentar