Mulyadi-Mulyono dan Populisme: Semengkhawatirkan (si)apa Sih ?
Beberapa waktu belakangan ini banyak
pembicaraan tentang populisme. Pembicaraan tentang populisme tersebut dipicu
oleh fenomena Dedy Mulyadi, gubernur Jawa Barat, sosok yang sedang nge-trend
dengan banyak terobosan yang dilakukannya. Hal-hal tak lumrah yang
dikerjakannya sebagai gubernur bukan hanya viral tetapi juga menyedot dukungan
luas dari masyarakat yang merasa jiwanya terisi oleh hadirnya KDM (baca: Kang
Deni Mulyadi). Warga di daerah lain bahkan menginginkan gubernurnya diganti
saja oleh sosok seperti KDM.
Memposisikan diri sebagai rakyat
kecil, berpenampilan sederhana, mendatangi rumah-rumah warga yang ditimpa
masalah dan kesusahan, membantu orang yang mengalami kesulitan di jalanan,
menghapus banyak anggaran yang tidak banyak berguna, mengangkat kembali jati
diri budaya Sunda, mengirim anak-anak nakal ke barak militer dan masih banyak
lagi aksi-aksinya yang membuat publik kagum.
Sebagian pihak melihat fenomena
KDM itu mirip dengan kemunculan Jokowi atau kadang disebut Mulyono pada 2014.
Hampir sama dengan KDM, Jokowi juga melakukan hal-hal yang membuat publik
berdecak kagum. Berpenampilan sederhana, menempatkan diri sebagai orang biasa,
tidak banyak bicara, memperlihatkan kerja dari pada sibuk ngomong di depan kamera,
dan seterusnya. Lalu masyarakat seperti kesirep dengan aksi-aksinya yang
di luar kebiasaan, singkat cerita semua itu berhasil mengantarkannya
sebagai presiden dua periode. Bahkan juga putra sulungnya bisa menduduki kursi
wakil presiden meskipun dengan banyak drama.
Terhadap fenomena tersebut sekelompok
peneliti politik menamainya dengan populisme. Tidak sekadar menamai bahkan
dalam pandangan mereka populisme ditampilkan buruk, berbahaya dan menghimbau
publik mewaspadainya agar tidak tertipu untuk kedua, ketiga dan kali berikutnya.
Pertanyaan kita adalah tapi kenapa populisme dianggap buruk dan berbahaya sehingga
seperti harus dijauhi?
Kalau kita perhatikan baik-baik,
argumennya berkisar pada beberapa hal saja. Yang pertama, menurut
mereka, populisme menumpulkan daya pikir rasional sehingga orang bisa
manut-manut saja kepada pemimpin tanpa koreksi. Kenapa itu bisa terjadi karena
yang kedua, populisme dianggap cenderung memobilisasi sentimen identitas
primordial dan bisa membangkitkan politik identitas. Tidak secara eksplisit
disebutkan, tapi yang ketiga, dengan cara yang samar, dalam pandangan para
peneliti itu, di dalam populisme sendiri ada unsur “penipuan” publik. Hanya penipuanlah
yang bisa membuat orang bertindak tanpa pertimbangan dan membuat mereka memilih
bukan karena pertimbangan rasional tapi atas dasar suka dan tidak suka.
Yang keempat, seorang
populis disamakan dengan demagog yang dengan kata-katanya mengaduk-aduk
emosi publik sehingga orang bisa kelihangan akal sehat karena fanatik. Yang kelima,
seorang populis pintar memainkan gimmick-gimmick sehingga hal-hal yang
disentuh tidak sangat substansial dan hanya bersifat permukaan. Terakhir, yang keenam,
para peneliti itu sepakat untuk mengatakan bahwa populisme berbahaya bagi
demokrasi karena menghambat pendewasaan nalar publik.
Mungkin apa yang mereka
khawatirkan tentang populisme cukup masuk akal dan kita bisa setuju dengan
alasan-alasannya, tapi ada dua pertanyaan yang belum terjawab. Pertama, dari
mana asumsi-asumsi negatif terhadap populisme itu berasal? Yang kedua,
dengan memberi stigma buruk terhadap populisme sebetulnya apa yang sedang dibela
dan diperjuangkan? Logika Populisme: Strategi Baru Kepempimpinan Demokrasi,
buku yang terbit pada tahun 2024 memberikan penjelasan lebih lengkap tentang
populisme ini, https://www.sekolahrisetsatukata.id/2025/04/logika-populisme-strategi-baru.html.
Pertama, sikap negatif
terhadap populisme datang dari cara pandang spesifik tentang demokrasi.
Kelompok ini masih percaya dengan demokrasi tapi menurut mereka demokrasi itu
bukan tujuan melainkan sebatas instrumen saja. Kalau hanya instrumen lantas
tujuannya apa? Tujuan utamanya adalah freedom atau kebebasan, jadi kalau
demokrasi mengancam freedom dia harus diganti dengan sistem lain.
Kedua, kebebasan itu
letaknya pada individu bukan pada people atau rakyat. Jadi, kalau
menyebut demokrasi pada dasarnya yang dimaksudkannya adalah individu-individu
bebas yang diasumsikan berpikir secara independen. Sehingga kalau ada people
yang menggerus individu dan kebebasannya maka people ini harus
dihilangkan.
Yang lebih menarik lagi adalah
yang ketiga. Individu yang dimaksudkan di situ tertuju bukan pada
nyawanya tetapi pada reason-nya atau otaknya. Oleh karena itu, apapun
yang mengancam reason atau apapun yang melumpuhkan akal sehat berarti
bertentangan dengan demokrasi dan harus dibuang.
Oleh karena itu, yang keempat,
para peneliti demokrasi yang ini punya kepercayaan bahwa demokrasi adalah
sistem yang hanya bisa dijalankan oleh individu-individu yang reason-nya
sudah berkembang dengan baik. Itulah kenapa ada peneliti yang selalu mengaitkan
demokrasi dengan seberapa besar jumlah kelas menengah di suatu negara.
Demokrasi tidak terlalu cocok untuk masyarakat yang individu-individunya masih
goblok. Jadi, kalau demokrasi mengalami kemunduran, bukan demokrasi yang salah
tapi orang-orangnya yang (masih) bodoh dan kadang ditambahi miskin.
Kelima, lebih spesifik
lagi, yang dimaksud dengan reason di situ adalah kemampuan menalar secara logis
dan bisa menilai bukan soal baik buruk tapi mana yang lebih menguntungkan dan
mana yang merugikan. Jadi, kalau anda masih memilih atas dasar suka dan tidak
suka, itu artinya akal anda belum berkembang dengan baik.
Keenam, kalau kita sepakat
bahwa demokrasi itu intinya adalah rakyat atau people tapi entah kenapa
meskipun menggaung-gaungkan demokrasi tapi demokrasi yang ini malah tidak suka
kalau ada people apalagi kalau people-nya terlalu kuat. Jadi, tak
begitu mengherankan jika mereka tidak begitu suka dengan people power. Yang
terakhir, ketujuh, menjadi semakin jelas kemudian bahwa kalau bicara
demokrasi, yang dimaksudkannya sebetulnya bukan rakyat atau people tapi
sistem pemilu.
Lalu apa urusannya dengan
populisme dan mengapa juga populisme dianggap buruk bagi demokrasi. Pertama
tentu saja karena populisme meletakkan demokrasi sebagai tujuan dan bukan
instrumen. Karena demokrasi sebagai tujuan maka people dan bukan
individu harus menjadi inti dasarnya. Populisme tidak mengistimewakan demokrasi
hanya untuk mereka yang pintar-pintar saja atau hanya kelas menengah saja.
Demokrasi harus melibatkan semuanya seluas mungkin. Orang memilih atas dasar
suka dan tidak suka tetap bagus dan bukan sesuatu yang buruk.
Tidak dalam maksud membela
Mulyadi, Mulyono atau yang lainnya, sebetulnya uraian tentang populisme di buku
itu masih panjang dan menarik, cerita di atas hanya sekelumit saja dari
keseluruhannya, yang setidaknya memberitahu kita tentang kenapa banyak yang
mengkhawatirkan populisme. Buku itu secara khusus mengajak untuk menjawab cara
memahami populisme seperti apa yang membuat kita bisa terhindar dari otoritarianisme
dan kultus individu tetapi juga tetap menempatkan rakyat (people)
sebagai inti dasar dari demokrasi itu sendiri, bukan sekadar instrumennya, di
mana rakyat hanya diambil suaranya saat pemilu lalu dilupakan begitu saja. [ATI]
Komentar
Posting Komentar